Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Menembak dengan Senpi, Mending Jangan!

21 Desember 2022   07:38 Diperbarui: 21 Desember 2022   08:06 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutkanlah namanya Joe. Dia sahabat. Satu fakultas dan sama-sama dari Indonesia. Kita punya hobi yang sama. Penggemar senjata api.

Pada suatu hari yang cerah, di kantin kampus, Joe menyelutuk, "Mau coba nembak sungguhan, gak? Ke shooting range, yuk?"

Saya langsung mengiyakannya. Menyanggupi antusias, penuh semangat, dengan mata berbinar-binar.

Syahdan, di sore hari itu, kami langsung berangkat. Tidak membawa bekal apa-apa. Hanya semangat dan gairah.

"Joe, kamu sudah pernah udah pernah ke sana?" tanyaku di mobil.

"Belum," jawab Joe acuh.

"Lha...?" tanyaku, sedikit cemas.

"Tenang saja. Santai, bebas masuk kok. Aku sudah pernah nanya."

Rasanya si Joe ini tidak paham dengan pertanyaanku. Yang aku maksud adalah cara menembaknya, apakah ada instruktur di sana? Atau apakah ada hal-hal penting yang harus dipatuhi. Mana tahu ada peluru nyasar. Ini Amerika, Bung!

Ya, sudah. Akhirnya saya diam saja, meski ada sedikit perasaan tidak enak.

Kami tiba di lokasi tujuan tak lama kemudian. Tempatnya di distrik Bellevue, setengah jam perjalanan dari kota Seattle, tempat kami tinggal.

Dari luar, bangunan shooting range itu terlihat tidak terlalu besar. Gedungnya pun terkesan tua. Tapi, di bagian dalam suasananya berbeda. Merupakan toko modern yang menjual senjata api.

Mata berbinar-binar melihat puluhan pistol dan senjata laras panjang terpampang di sana. Yang selama ini hanya bisa kulihat melalui majalah saja.

Ada juga berbagai jenis senjata tajam dan aksesoris lainnya, seperti rompi anti peluru, sarung pistol, hingga seragam militer. Bagi penggemar senjata seperti kami, tempat ini laksana museum idaman.

Setelah puas melihat-lihat, Joe bertanya kepada seorang penjaga toko, "We are going for shooting range."

Lelaki ceking berkumis pun mengarahkan kami, "At the back door."

Suer, saya masih ingat mukanya. Sama sekali tidak ramah. Dia sepertinya paham, jika kami bukan pelanggan besar. Muka Asia, tampan mahasiswa, bukanlah pembeli pistol.

Ada sebuah pintu kaca. Di sana tertulis "Shooting Range Entrance." Kami membuka pintu. Di dalamnya hanya ada sebuah meja setinggi dada. Di belakangnya ada etalase terbuka. Macam-macam senjata terpampang untuk disewakan. Ada juga sebuah pintu lain, menuju ke tempat latihan menembak.

Penjaganya berbadan besar. Jenggot panjang, tato di lengan. Walaupun demikian, wajahnya masih lebih ramah dibandingkan si ceking tadi.

(Terjemahan): "Sila lihat harga sewa pistol. Itu untuk sejam. Minimum setengah jam," ujarnya tanpa ditanya.

"Peluru harganya 25 sen per butir. Haga sewa pistol sudah termasuk Google (kacamata pelindung) dan penutup telinga. Ini wajib dipakai.

Joe memilih Beretta-92 dengan peluru kaliber 9mm. Pistol semi otomatis buatan Italia. Paling sering digunakan oleh aktor laga Hollywood. Termasuk Mel Gibson si idola.

Pistol disewa dan satu dus peluru dibeli. Saya lupa berapa butir, tapi yang pasti itu ukuran dus yang paling kecil.

Selain itu, kami juga membeli beberapa lembar sasaran tembak. Ada yang berbentuk lingkaran dengan angka, ada juga yang bergambar wajah bandit.

"Apakah kamu sudah pernah menembak sebelumnya?" tanya si brewok.

"Belum," Ujar Joe.

Si Brewok tersenyum simpul dan menyodorkan sebuah kertas. Ada beberapa tulisan di sana, yang pasti berisikan "segala risiko ada di tangan penyewa." Kami harus menandatanganinya.

Setelah itu, ia mempersilahkan kami masuk ke dalam ruangan menembak. Dengan tegang dan sedikit terburu-buru, saya membuka pintu. Sedetik kemudian, bunyi kencang mengagetkanku. Suara tembakan senjata api dari orang-orang yang sedang latihan. 

Melihat kekagetanku, si brewok langsung berteriak, "Gunakan penutup telingamu, idiot (tolol)!."

Ternyata, ada aturan yang tertulis di pintu. Kami tidak membacanya. "Google dan tutup telinga harus digunakan sebelum memasuki ruang menembak." Joe juga tidak lihat.

Lalu si brewok melanjutkan lagi, "No Rapid Fire," (tidak ada tembakan beruntun). Tak lupa membanting pintu. Semprul!

Hambatan pertama bagi kami adalah memasukkan peluru ke dalam magasin. Awalnya susah, tapi akhirnya berhasil. Joe mengisi tiga butir, lalu ia mulai menembak. Gayanya cukup meyakinkan, pistol diarahkan ke sasaran. Kedua kakinya dilebarkan sebahu. Wajahnya mirip anggota FBI yang sedang menyamar.

"Dor... Dor... Dor..."

Sebelum saya sempat bertanya, si Joe berujar, "percikan kena pipiku."

"Sakit?" aku bertanya lagi.

"Tidak. Tapi, sadarkah kamu jika pistol ini bisa membunuh kita..."

Aku terdiam.

Dia memperlihatkan hasil tembakannya. Dua kena di bagian ujung dan satu meleset. Padahal sasaran itu bukan pada jarak terjauh. Masih dalam ukuran "beginners level."

Sekarang giliran saya. Si Joe yang membantuku mengisi peluru. Dan, terlihat tangannya gemetaran! Ternyata si Lethal Weapon ini pun kagok.

Saya membidik pistol ke sasaran. Perasaan berkecamuk, jari bersiap di pelatuk.

"Dor..." Kaget, bukan karena suara. Tapi, hentakan.

"Dor..." masih tegang.

"Dor..." Sudah sedikit terbiasa, tetapi tetap saja tegang.

Sore hari itu, kami pulang dengan suasana tegang. Jujur, tangan saya masih gemetaran, meskipun sudah lewat sejam. Joe juga terlihat lebih banyak diam, padahal itu sudah kali kedua baginya.

Malamnya saya merenung. Mengingat ucapan Joe tadi kalau pistol yang tadi kita mainkan bisa membunuh kita. Wajar saja saya takut, tidak ada pengawas, tidak ada pengawasan.

Bagaimana jika salah satu dari kami ceroboh dan salah tembak. Bahkan lebih ekstrim lagi, bagaimana jika ada salah satu dari pegunjung di sana tiba-tiba menembak serampangan? Sekali lagi, ini Amerika Bung.

Ternyata menembak pistol sungguhan tidak sama dengan menembak pistol di video arcade. Dan lucunya, itu adalah pengalaman pertamaku dan juga yang terakhir. Sejak saat itu hobiku terhadap senjata berkurang. Entah mengapa.

Bertahun-tahun kemudian, seorang teman mengajakku latihan menembak. Ia anggota Perbakin. Saya tidak tertarik. Sekaligus menceritakan pengalamanku menembak semasa masih menjadi mahasiswa di Seattle.

Teman saya kaget. "Jelas itu berbahaya, Rud," pungkasnya.

Dia menjelaskan, jika pemula berlatih menembak, harus selalu didampingi instruktur. Itupun harus dilakukan selangkah demi selangkah. Yang pertama adalah mengamati para pelatih menembak, biar peserta tidak kaget dan kagok.

Setelah itu, akan diajarkan cara memegang pistol yang benar. Postur badan, cara menarik pelatuk, dan kenyamanan tubuh lainnya. Lalu, si Pemula juga harus diajarkan menembak pistol tanpa peluru. Termasuk, bagaimana membidik.

"Pokoknya ribet lah, tapi untuk keamanan," imbuh kawanku ini.

Baginya, terlalu banyak mispersepsi terhadap senjata api. Terlihat mudah karena para aktor laga bisa melompat kiri-kanan sambil menembak. Melakukannya dengan satu tangan. Tepat sasaran pula.

"Itu gak masuk akal," ujar kawanku lagi.

Mengisi peluru ke magasin juga harus diajarkan. Hanya bisa satu kali mengisi untuk satu kali menembak. Setelah itu, si instruktur harus selalu mendampingi hingga sesinya selesai.

Merasa seperti orang bodoh, si kawan ini masih melanjutkan ceritanya. Ternyata setiap jenis pistol punya sistem pengamanan tersendiri. Ia memberi contoh, Beretta-92 yang kugunakan memiliki tombol yang bisa digeser. Warna merah artinya aman, pelatuk tidak bisa digerakkan. Sementara tipe Glock-17, tidak ada. Namun untuk menarik pelatuknya, jari harus tegak lurus.

Aku terdiam, Mel Gibson wanna-be ini merasa dirinya benar-benar tolol.

"Belum lagi masalah psikologi, Rud." Teman saya ini masih melanjutkan.

Sejatinya, warga sipil yang diperbolehkan mengantongi izin senjata api harus diperuntukkan untuk pertahanan diri. Itupun melalui syarat dan ketentuan yang tidak mudah. Aturannya sudah ditetapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Senjata api hanya bisa digunakan jika diperlukan. Bukan untuk dipertontonkan, apalagi mengancam orang lain.

Pun yang boleh mengantongi izin juga bukan orang serampangan. Harus mapan. Profesinya harus Menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha, profesional selevel direktur dan komisaris, pengacara, serta dokter saja.

Selain itu, calon pemilik juga wajib terampil dalam menembak. Sudah berpengalaman tiga tahun berlatih menembak. Ada ujiannya.

Juga melalui tes kesehatan. Tidak ada cacat fisik. Juga harus lulus psikotes dari Dinas Psikologi Polri. Dan tentu rekomendasi. Surat Berkelakuan Baik setelah melalui beberapa skrining yang jelimet dari pihak berwenang.

Tidak sampai di sini. Si pemilik senpi harus didukung oleh sebuah instansi yang menjamin. Instansi tersebut juga harus bertanggung jawab terhadap calon penerima izin.

Kalau lolos, masih ada halangan lainnya. Harga pistol di Indonesia super mahal.  Bisa beda 20 hingga 30 kali lipat dibandingkan di Amerika. Hanya orang kaya yang bisa membelinya.

Tapi, saya setuju. Hidup di Indonesia tidak perlu memiliki senjata api. Lagipula akan sangat berbahaya jika teledor. Bayangkan, ada anak kecil di rumah yang usil, pistol sungguhan dijadikan mainan. Amsiong dah.

Yang pasti pemilik senpi harus punya kriteria tersendiri. Bukan bagi yang gampang gugupan atau emosian.

Masih ingat beberapa orang yang pamer senjata hanya gegara mobil disenggol? Jelas itu tindakan arogan dan membahayakan. Ini belum termasuk jika pistol hilang dicuri. Bayangkan berapa nyawa yang akan melayang jika pistol disalahgunakan.

Bagaimana pun, senpi itu bukan buat pamer. Musuh terbesar bukan ancaman dari luar, tetapi bagaimana kita melawan ketenangan diri sendiri.

Saya pun berkesimpulan, tidak heran jika di Amerika terlalu banyak penembakan serampangan. Bukan hanya karena izin yang dipermudah, tetapi warga sana terlalu mudah mencari musuh di masyarakat.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun