"Kamu tidak kenapa-kenapa kan Aida?" tanya Kamarudin sambil menikmati makanannya.
"Tidak kenapa-kenapa kok, Pah. Aku baik-baik saja. Sehat-sehat saja dan tidak sedang menganut aliran sesat ataupun teroris," Mereka makin terperanjat kaget mendengar tuturan Aida.Â
"Pah, Mah, sekarang ini saya tengah belajar mendalami agama secara kafah. Tidak setengah-setengah lagi."
"Emang selama ini kita mendalami agama setengah-setengah? Kami mengajarkan Islam kepadamu juga setengah-setengah?" tanya Salmia.
"Sepertinya memang begitu. Buktinya Mamah tidak kepingin pakai hijab kan. Menutup aurat itu kewajiban Mah sebagai wanita muslimah. Ada dalilnya lho."
"Jadi selama ini kamu menganggap Mamah membuka aurat? Perasaan penampilan Mamah sopan-sopan saja," Salmia tidak enak hati mendengar perkataan Aida tadi.
"Saya yakin Mamah sudah tahu yang namanya aurat perempuan itu seperti apa dan bagaimana?"
"Jadi Aida ingin Mamah berpakaian sepertimu?"
"Kalau bisa kenapa tidak dicoba saja? Mamah sudah tidak muda lagi kan. Apa Mamah tidak mau masuk surga?"
"Apa Mamah tidak bisa masuk surga jika seperti ini? Apa perempuan yang bisa masuk surga hanya orang berhijab? Jadi bagaimana jika selama ini perempuan itu baik, ahli ibadah tapi tidak berhijab? Apa perempuan seperti itu juga tidak diperkenankan masuk Surga?" Salmia mencerca Aidah pertanyaan beruntun dengan nada penuh aksentuasi. Sedangkan Kamarudin hanya bisa menahan dirinya untuk tidak ikut campur dalam dialog antara ibu dan anak itu. Ia nyaman menyantap makanannya, tapi tetap mencerna dengan baik percakapan mereka.
"Mamah, urusan surga dan neraka adalah hak preogatifnya Allah. Kita yang hanya sebagai hamba tidak elok menjustifikasi orang lain atau diri sendiri masuk surga. Lagi pula aku tidak pernah bilang dengan berhijab perempuan itu akan dijamin masuk surga. Tapi berhijab adalah kewajiban. Ada dalilnya, Mah," jelas Aida.