“ Itu, suratnya. Kenapa ada di lu?”
“ Suratt ??”
“ Oh ini, lu tahu surat ini? Hemm…”
“ Masa gue lupa sama surat gue sendiri”
“Haha becanda lu garing Bro, udah ah gue harus ke Jakarta. Salam buat Sarah”
“Maaf,”
“Udah sana sebar undangannya gih ah”
“Aku salah, aku pikir surat dari Zeid alasan kenapa kamu pergi ke London. Aku salah, aku pikir rasa suka kamu pada Zeid adalah cinta, aku salah aku pikir kamu tak pernah menyimpan surat itu. Setiap detik aku bertanya, apakah mungkin suatu saat nanti aku bisa ungkapkan perasaanku dihadapanmu langsung, setiap kali kita bersama aku selalu ragu kamu bisa menerima perasaanku yang lebih dari sahabat atau seorang kakak, aku takut perasaanku menghancurkan mimpimu yang selalu inginkan seorang kakak, aku terlalu takut membuatmu bahagia atas nama cinta.”
“Aku pergi, salam untuk Sarah”
“Abaikan saja apa yang sudah aku pilih kemarin, aku bukan diriku saat itu, aku pengecut karena tak bisa menahanmu dulu, tapi sekarang aku tak akan biarkan kau pergi lagi. Aku mau berjuang untuk cintaku, sekarang.”
Mendengarnya dadaku sesak, berharap apa yang dia ucap adalah kalimat yang dia ucapkan dulu, dulu saat semua belum seperti ini. Seribu kalipun dia ucapkan kalimat yang sama saat ini tak akan merubah jika pernikahannya dengan Sarah sudah di depan mata, aku yang hanya jadi bayangan masa lalunya bisa apa, sekalipun hatiku tenang, perasaanku akhirnya terbalas, meski hanya dalam beberapa detik saja.