Mohon tunggu...
KUNTJOJO
KUNTJOJO Mohon Tunggu... Lainnya - Saya menikmati menulis karena saya senang bisa mengekspresikan diri dan ide-ide saya.

"Menulis sesuatu yang layak dibaca atau melakukan sesuatu yang layak ditulis."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Belajar Behaviorisme

24 Desember 2022   10:00 Diperbarui: 28 Desember 2022   20:33 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Perangkat eksperimen Pavlov (Sumber: Coon & Mitterer, 2010: 220)

A. Paradigma Behaviorisme

Behaviorisme, juga dikenal sebagai psikologi perilaku, adalah teori belajar yang menyatakan semua perilaku dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan melalui proses yang disebut pengkondisian. Dengan demikian, perilaku hanyalah respon terhadap rangsangan lingkungan. Behaviorisme hanya peduli dengan perilaku stimulus-respons yang dapat diamati, karena fenomena yang demikian dapat dipelajari secara sistematis. Berdasarkan paradigma tersebut teori belajar behaviorisme (behaviorisme learning theory) disebut juga teori belajar perilaku (behavioural learning theory).

Behaviorisme adalah cara berpikir yang dominan tentang belajar dan pendidikan, yang berkembang pada awal 1900-an, dan menjadi dominan pada awal abad ke-20 dan tetap berpengaruh kuat dalam sistem pendidikan sampai saat ini. Menurut behaviorisme, tujuan keseluruhan pendidikan adalah untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Oleh karena itu, hasil belajar yang diinginkan adalah perubahan bentuk atau frekuensi perilaku yang dapat diamati berupa apa yang dikatakan atau dilakukan pembelajar.

Menurut behaviorisme, belajar merupakan perubahan perilaku karena perolehan, penguatan dan penerapan asosiasi antara rangsangan dari lingkungan dan tanggapan individu yang dapat diamati. Huang, Spector, dan Yang (2019: 35) menyatakan bahwa gagasan utama behaviorisme tentang belajar adalah: 1) Proses belajar adalah upaya dan kesalahan bertahap sampai dicapai keberhasilan yang konsisten, 2) Kunci keberhasilan belajar bergantung pada penguatan, dan 3) Belajar melibatkan urutan stimulus-respons.

B. Tokoh-tokoh Behaviorsime dan Hasil Karyanya

Behaviorisme berperan penting untuk menetapkan psikologi sebagai disiplin ilmiah melalui metode objektifnya dan terutama eksperimentasi. Tokoh-tokoh utama behaviorisme adalah Ivan Pavlov (1849-1936), yang menyelidiki pengkondisian klasik; Edward Lee Thorndike (1874-1949), yang memperkenalkan konsep penguatan dan yang pertama menerapkan prinsip-prinsip psikologis untuk belajar; John B. Watson (1878-1958), yang menolak metode introspektif dan berusaha membatasi psikologi pada metode eksperimental; dan B.F. Skinner (1904-1990), yang melakukan penelitian tentang pengkondisian operan.

1. Ivan P. Pavlov: Classical Conditioning 

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), dikenal karena karyanya pada satu jenis belajar yang penting, yaitu pengkondisian klasik. Ia adalah seorang ahli fisiologi Rusia terkemuka yang melakukan penelitian dan pemenang Hadiah Nobel tentang pencernaan. Penelitian Pavlov dianggap sebagai yang pertama mengeksplorasi teori pengkondisian klasik: bahwa rangsangan menyebabkan respons dan bahwa otak dapat mengaitkan rangsangan bersama untuk mempelajari respons baru. Pavlov mempelajari peran air liur dalam proses pencernaan anjing ketika dia menemukan apa yang dia sebut refleks psikis (Weiten, 2017: 184).

Pengkondisian klasik ditemukan Pavliov secara tidak sengaja saat melakukan penelitian tentang pola pencernaan pada anjing. Selama eksperimennya, dia  memasukkan bubuk daging ke dalam mulut seekor anjing. Pavlov menemukan bahwa anjing itu mulai mengeluarkan air liur sebelum bubuk daging disajikan kepadanya. Segera anjing itu mulai mengeluarkan air liur begitu orang yang memberinya makan memasuki ruangan. Pavlov dengan cepat mulai tertarik pada fenomena ini dan meninggalkan penelitian pencernaannya demi studi pengkondisian klasiknya yang sekarang terkenal. Air liur anjing diambil melalui tabung yang ditanamkan melalui pembedahan di kelenjar ludah seperti  terlihat pada gambar 1 berikut.

Dalam penelitiannya Pavlov memasangkan suara detak metronom (alat sederhana yang menghasilkan suara detak ritmis) dengan presentasi makanan untuk melihat apakah anjing pada akhirnya akan mengeluarkan air liur dengan suara metronom (Ciccarelli & White, 2015: 178). Tindakan demikian disebut pengkondisian (conditioning). Konsep pengkondisian yang diciptakan oleh Pavlov dikemudian hari dikenal sebagai pengkondisian klasik (classical conditioning). Kata klasik untuk menegaskan bahwa konsep pengkondisian paling awal adalah karya Pavlov.

Eksperimen Pavlov terdiri dari 3 tahap: 1) sebelum pengkondisian, 2) selama pengkondisian, dan 3) setelah pengkondisian, diilustrasikan dalam gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2: Prosudur pengkondisian klasik Pavlov (Sumber    : Ciccarelli & White, 2015: 178)
Gambar 2: Prosudur pengkondisian klasik Pavlov (Sumber    : Ciccarelli & White, 2015: 178)
Eksperimen sebelum pengkondisian berupa tindakan memperdengarkan suara metronom pada anjing. Ternyata setelah mendengar bunyi metronom air liur anjing tidak keluar. Dalam eksperimen ini bunyi metronom adalah stimulis netral (neutral stimulus, sering disingkat NS) karena bunyi metronom tidak ada hubungannya dengan makanan.

 Eksperimen selama pengkondisian dilakukan dengan membunyikan metronom (NS) yang diikuti dengan menyajikan bubuk daging, menyebabkan air liur anjing keluar. Penyajian makanan merupakan stimulus tidak bersyarat (unconditioned stimulus, disingkat UCS) karena makanan menyebabkan keluarnya air liur.  Air liur anjing dapat keluar meskipun hanya melihat makanan saja. Keluarnya air liur anjing merupakan respons tanpa syarat  (Unconditioned Response, disingkat UCR).

 Eksperimen setelah pengkondisian berupa tindakan memperdengarkan bunyi metronom saja kepada anjing, dan ternyata air liur anjing juga keluar. Setelah pengkondisian, bunyi metronom merupakan stimulus bersyarat (Conditioned Stimulus, disingkat CS) dan keluarnya air liur disebut respons bersyarat (Conditioned Response, disingkat  CR).

Makna kejadian keluarnya air liur ketika anjing  mendengar bunyi metronom dapat dijelaskan sebagai berikut.  Bahwa bunyi metronom tersebut pada mulanya sebagai stimulus netral. Artinya, awalnya tidak menghasilkan respons air liur karena bunyi metronom bukan sesuatu yang dapat mengatasi rasa lapar anjing. Namun, Pavlov berhasil mengubahnya dengan memasangkan bunyi metronom dengan stimulus (bubuk daging) yang menghasilkan respons air liur. Melalui proses ini, bunyi metronom memperoleh kapasitas untuk memicu respons berupa keluarnya air liur. Apa yang telah ditunjukkan Pavlov adalah bagaimana asosiasi stimulus-respons, merupakan blok bangunan dasar belajar --- dibentuk oleh peristiwa di lingkungan organisme (Weiten, 2017: 185).

Banyak dari perilaku manusia yang terbentuk oleh pasangan rangsangan tertentu. Misalnya, ketika mendengarkan suatu lagu atau mengunjungi suatu tempat, kemudian memicu memori tentang kejadian-kejadian yang telah berlalu. Ketika asosiasi seperti itu berarti seseorang mengalami pengkondisian klasik.

2. Thorndike: Koneksionme

Edward Lee Thorndike (1874-1949), merupakan tokoh behaviorisme dari Amerika Serikat yang mengembangkan teori koneksionisme. Teori ini menekankan bahwa perilaku dimulai dengan refleks terkondisi dan respons alami dan perilaku baru dihasilkan dari perolehan ikatan baru melalui pengalaman. Thorndike merumuskan hukum-hukum utama belajar atas dasar pemahamnnya pada koneksionisme.

Konsep-konsep dasar teori koneksionisme Thorndike, sebagaimana diungkapkan oleh Schunk (2012: 73-74) secara ringkas adalah sebagai berikut.

  • Bahwa jenis belajar yang paling mendasar melibatkan pembentukan asosiasi atau koneksi antara pengalaman sensorik (persepsi rangsangan atau peristiwa) dan impuls saraf (tanggapan) yang memanifestasikan diri secara perilaku.
  • Semakin sering terjadi  respons tertentu terhadap rangsangan tertentu, semakin kuat tanggapan terkait dengan rangsangan itu.
  • Paradigma teori SR (stimulus -- response) adalah belajar trial and error di mana respons-respons tertentu mendominasi. Pada belajar trial-and-error terjadi secara bertahap saat respons yang berhasil ditetapkan dan respons yang tidak berhasil ditinggalkan.
  • Bahwa belajar  manusia lebih kompleks karena melibatkan hubungan ide, menganalisis, dan menalar.  Meskipun demikian, kesamaan hasil penelitian dari hewan dan studi manusia dapat digunakan untuk menjelaskan belajar kompleks dengan dasar prinsip-prinsip dasar belajar.
  • Proses belajar berdasarkan Teori Thorndike terdiri dari tiga hukum utama: (1) hukum akibat (the law of effect, (2) hukum kesiapan (the law of readiness), (3) hukum latihan ( the law of exercise).

3. J. B. Watson: Behaviorisme

John Broadus Watson (1878-1958),  dari Amerika Serikat, adalah seorang tokoh yang menciptakan dan mempopulerkan istilah behaviorisme dengan mempublikasikan pandangannya dalam artikel ilmiah pada tahun 1913 dengan judul "Psychology as the Behaviorist Views It". Dalam artikel tersebut, Watson berpendapat bahwa psikologi telah gagal dalam usahanya untuk menjadi ilmu alam, sebagian besar karena fokus pada kesadaran dan fenomena yang 

tidak terlihat. Dari pada mempelajari ide-ide yang tidak dapat diverifikasi, Watson mendesak studi ilmiah yang cermat tentang perilaku yang dapat diamati. Pandangannya tentang behaviorisme adalah reaksi terhadap introspeksi, di mana setiap peneliti berperan sebagai subjek penelitiannya sendiri, dan studi tentang kesadaran oleh Freud dan lainnya, yang diyakini Watson sangat subjektif dan tidak ilmiah.

J.B. Watson menerima gelar Ph.D. dalam psikologi dari University of Chicago pada tahun 1903. Pada tahun 1908 ia menjadi profesor psikologi di Universitas Johns Hopkins. Di Lembaga ini  ia mendirikan laboratorium untuk keperluan penelitiannya.  Di awal karirnya, Watson dipengaruhi oleh karya Ivan Pavlov. Watson merupakan ahli psikologi pertama yang mengenali implikasi sehari-hari teori Pavlov, yang kemudian mendirikan behaviorisme di Amerika dan secara bersemangat menyebarkan gagasan dari Pavlov ini (Wade & Tavris, 2007: 247). Berdasarkan karya Pavlov, Watson berpikir bahwa pengkondisian dapat menjadi dasar dari perspektif behaviorisme. Watson percaya bahwa rangkaian kehidupan manusia yang kaya akan emosi dan perilaku dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip kondisioning (Wade & Tavris, 2007: 247).

Watson sangat menentang studi tentang pemikiran, kognisi, introspeksi, atau bentuk kesadaran internal lainnya, yang merupakan fokus  kajian Strukturalisme yang dikembangkan oleh Wilhelm Wundt, Fungsionalisme yang dikembangkan William James, dan Psikoanalisis sebagai hasil pemikiran Sigmund Freud. Watson memandang bahwa proses mental bukanlah subjek yang tepat untuk studi ilmiah karena pada akhirnya merupakan peristiwa pribadi,  lagipula, tidak ada yang bisa melihat atau menyentuh pikiran orang lain (Weiten, 2017: 7). Dia menolak data yang bukan merupakan hasil observasi dan percaya bahwa psikologi seharusnya hanya mempelajari apa yang dapat diamati dan diukur dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Berkenaan dengan perkembangan anak, Watson berpandangan bahwa prinsip-prinsip behaviorisme dapat diterapkan untuk membentuk bayi menjadi apa pun sesuai dengan yang diinginkan.  Menurut pemikiran Watson, bahwa seseorang kemudian menjadi apa bukan karena faktor hereditas tetapi karena  dibentuk oleh lingkungannya. Pandangannya tentang peranan pengkondisian dalam perkembangan anak, dia tuangkan  dalam pernyataan sebagai berikut:

"Give me a dozen healthy infants, well formed, and my own specified world to bring them up in, and I'll guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select---doctor, lawyer, artist, merchant, chief, and yes, even beggar-man and thief, regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors" (Sigelmen & Rider, 2018: 40).

Watson melakukan beberapa eksperimen yang mengeksplorasi respons emosional yang terkondisi (conditioned emotional response) pada anak-anak. Eksperimennya Watson yang paling terkenal,  yang mengeksplorasi respons emosional yang terkondiri (conditioned emotional response) pada anak-anak, adalah eksperimen Little Albert.  Eksperimen tersebut dilakukan Bersama koleganya yang bernama Rosalie Rayner. Watson dan Rayner mengeksplorasi pengkondisian klasik dengan menggunakan bayi laki-laki bernama Albert yang berusia sembilan bulan. Mereka menunjukkan bahwa Albert  dapat dikondisikan untuk takut pada sesuatu, seperti tikus berbulu putih, padahal sebelumnya Albert tidak takut pada binatang tersebut.

Dalam eksperimennya Watson dan Rayner memasangkan kehadiran tikus putih di hadapan Albert dengan suara yang keras yang menakutkan. Pada saat Albert menyentuh hewan tersebut,  suara yang keras dan menakutkan diperdengarkan sehingga Albert takut dan menangis. Ternyata setelah tujuh kali presentasi tikus diikuti dengan suara keras yang menakutkan, setiap kali Albert melihat tikus, meskipun tanpa diikuti suara yang menakutkan, dia ketakutan menangis (Ciccarelli & White, 2015: 183).

Dalam konteks pengkondisian, suara keras adalah stimulus tidak terkondisi (UCS), ketakutan akan suara merupakan respons tidak terkondisi (UCR), tikus putih menjadi stimulus terkondisi (CS), yang menyebabkan respons terkondisi (CR) berupa ketakutan pada tikus. Efek dari pengkondisian ini bertahan sampai lima hari. Albert bereaksi dengan tingkat rasa takut  yang kurang lebih sama, tidak hanya ketika diperlihatkan seekor tikus, namun juga ketika diperlihatkan objek yang terlihat mirip dengan tikus yang berwarna putih dan berbulu, termasuk kelinci berwarna putih, jaket bulu warna putih, dan bahkan topeng sinterklas berwarna putih (Feldman, 2012: 219).

4. B. F. Skinner: Pengkondisian Operan

Burrhus Frederic Skinner (1904--1990) bisa dibilang tidak hanya psikolog paling terkenal pada masanya tetapi juga yang paling kontroversial. Apa yang membuatnya terkenal adalah kemampuannya untuk membawa prinsip-prinsip behaviorisme ke mata publik melalui buku-bukunya, artikel di majalah populer, dan penampilan publik dan apa yang membuatnya kontroversial adalah keyakinannya pada behaviorisme radikal, yang berpendapat bahwa perilaku, baik hewan atau manusia, sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan genetik (Nevid, 2018: 187).

Pengkondisian klasik dapat menjelaskan bagaimana manusia mempelajari respons refleksif yang relatif sederhana, seperti air liur dan kedipan mata, serta respons emosional yang terkait dengan rasa takut dan jijik. Tetapi teori tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia mempelajari perilaku yang lebih kompleks yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pengalamannya sehari-hari. Untuk menjelaskan perilaku yang demikian, maka perlu mempertimbangkan bentuk belajar yang diperkenalkan oleh Skinner, yang disebut pengkondisian operan (operant conditioning). Dengan pengkondisian klasik, dapat jelaskan belajar yang dihasilkan dari hubungan antara rangsangan sebelum respons terjadi dan dengan pengkondisian operan, dapat dieksplorasi mengeksplorasi belajar yang dihasilkan dari asosiasi respons dengan konsekuensinya (Nevid, 2018: 187).

Skinner berteori bahwa jika suatu perilaku diikuti dengan penguatan, perilaku tersebut kemungkinan besar akan diulangi, tetapi jika diikuti dengan hukuman, perilaku tersebut cenderung tidak akan terulang kembali. Pandangan Skinner didasarkan pada hasil penelitian yang dia lakukan yang menggunakan Kotak Skinner (Skinner Box). Kotak Skinner adalah sangkar yang berisi mekanisme pelepasan makanan yang diaktifkan hewan ketika merespons dengan cara tertentu --- misalnya, dengan menekan tuas atau mendorong sebuah tombol. Hewan yang digunakan untuk penelitian Skinner adalah tikus dan merpati dengan memberikan penguatan positif, penguatan negatif, atau hukuman dalam berbagai jadwal yang dirancang untuk menghasilkan atau menghambat perilaku hewan-hewan tersebut.

Skinner  sependapat dengan Watson bahwa psikologi harus fokus pada perilaku yang tampak sehingga dapat diukur secara objektif. Skinner tidak membantah teori pengkondisian klasik Pavlov, tetapi dia berusaha mengembangkan  kesimpulan Pavlov dengan eksperimennya sendiri dan hasilnya dia formulasikan ke dalam teori pengkondisian operan (operant conditioning theory).  Pengkondisian operan adalah belajar di mana respons yang disadari diperkuat atau  diperlemah, tergantung pada konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Feldmen, 2012: 225). Pengkondisian operan juga disebut belajar instrumental karena perilaku berperan dalam mewujudkan konsekuensi yang menguntungkan.

Berdasarkan pengamatannya, Thorndike mengajukan sebuah prinsip yang disebutnya sebagai hukum akibat, yang menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya suatu respons bergantung pada efek yang ditimbulkannya terhadap lingkungan. Secara khusus, hukum akibat Thorndike menyatakan bahwa respons yang memiliki efek yang memuaskan diperkuat dan menjadi lebih mungkin terjadi lagi dalam situasi tertentu, sedangkan respons yang menyebabkan ketidaknyamanan melemah dan menjadi kecil kemungkinannya untuk terulang kembali (Nevid, 2018: 187).

Karya eksperimental oleh Skinner menetapkan prinsip-prinsip dasar pengkondisian operan, termasuk yang akan di bahas berikut ini: penguatan positif dan negatif, penguat primer dan sekunder, rangsangan diskriminatif, shaping, extinction, dan hukuman.

a. Penguatan Posistif dan Negatif

Skinner berteori bahwa jika suatu perilaku diikuti dengan penguatan, perilaku tersebut kemungkinan besar akan diulangi, tetapi jika diikuti dengan hukuman, perilaku tersebut cenderung tidak akan terulang kembali. Prinsip dasar perilaku yang didokumentasikan oleh Skinner sederhana saja: Organisme cenderung mengulangi tanggapan yang mengarah pada hasil positif, dan mereka cenderung tidak mengulangi tanggapan yang mengarah pada hasil netral atau negatif (Weiten, 2017: 9). Menurut Skinner, frekuensi perilaku bisa ditambah melalui kehadiran penguat (reinforcers) seperti makanan, pujian, atau senyum ramah dan frekuensi perilaku juga dikurangi melalui hukuman (punishment), seperti penolakan atau pembatalan hak (Berk, 2012: 22).

Skinner membedakan antara dua jenis penguatan, penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reforcement).  Penguatan positif melibatkan penyajian stimulus, atau menambahkan sesuatu ke situasi, mengikuti respons, yang meningkatkan kemungkinan respons tersebut terjadi dalam situasi itu di masa depan (Schunk, 2012: 91).  Misalnya guru memberi pujian di hadapan semua siswa di kelas ketika seorang siswa berinisiatif mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dengan mengatakan "Bagus Rudi, sejak tadi kamu mencermati apa yang ibu jelaskan dan sekarang kamu siap mengerjakan soal di kelas ini".  Pujian yang  diterima tersebut membuat siswa bangga dan dia semakin aktif terlibatan dalam pembelajaran.

Penguatan negatif melibatkan penghapusan stimulus, atau mengambil sesuatu dari situasi setelah respons, yang meningkatkan kemungkinan masa depan bahwa respons akan terjadi dalam situasi itu (Schunk, 2012: 92).  Dengan penguatan negatif, sesuatu yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan diambil sebagai respons terhadap suatu stimulus. Seiring waktu, perilaku target harus meningkat dengan harapan bahwa hal yang tidak menyenangkan akan diambil. Menghilangkan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi siswa, ketika siswa mengikuti aturan adalah contoh penguatan negatif. Sesuatu yang tidak menyenangkan (serangkaian batasan) dihapus untuk mendorong perilaku baik siswa (bertindak sesuai aturan).

Contoh penguatan negatif guru mengurangi pekerjaan rumah siswa jika siswa berhasil mengerjakan soal yang diberikan guru di kelas. Penguatan negatif bukanlah hal yang negatif. Sebaliknya, ini tentang menghilangkan hal negatif. Penguatan negatif tidak sama dengan hukuman atau konsekuensi negatif untuk suatu tindakan. Penguatan negatif bukan kebalikan dari penguatan positif. Kedua jenis penguatan mendorong suatu perilaku. Penguatan negatif tidak memperkuat perilaku negatif melainkan memperkuat perilaku yang diharapkan (perilaku positif) dengan menghilangkan stimulus negatif. Penguat positif adalah sesuatu yang ditambahkan setelah respons terjadi, sedangkan penguat negatif adalah sesuatu yang dihilangkan setelah respons terjadi (Nevid, 2018: 189).

b. Penguat Primer dan Sekunder

Konsep lainnya yang diajukan Skinner adalah penguat primer (primary reinforcer) dan penguat sekunder (secondary reinforcer). Penguat primer adalah hal-hal berupa kebutuhan utama seperti makanan minuman, dan tempat tinggal. Intinya adalah bahwa beberapa rangsangan, yang disebut penguat primer, secara intrinsik bermanfaat karena mereka memenuhi kebutuhan atau dorongan biologis dasar (Nevid, 2018: 190).

Penguat sekunder adalah rangsangan yang dikondisikan melalui asosiasinya dengan penguat primer. Piring favorit seorang anak menjadi diperkuat secara sekunder melalui hubungannya dengan makanan yang ditaruh di atasnya (penguat primer). Jika penguat sekunder dipasangkan dengan lebih dari satu penguat primer maka disebut penguat umum (generalized reinforcer), misalnya, orang bekerja berjam-jam untuk mendapatkan uang (penguat umum), yang mereka gunakan untuk membeli banyak penguat, misalnya makanan, pakaian, handphone, dan sebagainya (Schunk, 2012: 93). Menurut pengkondisian operan pengembangan dan pemeliharaan banyak perilaku sosial dilakukan dengan penguat umum. Dalam bidang pendidikan, penguat umum perilaku siswa yang penting adalah pujian atau penghargaan dari guru, nilai tinggi, hak istimewa, kehormatan, dan gelar. Penguat ini sering dipasangkan dengan penguat umum lainnya, seperti persetujuan (dari orang tua dan teman) dan uang (kualifikasi pendidikan yang tinggi menghasilkan pekerjaan dengan imbalan yang tinggi).

c. Rangsangan Diskriminatif

Dalam eksperimen Skinner, tikus dimasukkan ke dalam kotak (Skinner box) dan diperkuat dengan makanan saat tikus menekan palang, tetapi hanya jika tikus itu merespons saat lampu dinyalakan. Saat lampu mati, tikus tidak menerima penguatan tidak peduli berapa kali ia menekan palang. Jelas, tingkat respons akan jauh lebih tinggi saat lampu menyala daripada saat dimatikan (Nevid, 2018: 190). Lampu yang dinyalakan adalah contoh stimulus diskriminatif, isyarat yang memberi sinyal bahwa penguatan tersedia jika subjek membuat respons tertentu.

Lingkungan fisik dan sosial manusia penuh dengan rangsangan diskriminatif. Anak-anak telah mengetahui kapan waktu yang lebih baik untuk meminta sesuatu kepada orang tuanya dengan mempertimbagkan ketika orang tidak sibuk dan memperlihatkan wajah gembira. Alasan anak melakukan tindakan yang demikian  karena dirinya telah mengetahui bahwa isyarat wajah seseorang berfungsi sebagai rangsangan diskriminatif yang menandakan waktu ketika permintaan bantuan lebih mungkin diterima secara positif (Nevid, 2018: 190). Lampu lalu lintas merah, jenis lain dari stimulus diskriminatif, memberi sinyal bahwa mengemudi melalui sebuah persimpangan harus berhenti dan menunggu sampai lampu tersebut berubah menjadi hijau.

d. Shaping

Skinner menggunakan pembentukan (shaping), suatu metode pelatihan yang dengannya pendekatan-pendekatan yang berurutan terhadap suatu perilaku target diperkuat.  Perilaku target adalah perilaku spesifik yang diidentifikasi untuk diubah melalui pengkondisian. Seperti halnya dengan pengkondisian klasik, perolehan dalam pengkondisian operan adalah pembentukan kecenderungan respons baru. Respons operan biasanya ditetapkan melalui proses bertahap yang disebut membentuk (shaping), merupakan penguatan perkiraan yang lebih dekat dari respons yang diinginkan (Weiten, 2017: 195). Shaping mengubah perilaku dengan memperkuat perilaku yang secara progresif mendekati perilaku target (respons operan). Pada proses pembentukan, langkah-langkah kecil menuju beberapa tujuan akhir diperkuat sampai tujuan tersebut tercapai  (Ciccrarelli & White, 2015: 199).

Metode shaping biasanya digunakan untuk melatih hewan, seperti anjing, untuk melakukan tugas-tugas sulit. Selain itu shaping  itu juga merupakan metode pembelajaran yang berguna untuk memodifikasi perilaku manusia. Misalnya, latihan menulis dengan perilaku target anak dapat menulis nama depannya. Pada mulanya anak diminta menulis huruf depan dari namanya. Guru memberi pujian karena anak menulis huruf pertama dengan benar. Setelah itu anak diminta menulis huruf selanjutnya dari namanya. Dan huruf demi huruf yang membentuk namanya ditulis anak  dan jika penulisannya benar, anak mendapat  pujian sampai seluruh nama ditulis dengan benar.

e. Extinction

Dalam pengkondisian operan, perilaku diperkuat dengan mendapatkan sesuatu yang positif (penguatan positif) atau menghilangkan sesuatu yang negatif ketika perilaku itu terjadi (penguatan negatif). Bahwa hilangnya respons yang dikondisikan secara klasik terjadi ketika stimulus yang dikondisikan berulang kali disajikan tanpa adanya stimulus yang tidak dikondisikan, demikian pula, dalam pengkondisian operan, extinction (pemadaman) adalah proses di mana respons dilemahkan dan akhirnya dihilangkan ketika respons dilakukan berulang kali tetapi tidak lagi diperkuat (Nevid, 2018: 191). Hilangnya respon yang telah terbentuk karena tidak mendapatkan penguatan disebut extinction. Berikut beberapa contoh extinction. Seorang balita sebelumnya belajar bahwa ketika dia menangis di Indomart akan direspons oleh ibunya dengan membelikan sesuatu yang dia inginkan. Suatu ketika, ibunya tidak perduli dengan tangisan putranya, akhirnya tangisannya berhenti meskipun ibunya tidak memperlakukan dia seperti waktu-waktu sebelumnya.

f. Hukuman

Ada yang yang memandang bahwa hukuman sama dengan penguatan negatif.   Tetapi keduanya adalah suatu tindakan yang memiliki tujuan yang sangat berbeda. Bahwa penguatan negatif, seperti halnya penguatan positif, dimaksudkan untuk meningkatkan perilaku. Sebaliknya, hukuman dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku.

Hukuman biasanya melibatkan presentasi stimulus permusuhan (misalnya memukul anak), namun, hukuman juga dapat melibatkan penghapusan stimulus yang bermanfaat, misalnya, mencabut hak istimewa anak untuk menonton TV (Weiten, 2017: 203). Hukuman dibedakan menjadi hukuman positif dan hukuman negatif. Dalam hukuman positif, ditambahkan rangsangan yang tidak diinginkan untuk mengurangi perilaku. Misalnya, guru memperingatkan siswa yang datang terlambat mengikuti proses belajar pembelajaran di kelas. Bahwa stimulus berupa peringatan diberikan untuk menghilangkan perilaku negatif siswa (terlambat masuk kelas). Sedangkan dalam hukuman negatif, stumulus atau objek yang menyenangkan bagi anak dihilangkan agar tidak lagi terjadi perilaku negatif. Misalnya, orang tua mematikan atau mengganti acara televisi kesukaan anak karena karena anak berperilaku yang bertentangan dengan norma.

C. Penerapan Teori Belajar Behaviorisme dalam Proses Belajar dan Pembelajaran

Paradigma pokok pembelajaran behaviorisme adalah perubahan perilaku yang disebabkan oleh pengkondisian faktor lingkungan. Implikasi dari prinsip tersebut pada pembelajaran adalah bahwa hasil yang diinginkan dapat dicapai melalui pengendalian lingkungan belajar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berikut ini beberapa cara menerapkan teori behaviorisme di kelas untuk mendapatkan dan mempertahankan perilaku siswa yang diinginkan.

  • Teknik modifikasi perilaku termasuk pujian, sistem penghargaan, umpan balik berkelanjutan, penguatan positif, dan pendisiplinan.
  • Behaviorisme mengupayakan pembentukan perilaku yang diinginkan melalui pengkondisian lingkungan belajar. Sejalan dengan ini, guru hendaknya menetapkan rutinitas dan praktik untuk mempromosikan penguasaan perilaku yang diinginkan. Misalnya saat memasuki ruangan, siswa harus menyapa guru dan teman sekelasnya. Tindakan ini akan meningkatkan rasa hormat di antara mereka, dan membangun persahabatan dan harmonis di kelas. Saat pergi atau keluar dari ruang kelas, mereka harus meminta izin pada guru. Aturan ini tidak hanya akan mengembangkan kebiasaan baik tetapi juga memastikan keamanan.
  • Untuk memperkuat perilaku positif, siswa yang telah menunjukkan keberhasilannya dalam belajar harus diberi penghargaan. Penghargaan dan pengakuan berfungsi sebagai motivasi bagi siswa untuk mengembangkan kebiasaan belajar yang baik dan sifat yang diinginkan. Dengan menggunakan reward, siswa akan dikondisikan untuk melakukan lebih banyak hal yang positif. Imbalan bisa dalam bentuk pujian. Memberi penghargaan kepada siswa atas keberhasilannya akan membuat mereka bangga, menghargai prestasi, dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi di waktu mendatang.
  • Memotivasi siswa dengan menggunakan pendekatan behaviorisme memerlukan penjelasan kepada siswa tentang  tujuan belajar  di awal kegiatan.  Sebelum memulai pembelajaran, guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang tujuan belajar. Rutinitas ini memfokuskan siswa untuk mencapai tujuan. Pada akhirnya, evaluasi singkat harus dilakukan. Pola demikian membimbing siswa untuk menentukan sendiri apakah mereka telah mencapai tujuan, dan juga memberi tahu guru tentang perlunya memperkuat keterampilan dengan kegiatan tindak lanjut.
  • Optimalisasi latihan. Guru dapat mempraktikkan keterampilan menggunakan pola drill untuk membantu siswa melihat pengulangan dan penguatan yang digunakan teori belajar perilaku.
  • Pertanyaan dan jawaban. Guru dapat menggunakan pertanyaan sebagai stimulus dan jawaban sebagai respons. Pertanyaan dimulai dari yang mudah kemudian ditingkatkan menjadi lebih sulit.
  • Latihan terpandu. Guru dapat terlibat langsung dalam membantu siswa mengatasi masalah untuk memberi mereka penguatan dan demonstrasi perilaku yang diharapkan diikuti oleh siswa.
  • Ulasan rutin. Ulasan penting untuk teori belajar perilaku. Meninjau kembali materi pembelajaran dan memberikan penguatan positif akan membantu siswa mengingat informasi dengan lebih baik.

Daftar Pustaka

Berk, L.E. (2012). Development Through the Lifespan: Dari Prenatal Sampai Remaja. (Alih Bahasa: Daryatno). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ciccarelli, S.K. & White, J.N. (2015). Psychology. Boston: Pearson.

Coon, D. & Mitterer, J.O. (2010). Introduction to Psychology: Gateways to Mind and Behavior. Belmont: Wadsworth.

Feldmen, R.S. (2012). Pengantar Psikologi: Buku 1. (Penterjemah: Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdiana Sofyan). Jakarta: Salemba Humanika.

Huang, R., Spector, J.M. & Yang, J. (2019). Educational Technology: A Primer for the 21 st Century. Singapore: Springer Nature Singapore Pte Ltd.

Nevid, J.S. (2018). Essentials of Psychology: Concepts and Applications. Boston: Cengage Learning.

Schunk, D.H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Pearson.

Siegelman, C.K. & Rides, E.A. (2018). Life-Span Human Development. Bonston: Cengage Learning.

Wade, C. & Travis, C. (2007). Psikologi: Jilid 1. (Alih Bahasa: Padang Mursalim dan Dinastuti. Jakarta: Erlangga.

Weiten, W. (2017). Psychology: Themes and Variation. Boston: Cengage Learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun