Fenomena buruh plasma di Purbalingga faktanya tak hanya dialami oleh Kuswati.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Purbalingga, Rocky Junjungan menjelaskan, sistem kemitraan seperti plasma dan subkontraktor masih dikenal oleh hampir seluruh pabrik perusahaan bulu mata dan rambut palsu di Purbalingga.
“Kalau plasma itu masih cabang dari perusahaan inti. Kalau subkontraktor, dia hanya terikat perjanjian kontrak tertentu,” ujarnya pada hari yang sama.
Tidak adanya kontrak tertulis, membuat para buruh mitra dari plasma dan subkontraktor terlepas dari kewajiban perusahaan inti.
Kewajiban perusahaan tersebut seharusnya meliputi Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan jaminan sosial.
“Berbeda dengan karyawan reguler yang ada di pabrik, karyawan plasma dan subkontraktor tidak ditarget pekerjaan, sehingga pendapatan mereka juga menyesuaikan,” katanya.
Dilematisnya kondisi para buruh mitra, baik itu plasma maupun subkontraktor di Purbalingga menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasalnya, ada fakta terungkap jika sistem kemitraan yang menjamur di Purbalingga ini tidak memiliki payung hukum yang jelas, sehingga rawan wanprestrasi.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Purbalingga, Supono Adi Warsito.
Kepada Kompas.com, Supono menjelaskan, selama ini dirinya merasa kesulitan untuk mengambil langkah advokasi kepada para buruh mitra.
Hal ini disebabkan, kebanyakan plasma atau subkontraktor yang mereka ikuti tidak berbadan hukum dan bahkan tidak terdaftar di Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT).