Sore hari itu, kami pulang dengan suasana tegang. Jujur, tangan saya masih gemetaran, meskipun sudah lewat sejam. Joe juga terlihat lebih banyak diam, padahal itu sudah kali kedua baginya.
Malamnya saya merenung. Mengingat ucapan Joe tadi kalau pistol yang tadi kita mainkan bisa membunuh kita. Wajar saja saya takut, tidak ada pengawas, tidak ada pengawasan.
Bagaimana jika salah satu dari kami ceroboh dan salah tembak. Bahkan lebih ekstrim lagi, bagaimana jika ada salah satu dari pegunjung di sana tiba-tiba menembak serampangan? Sekali lagi, ini Amerika Bung.
Ternyata menembak pistol sungguhan tidak sama dengan menembak pistol di video arcade. Dan lucunya, itu adalah pengalaman pertamaku dan juga yang terakhir. Sejak saat itu hobiku terhadap senjata berkurang. Entah mengapa.
Bertahun-tahun kemudian, seorang teman mengajakku latihan menembak. Ia anggota Perbakin. Saya tidak tertarik. Sekaligus menceritakan pengalamanku menembak semasa masih menjadi mahasiswa di Seattle.
Teman saya kaget. "Jelas itu berbahaya, Rud," pungkasnya.
Dia menjelaskan, jika pemula berlatih menembak, harus selalu didampingi instruktur. Itupun harus dilakukan selangkah demi selangkah. Yang pertama adalah mengamati para pelatih menembak, biar peserta tidak kaget dan kagok.
Setelah itu, akan diajarkan cara memegang pistol yang benar. Postur badan, cara menarik pelatuk, dan kenyamanan tubuh lainnya. Lalu, si Pemula juga harus diajarkan menembak pistol tanpa peluru. Termasuk, bagaimana membidik.
"Pokoknya ribet lah, tapi untuk keamanan," imbuh kawanku ini.
Baginya, terlalu banyak mispersepsi terhadap senjata api. Terlihat mudah karena para aktor laga bisa melompat kiri-kanan sambil menembak. Melakukannya dengan satu tangan. Tepat sasaran pula.
"Itu gak masuk akal," ujar kawanku lagi.