tidak terlihat. Dari pada mempelajari ide-ide yang tidak dapat diverifikasi, Watson mendesak studi ilmiah yang cermat tentang perilaku yang dapat diamati. Pandangannya tentang behaviorisme adalah reaksi terhadap introspeksi, di mana setiap peneliti berperan sebagai subjek penelitiannya sendiri, dan studi tentang kesadaran oleh Freud dan lainnya, yang diyakini Watson sangat subjektif dan tidak ilmiah.
J.B. Watson menerima gelar Ph.D. dalam psikologi dari University of Chicago pada tahun 1903. Pada tahun 1908 ia menjadi profesor psikologi di Universitas Johns Hopkins. Di Lembaga ini  ia mendirikan laboratorium untuk keperluan penelitiannya.  Di awal karirnya, Watson dipengaruhi oleh karya Ivan Pavlov. Watson merupakan ahli psikologi pertama yang mengenali implikasi sehari-hari teori Pavlov, yang kemudian mendirikan behaviorisme di Amerika dan secara bersemangat menyebarkan gagasan dari Pavlov ini (Wade & Tavris, 2007: 247). Berdasarkan karya Pavlov, Watson berpikir bahwa pengkondisian dapat menjadi dasar dari perspektif behaviorisme. Watson percaya bahwa rangkaian kehidupan manusia yang kaya akan emosi dan perilaku dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip kondisioning (Wade & Tavris, 2007: 247).
Watson sangat menentang studi tentang pemikiran, kognisi, introspeksi, atau bentuk kesadaran internal lainnya, yang merupakan fokus  kajian Strukturalisme yang dikembangkan oleh Wilhelm Wundt, Fungsionalisme yang dikembangkan William James, dan Psikoanalisis sebagai hasil pemikiran Sigmund Freud. Watson memandang bahwa proses mental bukanlah subjek yang tepat untuk studi ilmiah karena pada akhirnya merupakan peristiwa pribadi,  lagipula, tidak ada yang bisa melihat atau menyentuh pikiran orang lain (Weiten, 2017: 7). Dia menolak data yang bukan merupakan hasil observasi dan percaya bahwa psikologi seharusnya hanya mempelajari apa yang dapat diamati dan diukur dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Berkenaan dengan perkembangan anak, Watson berpandangan bahwa prinsip-prinsip behaviorisme dapat diterapkan untuk membentuk bayi menjadi apa pun sesuai dengan yang diinginkan.  Menurut pemikiran Watson, bahwa seseorang kemudian menjadi apa bukan karena faktor hereditas tetapi karena  dibentuk oleh lingkungannya. Pandangannya tentang peranan pengkondisian dalam perkembangan anak, dia tuangkan  dalam pernyataan sebagai berikut:
"Give me a dozen healthy infants, well formed, and my own specified world to bring them up in, and I'll guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select---doctor, lawyer, artist, merchant, chief, and yes, even beggar-man and thief, regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors" (Sigelmen & Rider, 2018: 40).
Watson melakukan beberapa eksperimen yang mengeksplorasi respons emosional yang terkondisi (conditioned emotional response) pada anak-anak. Eksperimennya Watson yang paling terkenal,  yang mengeksplorasi respons emosional yang terkondiri (conditioned emotional response) pada anak-anak, adalah eksperimen Little Albert.  Eksperimen tersebut dilakukan Bersama koleganya yang bernama Rosalie Rayner. Watson dan Rayner mengeksplorasi pengkondisian klasik dengan menggunakan bayi laki-laki bernama Albert yang berusia sembilan bulan. Mereka menunjukkan bahwa Albert  dapat dikondisikan untuk takut pada sesuatu, seperti tikus berbulu putih, padahal sebelumnya Albert tidak takut pada binatang tersebut.
Dalam eksperimennya Watson dan Rayner memasangkan kehadiran tikus putih di hadapan Albert dengan suara yang keras yang menakutkan. Pada saat Albert menyentuh hewan tersebut, Â suara yang keras dan menakutkan diperdengarkan sehingga Albert takut dan menangis. Ternyata setelah tujuh kali presentasi tikus diikuti dengan suara keras yang menakutkan, setiap kali Albert melihat tikus, meskipun tanpa diikuti suara yang menakutkan, dia ketakutan menangis (Ciccarelli & White, 2015: 183).
Dalam konteks pengkondisian, suara keras adalah stimulus tidak terkondisi (UCS), ketakutan akan suara merupakan respons tidak terkondisi (UCR), tikus putih menjadi stimulus terkondisi (CS), yang menyebabkan respons terkondisi (CR) berupa ketakutan pada tikus. Efek dari pengkondisian ini bertahan sampai lima hari. Albert bereaksi dengan tingkat rasa takut  yang kurang lebih sama, tidak hanya ketika diperlihatkan seekor tikus, namun juga ketika diperlihatkan objek yang terlihat mirip dengan tikus yang berwarna putih dan berbulu, termasuk kelinci berwarna putih, jaket bulu warna putih, dan bahkan topeng sinterklas berwarna putih (Feldman, 2012: 219).
4. B. F. Skinner: Pengkondisian Operan
Burrhus Frederic Skinner (1904--1990) bisa dibilang tidak hanya psikolog paling terkenal pada masanya tetapi juga yang paling kontroversial. Apa yang membuatnya terkenal adalah kemampuannya untuk membawa prinsip-prinsip behaviorisme ke mata publik melalui buku-bukunya, artikel di majalah populer, dan penampilan publik dan apa yang membuatnya kontroversial adalah keyakinannya pada behaviorisme radikal, yang berpendapat bahwa perilaku, baik hewan atau manusia, sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan genetik (Nevid, 2018: 187).
Pengkondisian klasik dapat menjelaskan bagaimana manusia mempelajari respons refleksif yang relatif sederhana, seperti air liur dan kedipan mata, serta respons emosional yang terkait dengan rasa takut dan jijik. Tetapi teori tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia mempelajari perilaku yang lebih kompleks yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pengalamannya sehari-hari. Untuk menjelaskan perilaku yang demikian, maka perlu mempertimbangkan bentuk belajar yang diperkenalkan oleh Skinner, yang disebut pengkondisian operan (operant conditioning). Dengan pengkondisian klasik, dapat jelaskan belajar yang dihasilkan dari hubungan antara rangsangan sebelum respons terjadi dan dengan pengkondisian operan, dapat dieksplorasi mengeksplorasi belajar yang dihasilkan dari asosiasi respons dengan konsekuensinya (Nevid, 2018: 187).