"Oh yaa, ini kain, aku boleh minta bantuan, jadi aku bingung ingin menjadikanya baju koko, dan kemudian untuk urusan uangnya nanti aku berikan."
"Hmm, iya rend, nanti tak usahakan, tapi tak ukur sebentar boleh?"
"Hmm baiklah"
Tiara mengukur badan renda, sementara renda tetap menatap wajah tiara yang seolah- olah berbeda, Tiara yang dulu adalah seorang gadis berambut panjang, bibir merah lipstik dengan mata yang sayup, tiara kini lebih anggun dengan hijabnya.
"Ehm tiara, bagaimana kabarmu?, Kamu ingin melanjutkan kuliah atau tidak?"
"Hmm, aku pesimis rend, saat ini ibuku sakit, diabetes, aku pesimis jika kuliah nanti, siapa yang membiayai, sdangkan aku membuat baju begini juga membantu ibu, kemudian ada adekku juga yang sudah seharusnya masuk SD."
"Tiara.. Man Jadda Wa Jadda, siapa yang bersungguh- sungguh ia akan berhasil, aku yakin kamu itu bisa, tentu ibumu juga pasti merestuimu" tangan renda menggenggam tangan tiara.
"Allah selalu dengan orang- orang yang sabar, berdoa dan usaha, kita pasti bisa melakukanya walau banyak cobaan terhadap kita. Tenang juga jika kamu kuliah nanti, aku juga akan mendoakanmu.." *senyum lebar tulus dari renda untuk tiara*
Wajahnya yang anggun sempat memerah dan tiara hanya tersenyum mengangguk mengatakan "terimakasih rend".
Keduanya berbincang- bincang agak lama, matahari berlabuh menuju pelabuhan senja, mereka berdua berpamitan, sampai rumah pun tetap berkabar. Degap jantung renda semakin kencang ketika ia pulang ke rumah. Pada saat itu pondok masih libur, untuk mempersiapkan Haflah Akhirussanah.
Pada saat baju renda telah jadi, renda seseorang yang optimis terlalu tinggi, dalam lubuk hati dan doanya sebenarnya mencintai Tiara. Ia tidak bosan- bosanya tahajud, untuk mendoakan keselamatan dan kebahagiaan keluarga tiara. Tetapi saat itu renda menjadi bimbang karena cintanya dihadapkan oleh cita- cita.