Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ketika Anak Meminta Ibunya Berhijab

10 Februari 2018   07:50 Diperbarui: 11 Februari 2018   02:58 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: hanguppictures.com

Kamarudin masih syok melihat perubahan anaknya tiba-tiba seperti itu. Kontras dari apa yang ia lihat tiga bulan lalu. Aida pulang dari tanah rantau. Ia mahasiswi di salah satu kampus swasta di kota provinsi. 

"Wong, bagus kok anak perempuan kita berpenampilan seperti itu. Emang Bapak mau anaknya terus memakai pakaian you can see, tubuhnya menjadi santapan hangat mata-mata binal di luar sana. Mau Bapak seperti itu?" ketus Salmia saat tengah asyik memasak di dapur didatangani Kamarudin untuk membicarakan tentang  Aida.

"Ibu ingat kan selama ini Aida doyang kepo terhadap kehidupan selebriti di televisi. Kemarin-kemarin saya sering merecokinya lantaran selalu nonton sinetron-sinetron yang tak berfaedah itu. Tapi lihatlah sekarang! ia sering membaca ayat-ayat Quran," ucap Kamarudin. Samar-samar ia mendengar suara Aida melantungkan bacaan Quran di dalam kamarnya.

"Pak, ada namanya hijrah. Hijrah itu proses menggeser diri dari keadaan seperti itu menjadi keadaan seperti ini. Nah, Umar Bin Khattab pernah melakukan itu. Beberapa selebriti tanah air juga sering diberitakan tentangnya yang katanya hijrah. Anak kita pun begitu. Aidah sedang hijrah, Pak. Kok Bapak rada-rada heran?"

"Tapi kedepannya dia tidak kenapa-kenapa kan?"

"Lho, bagaimana sih Bapak ini? Keputusan yang diambil Aidah itu jalan yang tepat dan insya Allah diridai Allah. Baiknya Bapak mendoakan dia saja, untuk tetap istikomah dalam hijrahnya. Kan banyak tuh perempuan zaman sekarang hari Senin mantap berhijrah diumumin sana sini. Giliran beberapa waktu kemudian hijrahnya ia abaikan, hijab ia lepaskan."

"Nah, itu dia yang saya tidak mau. Kalau Aida hanya akan hijrah kerupuk seperti itu."

"Makanya doakan dia."

"Selain itu saya khawatir Aida akan gila."

"Lho, kenapa mau gila, Pak?"

"Kan banyak tuh orang yang mendalami agama tiba-tiba otaknya gesrek. Seperti si Samsul, lihat dia sekarang, jadi gila kan."

"Pak, mendalami agama itu tidak bikin gila. Yang bisa bikin gila apabila salah-salah mendalami agama."

"Berarti si Samsul salah mendalami agama dong."

"Mengapa Bapak bilang begitu?"

"Katanya yang bikin gila apabila salah-salah mendalami agama."

"Emang  menurut Bapak si Samsul gila ya?"

"Emang Mamah tidak lihat kelakuan dia seperti itu. Kalau bukan gila apa namanya? Omongannya saja suka ngawur."

"Hanya Bapak tuh yang bilang si Samsul gila. Tetangga sebelah menganggap si Samsul memiliki karamah,"

"Si Samsul Waliyullah?" Kamarudin mengernyitkan dahi.

"Ada orang bilang seperti itu."

***

Berulang kali Salmia berteriak memanggil nama Aida yang masih berkutat dalam kamarnya, untuk segera bergabung makan. Begitu Aida tiba. Salmia dan Kamarudin saling bersitatap. Sorot mata mereka heran melihat Aida. Tanpa ada angin, tanpa ada asap, tanpa dibicarakan terlebih dahulu Aida tiba-tiba memakai cadar. Bola mata mereka melebar menyaksikan penampilan anaknya seperti itu.

"Kamu tidak kenapa-kenapa kan Aida?" tanya Kamarudin sambil menikmati makanannya.

"Tidak kenapa-kenapa kok, Pah. Aku baik-baik saja. Sehat-sehat saja dan tidak sedang menganut aliran sesat ataupun teroris," Mereka makin terperanjat kaget mendengar tuturan Aida. 

"Pah, Mah, sekarang ini saya tengah belajar mendalami agama secara kafah. Tidak setengah-setengah lagi."

"Emang selama ini kita mendalami agama setengah-setengah? Kami mengajarkan Islam kepadamu juga setengah-setengah?" tanya Salmia.

"Sepertinya memang begitu. Buktinya Mamah tidak kepingin pakai hijab kan. Menutup aurat itu kewajiban Mah sebagai wanita muslimah. Ada dalilnya lho."

"Jadi selama ini kamu menganggap Mamah membuka aurat? Perasaan penampilan Mamah sopan-sopan saja," Salmia tidak enak hati mendengar perkataan Aida tadi.

"Saya yakin Mamah sudah tahu yang namanya aurat perempuan itu seperti apa dan bagaimana?"

"Jadi Aida ingin Mamah berpakaian sepertimu?"

"Kalau bisa kenapa tidak dicoba saja? Mamah sudah tidak muda lagi kan. Apa Mamah tidak mau masuk surga?"

"Apa Mamah tidak bisa masuk surga jika seperti ini? Apa perempuan yang bisa masuk surga hanya orang berhijab? Jadi bagaimana jika selama ini perempuan itu baik, ahli ibadah tapi tidak berhijab? Apa perempuan seperti itu juga tidak diperkenankan masuk Surga?" Salmia mencerca Aidah pertanyaan beruntun dengan nada penuh aksentuasi. Sedangkan Kamarudin hanya bisa menahan dirinya untuk tidak ikut campur dalam dialog antara ibu dan anak itu. Ia nyaman menyantap makanannya, tapi tetap mencerna dengan baik percakapan mereka.

"Mamah, urusan surga dan neraka adalah hak preogatifnya Allah. Kita yang hanya sebagai hamba tidak elok menjustifikasi orang lain atau diri sendiri masuk surga. Lagi pula aku tidak pernah bilang dengan berhijab perempuan itu akan dijamin masuk surga. Tapi berhijab adalah kewajiban. Ada dalilnya, Mah," jelas Aida.

"Begini, yang terpenting kan hatinya dulu dimantapkan baru penampilannya. Kan banyak tuh perempuan sekarang pakaian tertutup tapi kelakuannya tak senonoh," timpal Kamarudin.

"Saya sepakat dengan Bapakmu. Pada intinya hati dulu yang harus dibenarin. Percuma kan tubuh ditutupin tapi tetap saja melakukan maksiat." 

"Tidak mesti harus baik dulu hatinya baru berhijab. Tidak begitu pesan Allah dalam Quran. Tidak ada juga hadits nabi seperti itu. Urusan kebaikan hati dan berhijab dua sisi yang berlainan. Kalau nunggu hati baru mantap kemudian berhijab, bagaimana kalau hati nggak pernah mantap-mantap? Nggak akan berhijab kalau memang begitu prinsipnya. Sementara berhijab adalah kewajiban."

Suasana lengang beberapa detik. Semua tampak sibuk menyantap makanannya. 

"Mamah tentu tidak ingin jadi munafik," ketus Salmia.

"Lha, kenapa harus munafik si Mah?"

"Percuma kan berhijab jika kemudian hari dilepas juga."

"Itu tergantung  kekuatan niatnya, Mah. Kalau memang dari awal berhijab niatnya ingin memperbaiki diri dengan menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah akan konsisten. Tapi kalau niatnya sudah keliru, misalnya karena mengikuti tren kekinian, karena gengsi lantaran tetangga sudah berhijab, atau karena mau disanjung begini dan begitu. Itu berhijabnya bukan karena Allah. Dan, jangan heran jika dikemudian hari ia kembali memarikir hijabnya."

Mendengar penjelasan Aida. Kamarudian dan Salmia tidak tahu harus menanggapi kayak bagaimana lagi. Ia hanya bungkam, menghabiskan sisa makanannya. 

***

Suatu hari saat Aidah  telah selesai memurojaah hapalan Qurannya. Ia keluar kamar dan mendapati ibunya tengah berhijab. Aida menyunggingkan senyum di balik cadarnya. Ia menganggap perkataannya kemarin di meja makan, saat ia secara halus meminta pada ibunya untuk berhijab dicerna baik-baik oleh Salmia. Buktinya ia mantap berhijab. 

"Begitu dong, Mah! Kan lebih elok kalau seperti itu."

"Bagus tidak Mamah berpenampilan seperti ini?" Ibu tersenyum lebar menghadapkan seluruh tubuhnya pada Aida. 

"Elok, Mah. Semoga konsisten."

"Tapi Mamah belum siap, Nak."

"Tuh sudah dipakai, berarti sudah siap dong."

"Ini kan untuk menghadiri peringatan maulid di rumah kepala desa."

Aida lemas mendengarnya.

"Kirain Mamah sudah mulai berhijab benaran hari ini. Padahal berhijabnya karena mau menghadiri undangan."

"Urusan kemantapan hati tidak boleh dipaksakan. Setiap orang berbeda-beda. Mungkin kamu begitu mudah menerima anjuran berhijab tapi ada juga yang sulit lantaran belum diberi kemudahan dan petunjuk. Sudah! Mamah pergi dulu, di luar papamu sudah menunggu."

"Mamah benaran mau menghadiri acara peringatan Maulid Nabi itu?" tanya Aida menatap lekat-lekat ke arah Salmia.

"Iya, emang kenapa kalau Mamah ikut memperingati maulid Nabi? Itu dilarang? Tidak ada dalilnya? Tidak pernah dicontohkan Nabi?"

"Iya itu bida'ah, Mah. Segala sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan masuk neraka," tutur Aida. Salmia memagang kedua pundak Aida.

"Dengar Nak! Mamah sangat senang ketika kamu meminta pada Mamah untuk berhijab. Mengingatkan Mamah pada kewajiban kita sebagai muslim. Tapi ketika kamu dengan seenak hati mengatakan peringatan Maulid Nabi, tahlilan atau apapun itu adalah bid'ah. Mamah dan Papa serta tetua-tetua kami juga punya pegangangan dan alasan kuat mengapa melakukan itu. Maulid nabi sudah menjadi tradisi bagi kami, jauh sebelum kamu lahir. Jangan lantas kefanatikanmu terhadap agama mau merobohkan semua itu, mau mengubah cara pandang kami untuk mengikut padamu." jelas Salmia matanya tampak berkaca-kaca.*** 

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun