JARUM jam baru menunjukkan pukul delapan pagi ketika Kuswati duduk khidmat di ruang tamu rumahnya, Minggu (29/4/2018).
Seperangkat peralatan ngidep (pembuatan bulu mata palsu) sudah tertata rapih di hadapannya.
Kuswati merupakan gadis desa yang bekerja sebagai buruh sebuah plasma perusahaan bulu mata palsu di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Meski baru berusia 24 tahun, namun hampir separuh hidupnya habis dengan duduk meringkuk sambil menelisik helai demi helai rambut kedalam seutas senar.
Bagi kebanyakan orang di tempat tinggalnya, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, profesi sebagai pengrajin bulu mata palsu memang sangat lumrah.
Sebab, hampir sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sana bersumber dari ngidep.
Namun berbeda dengan buruh ngidep pada umumnya, potret perjuangan Kuswati dalam menjalani laku hidupnya sungguh patut diapresiasi.
Bagaimana tidak, untuk menyulam sebuah bulu mata palsu, diperlukan kejelian, ketelitian dan konsistensi yang tak kenal jeda.
Kelincahan jari-jari tangan mutlak dibutuhkan untuk merangkai rambut-rambut berukulan mungil itu hingga presisi.
Namun, apa jadinya jika harus menyulam bulu-bulu mata itu dengan jari kaki?
Benar, Kuswati merupakan penyandang tuna daksa. Dirinya lahir tanpa memiliki kedua belah lengan tangan.
Kendati demikian, keterbatasan yang dianugerahkan Tuhan tak pernah membuat semangat Kuswati surut.
Sudah lebih dari 10 tahun, dia mengikuti jejak ibunya untuk menjadi pengrajin bulu mata palsu di rumahnya.
“10 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu saya bantu ibu ngidep,” kata gadis yang murah senyum ini.
Jangan menyinggung soal pendapatan, apalagi pemenuhan kebutuhan hidup layak di hadapan Kuswati.
Sebab, bagi buruh plasma seperti dirinya, penghasilan bukan dihitung dari jumlah kehadiran seperti pegawai pabrik, namun dari seberapa banyak utas bulu mata palsu yang dia sulam setiap harinya.
Dengan anugerah Tuhan yang dia sandang, dalam sehari Kuswati hanya mampu menyulam 20 pasang bulu mata palsu.
Lantas oleh pengepul, satu pasang bulu mata hanya dihargai Rp 200. Jika dihitung kasar, dalam sehari Kuswati kontan hanya mampu memperoleh Rp 4.000, atau Rp 120.000 per bulan.
“Ya lumayan, bisa buat bantu ibu nempur (membeli beras),” ujarnya tanpa sedikitpun raut sedih.
Secara kualitas, sebenarnya hasil pekerjaan Kuswati belum dapat diterima oleh pengepul. Di sinilah Purwati (47), sang ibunda, bertugas menyempurnakan hasil pekerjaan Kuswati agar layak dijual.
Ingin bertemu Jodoh
Sejenak Kuswati menurunkan kakinya dari alat ngidep. Sembari mengeliatkan punggungnya diatas dipan, Kuswati menatap langit-langit yang penuh ramat.
“Saya ingin membahagiakan ibu saya, tapi cuma ini yang bisa dilakukan oleh orang cacat seperti saya, mas,” suaranya bergetar ketika menyebut kata cacat.
Menurut Purwati, jauh sebelum ini, Kuswati pernah mengenyam bangku sekolah sampai kelas 3 SD.
Selama masa studinya, lanjut Purwati, dia juga tergolong siswa yang cerdas.
“Kelas satu saja Kuswati sudah lancar membaca,” kata Purwati di bibir dipan.
Namun, cibiran yang datang bertubi-tubi dari teman-teman sekelas, membuat anak bungsu dari dua bersaudara ini mogok sekolah dan memilih untuk putus.
Semenjak itu, setiap angka dan warna dalam almanak sudah tak banyak berarti dalam hidupnya. Kuswati pun memutuskan untuk tenggelam dalam rutinitas harian, ngidep.
Menjadi sosok marginal dalam fenomena perburuhan plasma di Purbalingga, membuat Kuswati selalu luput dari perhatian pemerintah.
Selama 10 tahun menjadi buruh ngidep, tidak pernah sekalipun ada petugas dinas yang datang meninjau keadaannya.
Ketika disinggung soal harapan kedepan, raut wajah Kuswati sontak berubah merona, sambil mengulum senyum dia berujar.
“Saya tidak berharap banyak, saya juga tidak ingin lanjut sekolah. Saya cuma bermimpi bisa bertemu jodoh saya yang bisa menerima saya apa adanya,” kata kuswati malu-malu.
Payung hukum dan jaminan sosial
Fenomena buruh plasma di Purbalingga faktanya tak hanya dialami oleh Kuswati.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Purbalingga, Rocky Junjungan menjelaskan, sistem kemitraan seperti plasma dan subkontraktor masih dikenal oleh hampir seluruh pabrik perusahaan bulu mata dan rambut palsu di Purbalingga.
“Kalau plasma itu masih cabang dari perusahaan inti. Kalau subkontraktor, dia hanya terikat perjanjian kontrak tertentu,” ujarnya pada hari yang sama.
Tidak adanya kontrak tertulis, membuat para buruh mitra dari plasma dan subkontraktor terlepas dari kewajiban perusahaan inti.
Kewajiban perusahaan tersebut seharusnya meliputi Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan jaminan sosial.
“Berbeda dengan karyawan reguler yang ada di pabrik, karyawan plasma dan subkontraktor tidak ditarget pekerjaan, sehingga pendapatan mereka juga menyesuaikan,” katanya.
Dilematisnya kondisi para buruh mitra, baik itu plasma maupun subkontraktor di Purbalingga menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasalnya, ada fakta terungkap jika sistem kemitraan yang menjamur di Purbalingga ini tidak memiliki payung hukum yang jelas, sehingga rawan wanprestrasi.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Purbalingga, Supono Adi Warsito.
Kepada Kompas.com, Supono menjelaskan, selama ini dirinya merasa kesulitan untuk mengambil langkah advokasi kepada para buruh mitra.
Hal ini disebabkan, kebanyakan plasma atau subkontraktor yang mereka ikuti tidak berbadan hukum dan bahkan tidak terdaftar di Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT).
Setali tiga uang dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja (HPTK) Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, Tukimin.
Ia mengatakan, saat ini pihaknya sangat sukar mendeteksi keberadaan plasma dan sub-kontraktor di Purbalingga.
Inilah yang menurut Tukimin menjadi kendala sulitnya memberikan pembinaan tentang kesejahteraan dan jaminan sosial bagi buruh mereka.
“Kadang mereka (plasma) tidak hanya menyuplai kebutuhan pabrik besar, namun juga memasarkan sendiri tanpa brand mark,” ujarnya.
Meski demikian, Tukimin menuturkan, ada dampak positif yang diperoleh dari keberadaan plasma dan subkontraktor dalam pola kerja kemitraan.
Sebab, meski dinilai tidak mengindahkan kesejahteraan buruh, keberadaan mitra cukup membantu untuk menyerap begitu banyak angkatan kerja di Purbalingga.
Analisis Medis
Menilik beban kerja yang dipikul oleh seorang buruh bulu mata palsu, Ketua Paguyuban Kepala Puskesmas (Palapa) eks Karesidenan Banyumas, HS Wahyudi mengungkapkan, para buruh tersebut memiliki kerawanan risiko medis baik itu terhadap badan, mental, maupun sosial.
Banyak hal yang apabila diperhatikan akan berdampak kurang baik terhadap kesehatan, diantaranya:
1. Lokasi kerja dalam hal ini ruangan yang luasnya tidak berimbang dengan jumlah buruh yang ada.
Belum lagi ventilasi yang kurang proporsional akan berpengaruh terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan.
Imbasnya, kebutuhan oksigen tidak tercukupi dan menyebabkan gangguan paru-paru, batuk, sesak nafas, dan pening.
2. Pencahayaan yang kurang akan berisiko terhadap munculnya gangguan mata. Belum lagi otot mata harus diforsir dengan terus menerus berkontraksi karena melihat alat-alat kerja dan bahan yang relatif kecil.
3. Posisi duduk yang terus menerus monoton akan mengakibatkan peredaran darah tidak lancar dan tulang belakang serta otot-otot yang melingkupinya tidak memiliki fase relaksasi. Dampak yang akan dirasakan, yakni nyeri leher, punggung, maupun pinggang.
4. Seringkali buruh menahan buang air kecil saat bekerja, yang akhirnya berisiko terhadap gangguan saluran kencing, salah satunya potensi munculnya batu dalam saluran kemih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H