Abstrack
Nilai-nilai hidup St Yosef secara lebih mendalam terlukis dalam spiritualitas Konggergasi Suster-suster St. Yosef imago dei (kesecitraan). Manusia diciptakan menurut citra Allah (bdk Kej. 1:26). Oleh karena kesecitraan inilah, manusia dipanggil Allah untuk menghargai kehidupan. Menghargai kehidupan berarti memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki agar setiap orang memperoleh kesempatan hidup yang sepantas dan sewajarnya.
Namun, oleh karena berbagai hambatan, tidak semua orang dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya. Salah satu hambatan itu antara lain, keterbatasan fisik dan mental permanen atau yang dikenal dengan sebutan disabilitas. Disabilitas netra atau yang selanjutnya disebut tunanetra adalah mereka yang mengalami hilangnya fungsi penglihatan.
Ketunanetraan seringkali menimbulkan rasa ketidakberdayaan pada orang yang mengalaminya. Untuk mengatasi hal itu, perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang mampu membentuk self confidence/kepercayaan peserta didik. Peserta didik akan lebih termotivasi mengembangkan dirinya ketika memiliki self confidence yang baik. Salah satu model pembelajaran yang cocok bagi siswa tunanetra adalah dengan mengintegrasikan pola berpikir reflektif dan penghayatan nilai-nilai spiritual.
Proses pemikiran reflektif dapat membantu peserta didik mendapatkan solusi ataupun keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan yang matang. Sedangkan spiritualitas membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan dalam hidup mereka. M
aka dari itu, memiliki spiritualitas di kehidupan sehari-hari sangat penting untuk membuat seseorang menjadi individu yang utuh dan bermakna. St Yosef yang merupakan pelindung SLB A Karya Murni, memiliki nilai unggul yang dapat membentuk siswanya menjadi pribadi yang utuh dan bermakna.
Kata Kunci: St Yosef, SLB A Karya Murni, Spritualitas dan Refleksi
Abstract
The values of life of St. Joseph are deeply reflected in the spirituality of the Congregation of the Sisters of St. Joseph, Imago Dei (the image of God). Humans are created in the image of God (cf. Gen. 1:26). Because of this image, humanity is called by God to respect life. Respecting life means empowering the potential within each person so that everyone can have the opportunity to live a life that is just and proper.
However, due to various obstacles, not everyone is able to develop all the potential they possess. One of these obstacles is, among others, physical and mental limitations, often referred to as disabilities. Visual impairment, or what is known as blindness, refers to those who experience the loss of visual function.
Blindness often leads to a sense of powerlessness for those who experience it. To address this, a learning model needs to be developed that can help build the self-confidence of the learners. Learners will be more motivated to develop themselves when they have good self-confidence. One of the learning models suitable for blind students is integrating reflective thinking and the internalization of spiritual values.
Reflective thinking helps students find solutions or make decisions based on thorough considerations. Meanwhile, spirituality helps individuals discover meaning and purpose in their lives. Therefore, having spirituality in daily life is crucial in shaping someone into a whole and meaningful individual. St. Joseph, the patron of SLB A Karya Murni, has superior values that can help shape its students into complete and meaningful individuals.
- PENDAHULUAN
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang istimewa. Kitab Kejadian 1:26-27 melukiskan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. “Berfirmanlah Allah, baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas segala makluk yang ada di bumi”.
Kitab Mazmur mengungkapkan bahwa manusia sebagai citra Allah sesungguhnya yang sangat mempesona. (bdk Mz 8:2-10). Kedua kutipan ini hendak menekankan bahwa Allah memberikan martabat luhur kepada manusia dan dipanggil untuk hidup seturut kehendak Allah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kata ‘martabat’ adalah tingkat, derajat, pangkat, dan harga diri, sedangkan kata manusia berarti makluk yang berakal budi. Sebagai makluk yang memiliki martabat luhur, Allah menganugerahkan manusia kemampuan untuk berfikir, merasa dan berkendak.
Oleh karena kemampuannya ini, manusia tidak cukup hanya sekedar tumbuh dan berkembang sampai pada tingkat kemampuan organ tubuhnya saja tetapi perlu mengembangkan daya fikir, daya rasa dan daya berkehendak.
Kendati manusia memiliki daya pikir, daya rasa dan daya kehendak untuk mengembangkan diri dan potensi yang ada dalam dirinya, pada kenyataan, tidak semua orang mampu mengembangkan dirinya secara utuh. Ada berbagai alasan yang menjadi penyebab seseorang tidak dapat mengembangkan diri secara utuh. Salah satu adalah hambatan fisik dan mental permanen, yang dikenal dengan sebutan penyandang disabilitas.
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mendefinisikan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Lebih lanjut UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas mengelompokkan penyandang disabilitas ke dalam 5 (lima) jenis. Pertama, disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak. Kedua, disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Ketiga, disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Keempat, disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Kelima, disabilitas ganda adalah disabilitas yang dua atau lebih ragam disabilitas.
SLB-A Karya Murni merupakan lembaga pendidikan khusus bagi penyandang tunanetra. Melalui metode penelitian kualitatif yakni wawancara dan studi kasus, penulis mengamati bahwa, para siswa tunanetra di SLB A Karya Murni memiliki rasa percaya diri rendah dalam mengembangkan dirinya. Gambaran-gambara negative dirinya, seperti menyalahkan sang pencipta, mengapa harus terlahir sebagai tunanetra, merasa tidak bisa berbuat apa-apa, menganggap diri tidak memiki potensi dan kemampuan untuk dikembangkan, terus membayangi pikiran mereka.
Kondisi inilah yang mendorong penulis untuk mendeskripsikan pentingnya refleksi spiritualitas St Yosef bagi siswa/i SLB A Karya Murni dalam mengembangkan dirinya. Alasan penulis memilih spritualitas St Yosef karena St Yosef merupakan pelindung sekolah. St Yosef mewarisi aneka kekayaan spiritual yang mampu menuntun setiap pribadi untuk berkembang menjadi lebih baik.
Dalam konteks SLB A Karya Murni, spiritualitas St Yosef ini dijabarkan dalam lima nilai dasar. Kelima nilai dasar itu antara lain, pro life, empowering, compassion, trust, honesty. Penulis berkeyakinan bahwa dengan merefleksikan spiritualitas St Yosef ini secara terus menerus, siswa-siswi SLB A Karya Murni dapat mencapai pengembangan diri yang optimal.
SELAYAK PANDANG SLB-A KARYA MURNI
SLB-A Karya Murni didirikan pada 26 Agustus 1953. Awal pendirian SLB A Karya Murni diinspirasikan oleh kisah kedatangan seorang gadis kecil yang tidak melihat, bernama Ponikem. Gadis kecil berusia 13 tahun itu ditemukan oleh serdadu Belanda di jalan kota Martapura, kabupaten Langkat.
Oleh karena belaskasihan, serdadu Belanda ini membawa Ponikem ke susteran St Yosef Jl. Hayam Wuruk, Medan dan disambut hangat oleh sr, Idelfonsa Van de Watering, seorang misionaris asal Belanda.
Kehadiran Ponikem membuka pemikiran Sr. Idelfonsa dan para suster di Hayam Wuruk pada masa itu untuk tidak sekedar mengasuh Ponikem tetapi menuntunnya agar bisa membaca, menulis, mengembangkan bakat dan potensinya dan kelak bisa hidup mandiri.
Karena pada masa itu belum ada sekolah khusus untuk siswa tunanetra di Sumatera Utara, maka Sr Idelfonsa memutuskan untuk ke negeri Belanda mendalami pendidikan bagi anak tunanetra sekaligus memohon kepada pimpinan konggergasi yang saat itu berkedudukan di Belanda untuk membuka sekolah bagi anak tunanetra di Medan, Sumatera Utara.
Pimpinan Konggergasi St Yosef menyetujui usulan Sr. Idelfonsa untuk membuka sekolah tunanetra di Medan, Sumatera Utara. Tress Bong, seorang gadis tunanetra asal Kepulauan Bangka, yang telah lama mengenyam pendidikan tunanetra di Belanda, diutus ke Medan untuk menjadi pengajar di SLB-A Karya Murni. Selang beberapa waktu, para murid yang bersekolah di SLB-A Karya Murni pun bertambah.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan siswa tunanetra, pada tahun 1970, SLB A Karya Murni yang semula di Jl Hayam Wuruk dipindahkan ke Jl Karya Wisata, Medan Johor. Para suster santo Yosef memandang, sarana dan fasilitas di jln Hayam Wuruk kurang memadai.
Demi mengoptimalkan pembelajaran dan pendampingan siswa tunanetra, dibangunlah sebuah gedung baru yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas. St. Yosef dijadikan pelindung sekolah. Kini, di usia ke 71 tahun, SLB A Karya tetap berkarya melayani para disabilitas netra.
TUNANETRA DAN PERMASALAHANNYA
Pengertian Tunanetra
Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata atau alat penglihatan. Jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan. Sedangkan istilah orang yang buta merujuk orang yang rusak penglihatannya secara total. Jadi, orang yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total tetapi orang yang buta sudah pasti tunanetra.
Secara umum para medis mendefinisikan tunanetra sebagai orang yang memiliki ketajaman sentral 20/200 feet atau ketajaman penglihatannya hanya pada jarak 6 meter atau kurang, walaupun dengan menggunakan kacamata, atau daerah penglihatannya sempit sehingga jarak 2 sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. Sedangkan orang dengan penglihatan normal akan mampu melihat dengan jelas sampai pada jarak 60 meter atau 200 kaki (Hidayat & Suwandi, 2013).
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa tunanetra tergolong dalam dua kelompok, yaitu tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang awas atau memiliki keterbatasan penglihatan.
Faktor Penyebab Tunanetra
Pradopo (1977) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan seseorang menderita tunanetra, antara lain:
- Faktor endogen, merupakan faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau yang disebut juga dengan faktor genetik. Adapun ciri yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima energi positif sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya tertutup oleh selaput putih atau keruh.
b. Faktor eksogen atau faktor luar, seperti:
1) Penyakit yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang meninggi akibat penyerangan virus yang lama kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan fungsi indera yang akan menjadi permanen, dan ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis, degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata menjadi mengeruh.
2) Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung yang merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan erat dengan fungsi saraf netra, akibat terkena radiasi ultra violet atau gas beracun yanga dapat menyebabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk melihat, dan dari segi kejiwaan yaitu stress psikis akibat perasaan tertekan, kesedihan hati yang amat mendalam yang mengakibatkan seseorang mengalami tunanetra permanen.
3. Kondisi Psikologis Tunanetra
Hilangnya fungsi penglihatan menimbulkan keterbatasan tunanetra untuk menjelajahi semua isi benda maupun orang lain yang berada di lingkungan sekitarnya. Seorang tunanetra akan selalu menunggu aksi dari benda atau orang lain sebelum melakukan reaksi (Hidayat & Suwandi, 2013).
Jadi mereka akan bergerak dan merespon apabila ada stimulus terlebih dahulu yang datang padanya. Dengan demikian, kemampuan inisiatif untuk melakukan kegiatan cenderung rendah atau mengkin tidak ada sama sekali. Kondisi seperti ini bahkan dapat mengakibatkan seorang tunanetra kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosial.
Ketunanetraan seringkali menimbulkan rasa ketidakberdayaan pada orang yang mengalaminya. Menurut Abramson, Metalsky & Alloy, perasaan ketidakberdayaan ini akan menimbulkan rasa keputusasaan dan depresi. Depresi tersebut ditandai dengan munculnya peristiwa kehidupan yang negatif yang dipersepsi sebagai bersifat global, permanen, dan diluar kontrol individu (Nawawi, A., Tarsidi, D., Hosni, I., 2010).
Tunanetra memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak berdaya dan inkompeten, ditambah dengan perasaan cemas dan depresi. Hal ini akan mengakibatkan kehilangan rasa harga diri, karena tunanetra tahu bahwa untuk memiliki kehidupan yang berkualitas harus berbuat sesuatu untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Reflektif dan Menghayati Spiritualitas St Yosef
Di bandingkan dengan ketunaan lain, tunanetra memiliki keunggulan di bidang akal budi dan pikiran. Tunanetra umumnya mampu menggunakan akal budi secara baik, layaknya orang pada umumnya. Oleh karena itu, model pembelajaran yang menggunakan pendekatan refleksi-spiritual, tepat diberikan kepada para tunanetra. Pendekatan refleksi-spiritual dapat menjadi pembelajaran alternatif bagi mereka dalam mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya.
Pentingnya Berpikir Reflektif
Menurut Driyarkara, pendidikan pada hakekatnya adalah suatu usaha untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti mendidik manusia dari yang “tidak mampu” menjadi “mampu” dari seorang yang “tidak berdaya” menjadi “sumber daya”. Pendidikan berusaha untuk mengangkat manusia pada martabatnya yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Novianti et al., (2014) menyatakan bahwa pendidikan dewasa ini harus diarahkan tidak semata-mata pada pemahaman dan penguasaan konsep saja, tetapi juga diperlukan peningkatan pada keterampilan berpikir.
Ketrampilan berpikir peserta didik perlu senantiasa dilatih. Menurut Hamidah (Sara et al., 2020) kemampuan berpikir itu tidak dari sekedar mengingat tetapi berpikir kritis, logis, reflektif. Di dalam proses berpikir, diperlukan kemampuan menghubungkan informasi, menganalisis, membuat sintesis serta mengevaluasinya untuk diterapkan dalam mengatasi masalah atau situasi. Kemampuan tersebut dapat diperoleh melalui berpikir reflektif.
Kemampuan berpikir reflektif merupakan suatu proses mendapatkan pengalaman dalam pemecahan masalah, dengan mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, memodifikasi pemahaman dalam rangka memecahkan masalah, dan menerapkan hasil yang diperoleh dalam situasi yang lain (Angkotasan, 2013). Selain itu, fungsi pemikiran reflektif adalah untuk memaknai, merumuskan hubungan antar pengalaman dan menciptakan kontinuitas (Choy et al., 2017).
Peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir reflektif akan lebih mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam proses pembelajarannya, dapat memecahkan masalah dengan alasan yang logis, serta mampu menganalisis kembali ketika memilih solusi untuk memecahkan suatu masalah atau situasi. Berpikir reflektif ini akan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran serta perubahan perilaku (Başol & Gencel, 2013).
Hubungan dari kemampuan berpikir reflektif dan self-confidence ini dapat tercermin dari beberapa penelitian yang dilakukan. Menurut Costa dan Calick (Miliyawati, 2014), individu yang mengamalkan pemikiran reflektif akan menunjukkan rasa percaya diri dan bersifat terbuka serta mampu mengubah pandangannya ketika memperoleh informasi yang baru. Hasil dari penelitian tersebut menerangkan bahwa berpikir reflektif dapat melatih kebiasaan-kebiasaan yang membuatnya bisa memutuskan tindakan yang lebih bijak, sehingga perlu dilakukan secara konsisten untuk menghasilkan peserta didik yang lebih unggul.
Kemampuan berpikir reflektif yang baik memungkinkan peserta didik untuk dapat menghadapi berbagai halangan selama pemecahan masalah dan bersikap aktif dalam prosesnya, dimana hal tersebut menjadi salah satu aspek dari kepercayaan diri. Proses pemikiran reflektif juga membuat peserta didik mendapatkan solusi ataupun keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan yang matang, sehingga peserta didik dapat lebih percaya diri dalam bertindak dan bertanggung jawab atas keputusan yang dipilihnya.
Peran Spiritualitas
Spiritualitas adalah sikap batin yang merespon pengalaman dan perkembangan hidup dengan mengacu pada tradisi dan agama tertentu (Einar M Sitompul 2012). Dalam konteks kekristenan, spiritualitas adalah keberadaan seseorang yang berada dalam hubungan yang benar dengan Tuhan, dengan sesama dan ciptaan yang lainnya (Rahmiati Tanudjaja, 2018). Spiritualitas merupakan proses transformasi melalui berbagai aspek kehidupan yang terintegrasi meliputi fisik, emosional, pekerjaan, intelektual dan rasional.
Sebagai manusia, kita dibentuk dari tubuh, pikiran, emosi dan jiwa (spirit). Spiritualitas memberikan ekspresi bahwa ada sesuatu di dalam diri kita; yang berkaitan dengan perasaan, dengan kekuatan yang datang dari dalam diri kita, dengan mengetahui diri kita terdalam. Spiritualitas dapat merefleksikan nilai, seperti, memberikan kontribusi kepada umat manusia serta alam semesta.
Spiritualitas membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan dalam hidup mereka dan lebih menunjukkan nilai personalnya. Nilai personal ini merefleksikan hasrat untuk membuat perbedaan dan membantu untuk membuat dunia lebih bermakna. Maka dari itu, memiliki spiritualitas di kehidupan sehari-hari sangat penting untuk membuat kita menjadi individu yang utuh dan bermakna.
Hubungan Refleksi dan Spiritualitas
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa antara refleksi dan spiritualitas saling terkait. Kecerdasan spiritual berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola makna-makna, nilai-nilai dan kualitas kehidupan spritualnya. Kehidupan Spiritual ini meliputi: (1) Hasrat untuk hidup bermakna; (2) motivasi mencari makna hidup; dan (3) mendambakan hidup bermakna (Ramayulis, 2002).
Refleksi berarti merenungkan atau berpikir kembali tentang pengalaman, tindakan atau peristiwa yang terjadi. Proses refleksi membantu seseorang untuk memahami dan menilai tindakan atau keputusan yang telah diambil serta belajar dari pengalaman tersebut untuk perbaikan di masa datang (J. Dewey 1933).
Kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses self reflection yang baik pada seseorang. Dengan meningkatkan kecerdasan spiritual, seseorang (siswa) dapat menggali nilai-nilai spiritual yang membantu mereka memahami diri sendiri, menemukan tujuan hidup yang bermakna, dan mengevaluasi tindakan serta keputusan yang mereka ambil. (Laksmi Anantasari, 2012).
Menghayati dan Menghidupi Spiritualitas St Yosef
Paus Fransiskus dalam surat aspostoliknya ”Patris Corde” menggambarkan sosok Santo Yosef sebagai bapa yang selalu siap untuk melayani, bapa yang lembut dan murah hati. Keagungan Santo Yosep ditegaskan oleh Santo Yohanes Chrisostomus, “ia menempatkan dirinya untuk melayani seluruh rencana keselamatan,”. Lebih jauh, Paus Paulus VI melihat bahwa peran kebapaan Santo Yosep diungkapkan secara nyata “dengan menjadikan hidupnya sebagai suatu pelayanan, sebuah pengorbanan kepada misteri Inkarnasi dan misi penebusan Sang Juru Selamat”.
Spiritualitas St Yosef, oleh Yayasan Karya Murni Medan, dijabarkan ke dalam lima nilai dasar yang lebih dikenal dengan sebutan Core Values. Penjabaran ini dimaksudkan untuk merelevansikan spiritualitas St Yosef ke dalam lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Karya Murni. Kelima dasar tersebut antara lain:
- Pro Life (menghormati kehidupan).
Spiritualitas Santo Yosef mengajarkan pentingnya menghargai dan melindungi kehidupan, merawat keluarga dengan penuh tanggung jawab, dan mengikuti prinsip-prinsip moral dalam kehidupan sehari-hari, semuanya merupakan prinsip utama dalam gerakan pro-life yang meliputi
- Penghargaan Terhadap Kehidupan: Santo Yosef menunjukkan penghargaan yang mendalam terhadap kehidupan dengan menerima Maria sebagai istrinya dan mengasuh Yesus sebagai anak angkat. Nilai ini sejalan dengan prinsip pro-life yang menekankan pentingnya menghargai dan melindungi kehidupan sejak konsepsi hingga akhir hayat.
- Kepedulian dan Perlindungan: Santo Yosef menunjukkan kepedulian dan perlindungan terhadap Maria dan Yesus dengan melindungi mereka dari ancaman Herodes. Ini mencerminkan komitmen pro-life untuk melindungi kehidupan dan kesejahteraan, terutama mereka yang rentan, seperti janin dan ibu hamil.
- Tanggung Jawab Keluarga: Santo Yosef menjukkan teladan dalam tanggung jawab keluarga, menjaga dan mendukung keluarga Kudus. Ini mencerminkan nilai pro-life tentang pentingnya dukungan keluarga dan komunitas dalam memastikan bahwa setiap kehidupan dihargai dan dipelihara dengan baik.
- Ketaatan kepada Tuhan dan Rencana-Nya: Ketaatan Santo Yosef terhadap rencana Tuhan, meskipun sering kali penuh tantangan dan ketidakpastian, mencerminkan nilai pro-life dalam mengikuti prinsip-prinsip moral dan etika yang menekankan perlunya mematuhi dan melindungi nilai-nilai kehidupan.
Compassion (berbelas kasih).
Santo Yosef mengajarkan umat Kristiani tentang pentingnya menunjukkan belas kasih yang aktif melalui perhatian, pengorbanan, perlindungan, dan dukungan yang tulus terhadap orang lain. Berikut adalah beberapa nilai compassion dari spiritualitas Santo Yosef:
Perhatian dan Keleluasaan Terhadap Orang Lain: Santo Yosef menunjukkan perhatian yang mendalam terhadap Maria dan Yesus, terutama dalam konteks situasi sulit. Keputusannya untuk tetap bersama Maria meskipun kehamilannya dianggap luar biasa menunjukkan sikap belas kasih yang penuh pengertian dan dukungan.
Pengorbanan Diri untuk Kesejahteraan Orang Lain: Santo Yosef memberikan contoh nyata tentang pengorbanan diri. Dengan bekerja keras sebagai tukang kayu, ia memastikan bahwa keluarganya memiliki kebutuhan dasar yang terpenuhi. Sikap ini menunjukkan kepedulian mendalam terhadap kesejahteraan orang yang dikasihinya, tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan.
Kerendahan Hati dan Kesederhanaan dalam Melayani: Santo Yosef menunjukkan kerendahan hati dan kesederhanaan dalam perannya sebagai kepala keluarga. Ia tidak mencari pujian atau pengakuan, tetapi menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh kasih dan dedikasi. Kesederhanaan ini mencerminkan sikap belas kasih yang tulus dan tidak egois.
Honesty (kejujuran).
Kejujuran adalah kualitas yang terlihat jelas dalam tindakan dan sikap Santo Yosef, dan berikut adalah beberapa nilai inti honesty yang terkait dengan spiritualitasnya:
Kejujuran dalam Tindakan: Santo Yosef menunjukkan kejujuran dalam tindakannya dengan cara yang sangat konsisten. Ketika dia mengetahui bahwa Maria hamil, dia tidak langsung menceraikannya secara publik meskipun dia awalnya ragu. Keputusan ini menunjukkan kejujuran dalam menghadapi situasi sulit tanpa menambah kesulitan bagi Maria, melainkan memilih jalan yang penuh pertimbangan dan belas kasih.
Integritas dalam Peran Keluarga: Sebagai kepala keluarga, Santo Yosef menunjukkan integritas dengan sepenuh hati menjalankan tanggung jawabnya. Dia bekerja keras sebagai tukang kayu dan merawat Maria dan Yesus dengan sepenuh hati, tanpa mencari keuntungan pribadi atau pengakuan. Ini adalah bentuk kejujuran dalam memenuhi tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.
Transparansi dalam Hubungan: Dalam hal keputusan yang diambil, Santo Yosef tidak menyembunyikan atau menyamarkan niatnya. Keputusan-keputusan besar, seperti menerima Maria sebagai istrinya dan mengasuh Yesus, diambil dengan keterbukaan dan transparansi, menunjukkan komitmen pada kejujuran dalam hubungan pribadi dan keluarga.
Kejujuran Moral dan Etika: Dalam konteks moral dan etika, Santo Yosef tidak hanya mengikuti hukum Tuhan tetapi juga menegakkan prinsip-prinsip yang benar dalam situasi sulit. Keputusannya untuk melindungi dan merawat Maria dan Yesus menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, bahkan ketika ada risiko pribadi yang terlibat.
Empathy (empati).
Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Spiritualitas Santo Yosef mengajarkan umat Kristiani tentang pentingnya empati melalui pengertian, dukungan, dan pengorbanan pribadi. Berikut adalah beberapa nilai inti empati dari spiritualitas Santo Yosef:
Pengertian dan Dukungan dalam Kesulitan: Santo Yosef menunjukkan empati yang mendalam dengan cara mendukung Maria dalam situasi yang sangat sulit. Meskipun kehamilan Maria tampak mencurigakan pada pandangannya, dia tidak membuat keputusan cepat yang dapat merugikan Maria. Sebaliknya, dia memilih untuk diam-diam mendukung Maria dan menerima perannya dalam rencana Tuhan, menunjukkan pengertian dan sensitivitas terhadap situasi emosional Maria.
Keterbukaan untuk Mengerti Kebutuhan Orang Lain: Dengan merawat Maria dan Yesus, Santo Yosef menunjukkan perhatian yang mendalam terhadap kebutuhan mereka. Ini mencerminkan empati dalam memahami dan memenuhi kebutuhan emosional dan fisik orang-orang di sekelilingnya. Tindakan-tindakannya mencerminkan rasa peduli dan kasih sayang yang tulus.
Kerendahan Hati dalam Melayani: Santo Yosef menunjukkan empati melalui sikap kerendahan hati dalam pelayanan. Dia tidak mencari pengakuan atau kehormatan tetapi menjalani perannya dengan penuh dedikasi, menunjukkan bahwa dia memahami dan menghargai pentingnya pelayanan yang tulus dan tanpa pamrih.
Trust (kepercayaan) dan worthiness (kelayakan).
Spiritualitas Santo Yosef memancarkan nilai-nilai yang berkaitan dengan trust (kepercayaan) dan worthiness (kelayakan). Nilai-nilai itu antara lain :
Kepercayaan pada Rencana Tuhan: Santo Yosef menunjukkan kepercayaan yang mendalam terhadap rencana Tuhan meskipun tidak selalu jelas atau mudah dimengerti. Ketika malaikat memberitahunya bahwa Maria hamil dari Roh Kudus, Santo Yosef menerima berita tersebut dengan penuh kepercayaan tanpa keraguan. Dia mengikuti petunjuk Tuhan dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik, meskipun situasi tersebut penuh dengan ketidakpastian.
Kepercayaan dalam Hubungan: Dalam hubungannya dengan Maria, Santo Yosef menunjukkan kepercayaan dengan memutuskan untuk tetap bersamanya meskipun kehamilan Maria tampaknya membingungkan dan bisa menyebabkan skandal. Ini mencerminkan kepercayaannya terhadap integritas Maria dan komitmen terhadap hubungan mereka.
Kepercayaan pada Kemampuan Diri: Santo Yosef juga menunjukkan kepercayaan pada kemampuannya untuk menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan pelindung Maria dan Yesus. Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang kemampuannya, tindakannya menunjukkan bahwa dia percaya pada kemampuannya untuk melaksanakan tanggung jawab ini dengan baik.
Kelayakan sebagai Teladan: Santo Yosef menjadi teladan dalam spiritualitas Katolik karena kelayakannya sebagai model kesalehan, kepatuhan, dan pengorbanan. Karakter dan tindakannya yang konsisten dengan nilai-nilai Kristen menjadikannya contoh hidup yang patut dicontoh.
Kelayakan dalam Tugas dan Tanggung Jawab: Dalam peran sebagai tukang kayu dan penyedia untuk keluarganya, Santo Yosef menunjukkan kelayakan melalui kerja keras dan dedikasinya. Tindakannya mencerminkan sikap profesional dan tanggung jawab yang tinggi, menunjukkan bahwa dia layak untuk dipercaya dan dihormati dalam perannya.
- PENUTUP/KESIMPULAN
Uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas tentunya mesti dimplementasikan dalam seluruh kegiatan pembelajaran siswa di SLB A Karya Murni. Nilai-nilai spiritualitas St Yosef sebagaimana yang tergambar dalam lima nilai dasar hendaknya di terapkan dalam berbagai kegiatan siswa baik yang bersifat akademis maupun non akademis. Sejauh pengamatan penulis, spiritualitas St Yosef sudah diterapkan di SLB A Karya Murni. Namun masih perlu ditingkatkan. Kurikulum reguler mesti dipadukan dengan refleksi spiritualitas St Yosef.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para pelajar masa kini adalah kecenderungan untuk selalu tergantung pada teknologi. Pengaruh teknologi membuat mereka rentan terhadap gangguan yang mengganggu konsentrasi belajar, seperti masuknya notifikasi media sosial, dan konten visual menarik yang dapat mengalihkan perhatian dari tugas-tugas sekolah, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk fokus dan upaya pengembangan diri secara mendalam.
Mereka juga dihadapkan pada tantangan dalam memilah informasi yang tepat dari berbagai informasi yang tersedia secara online. Di era digital, informasi dapat dengan mudah diakses oleh siapa pun, tetapi tidak semua informasi tersebut dapat dipercaya. Oleh karena itu mereka perlu dilengkapi dengan pemikiran yang kritis dalam mengevaluasi sumber informasi, membedakan fakta dari opini, serta menyaring konten yang dapat mempengaruhi pandangan dan perilaku mereka.
Menurut penulis, merefleksikan spiritualitas St Yoses adalah salah satu cara tepat dalam membantu siswa/I SLB A Karya Murni mengembangkan diri. Untuk mewujudkan cita-cita luhur ini, kelima nilai dasar spiritualitas St Yosef harus menjadi landasan dalam seluruh gerak langkah pemdidikan SLB A Karya Murni. Refleksi spiritualitas tentang kelima nilai dasar tersebut harus semakin sering dilakukan.
Melalui proses refleksi akan spiritualitas St Yosef dan kemudian diamalkannya, siswa/i SLB A Karya mampu menemukan nilai hidup yang mampu menuntun mereka pada kehidupan yang semestinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI