Mengisi peluru ke magasin juga harus diajarkan. Hanya bisa satu kali mengisi untuk satu kali menembak. Setelah itu, si instruktur harus selalu mendampingi hingga sesinya selesai.
Merasa seperti orang bodoh, si kawan ini masih melanjutkan ceritanya. Ternyata setiap jenis pistol punya sistem pengamanan tersendiri. Ia memberi contoh, Beretta-92 yang kugunakan memiliki tombol yang bisa digeser. Warna merah artinya aman, pelatuk tidak bisa digerakkan. Sementara tipe Glock-17, tidak ada. Namun untuk menarik pelatuknya, jari harus tegak lurus.
Aku terdiam, Mel Gibson wanna-be ini merasa dirinya benar-benar tolol.
"Belum lagi masalah psikologi, Rud." Teman saya ini masih melanjutkan.
Sejatinya, warga sipil yang diperbolehkan mengantongi izin senjata api harus diperuntukkan untuk pertahanan diri. Itupun melalui syarat dan ketentuan yang tidak mudah. Aturannya sudah ditetapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Senjata api hanya bisa digunakan jika diperlukan. Bukan untuk dipertontonkan, apalagi mengancam orang lain.
Pun yang boleh mengantongi izin juga bukan orang serampangan. Harus mapan. Profesinya harus Menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha, profesional selevel direktur dan komisaris, pengacara, serta dokter saja.
Selain itu, calon pemilik juga wajib terampil dalam menembak. Sudah berpengalaman tiga tahun berlatih menembak. Ada ujiannya.
Juga melalui tes kesehatan. Tidak ada cacat fisik. Juga harus lulus psikotes dari Dinas Psikologi Polri. Dan tentu rekomendasi. Surat Berkelakuan Baik setelah melalui beberapa skrining yang jelimet dari pihak berwenang.
Tidak sampai di sini. Si pemilik senpi harus didukung oleh sebuah instansi yang menjamin. Instansi tersebut juga harus bertanggung jawab terhadap calon penerima izin.
Kalau lolos, masih ada halangan lainnya. Harga pistol di Indonesia super mahal. Â Bisa beda 20 hingga 30 kali lipat dibandingkan di Amerika. Hanya orang kaya yang bisa membelinya.