“Saya ingin membahagiakan ibu saya, tapi cuma ini yang bisa dilakukan oleh orang cacat seperti saya, mas,” suaranya bergetar ketika menyebut kata cacat.
Menurut Purwati, jauh sebelum ini, Kuswati pernah mengenyam bangku sekolah sampai kelas 3 SD.
Selama masa studinya, lanjut Purwati, dia juga tergolong siswa yang cerdas.
“Kelas satu saja Kuswati sudah lancar membaca,” kata Purwati di bibir dipan.
Namun, cibiran yang datang bertubi-tubi dari teman-teman sekelas, membuat anak bungsu dari dua bersaudara ini mogok sekolah dan memilih untuk putus.
Semenjak itu, setiap angka dan warna dalam almanak sudah tak banyak berarti dalam hidupnya. Kuswati pun memutuskan untuk tenggelam dalam rutinitas harian, ngidep.
Menjadi sosok marginal dalam fenomena perburuhan plasma di Purbalingga, membuat Kuswati selalu luput dari perhatian pemerintah.
Selama 10 tahun menjadi buruh ngidep, tidak pernah sekalipun ada petugas dinas yang datang meninjau keadaannya.
Ketika disinggung soal harapan kedepan, raut wajah Kuswati sontak berubah merona, sambil mengulum senyum dia berujar.
“Saya tidak berharap banyak, saya juga tidak ingin lanjut sekolah. Saya cuma bermimpi bisa bertemu jodoh saya yang bisa menerima saya apa adanya,” kata kuswati malu-malu.
Payung hukum dan jaminan sosial