Bibit, Bebet, Bobot. Sepertinya hal ini juga berlaku dalam dunia kriminal. Keluarga Tansil salah satu buktinya.
Di tahun 1993, publik dihebohkan dengan aksi pembobolan bank. Eddy Tansil menggasak uang Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar 1,3 triliun rupiah.
Eddy bukan yang pertama di keluarganya. Ayahnya, Harry Tansil juga pernah melakukan hal yang sama. Ia membagi-bagi cek kosong di era Soekarno.
Tak lama setelah aksi Edy Tansil meruak, krisis ekonomi datang menerpa. Hendra Rahardja, konglomerat yang pernah menguasai daftar hitam papan atas Indonesia, adalah kakak Edy Tansil.
Tiga dekade berlalu, kiprah keluarga ini belum juga berhenti. Kali ini giliran generasi ketiga Tansil. Namanya Rudy Kurniawan.
Aksinya bikin heboh dunia internasional. Diberi gelar The Great Wine Fraud. Kisahnya jadi sumber film dokumenter, Sour Grapes.
Baca juga: Rudy Kurniawan, Pemalsu Wine Internasional. Ponakan Eddy Tansil
Harry Tansil, Bagi-bagi Cek Kosong
Pada tahun 1963-1964, politik dan ekonomi Indonesia sedang gonjang-ganjing. Pemerintahan Soekarno menghadapi krisis moneter nasional.
Hiperinflasi terjadi, harga barang naik tak menentu, defisit anggaran negara melebihi 50%.
Harry Tansil bikin ulah. Ia membagi-bagikan cek kosong di Jakarta. Asalnya dari Bank Benteng Indonesia. Tempat Harry menjadi manajer umum dan sekaligus pemilik. Harry pun ditangkap.
Ia cukup "beruntung." Negara tengah menghadapi masa transisi. Pengadilan Negeri Jakarta hanya mengganjarnya 9 bulan penjara. Seharusnya ia bisa tenang jika ikhlas menjalaninya.
Tapi, tidak bagi Harry. Waktu adalah uang. Bulan Oktober 1966, ia kabur dari Rutan Glodok. Konon Hong Kong menjadi tujuannya.
Harry tak pernah berada di penjara. Dengan uang, ia bebas keluar masuk penjara. Siang maupun malam.
Saat Harry berkeliaran, ia mengantongi surat sakti dari Kejaksaan Agung. Alasannya Kesehatan. Rumah Sakit Husada saban kali dikunjungi. Menjadi markas sementara hingga ia kabur ke luar negeri.
Pihak Kejaksaan dan Rumah Sakit saling menuding. Begitu pula dengan Kepolisian dan Imigrasi.
Aksi Harry bikin heboh. Menjadi skandal otoritas keuangan pertama di Indonesia di era Soekarno, sekaligus Soeharto.
"Tidak tanggung-tanggung, semua dibawa kabur," ujar Jusuf Kalla kepada Harian Kompas, 21.10.1966.
Harry tidak hanya membagi-bagi cek kosong. Uang nasabah pun dibawa kabur. Rumahnya di jalan Botolempangan Makassar pun disita.
Harry tetap melenggang jauh, memantau perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Dari Hong Kong.
Lima tahun kemudian, Orde Baru sedang bersemangat mencari investor asing. Harry Tansil kembali ke Indonesia. Merintis usaha perbankan lagi. Bank Sulawesi namanya.
Bank tersebut didirikan untuk menopang usaha anak-anaknya. Impor Bajaj dan sepeda motor merek Jepang. Sumbernya, dari dana nasabah.
Takada bedanya. Nasib Bank Sulawesi sama dengan Bank Benteng. Dinyatakan bangkrut oleh pemerintah.
Harry masih melenggang jauh. Pada usianya yang ke-68, ia kembali ke kampung halamannya di China. Ia meninggal pada bulan Juni 1991.
Hendra Rahardja, Buronan BLBI
Harry kembali ke Tiongkok. Hendra, putra tertuanya masih di Indonesia. Di tahun 1997, ekonomi dan politik Indonesia sedang mendidih. Harga dollar melonjak tinggi, ekonomi tergelincir.
Dunia perbankan mengalami chaos. Penarikan dana besar-besaran terjadi di mana-mana. Bank megap-megap. Tidak bisa lagi menahan krisis ekonomi.
Pun halnya dengan Bank Harapan Sentosa (BHS). Laporan keuangannya menunjukkan bahaya. Akan segera ambruk akibat aksi rush besar-besaran.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diturunkan. Totalnya mencapai 1,95 triliun. Sayangnya, laporan tersebut palsu. Dana bantuan pemerintah yang ia butuhkan, hanya 10 persennya saja.
Dana Bank BHSÂ menjadi sangat liquid. Sayangnya, tidak lagi berada di Indonesia.
Lembaga keuangan di Hong Kong, Singapura, dan dua perusahaan cangkang di Biritish Virgin Island menjadi penampungnya. Hendra kabur ke Hong Kong.
Sama seperti ayahnya, radar Hendra kelas wahid. Memonitor pergerakan Bank Indonesia dari tempat yang jauh.
Dua banknya, Bank Harapan Sentosa dan Bank Guna Internasional akan segera dilikuidasi. Infonya sudah sampai duluan sebelum kejadian.
Sehari sebelum Bank Indonesia bertindak, Hendra sudah menjual seluruh sahamnya ke pihak lain. Yang dirugikan tentu nasabah.
Angkanya 3,8 triliun. Berada pada 123 perusahaan milik kerabat dan keluarga. Tidak heran jika di masa itu, BHS diplesetkan menjadi Bank Hendra Sendiri.
Pemerintah Indonesia menjatuhkan hukuman seumur hidup padanya. Kendati masih dalam pelarian. Anak dan istrinya pun jadi buron.
Pada tahun 2003, Hendra tertangkap di Sydney, Australia. Saat itu kanker ganas telah menggerogoti empedu dan ginjalnya. Empat bulan kemudian, Hendra meninggal di penjara Sydney.
Istrinya, Sherny Kojongyan ditangkap di San Fransisco, Amerika. Sepuluh tahun setelah ia divonis. Kini mendekam di Rutan Pondok Bambu.
Anaknya, Eko Edi Putranto masih buron. Konon info dari Kejaksaan Agung, Eko berada di Australia Barat.
Rudy Kurniawan, Pemalsu Wine
Rudy adalah cucu Harry Tansil, kemenakan Eddy Tansil dan Hendra Rahardja.
Ibunya bernama Lennywaty Tan, saudara perempuan Hendra dan Eddy. Ia menikah dengan Makmur Widjojo.
Bersama Eddy, Makmur pernah membangun pabrik sepeda motor merek Jepang di Bogor.
Keluarga Makmur hijrah ke Amerika Serikat pada kerusuhan 1998. Dari sanalah, Rudy memulai kiprahnya. Permohonan suaka politiknya tidak dipenuhi. Tapi, tidak menghalangi aksi culasnya di negeri Paman Sam.
Rudy menjalani kehidupan mewah dan berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu kolektor wine terkenal. Minuman para baron dan bangsawan.
Sedari muda Rudy memang memiki hobi dan bakat di bidang ini. Ia bisa saja hidup berkucupan dari keahliannya. Sayangnya, keserakahan datang menyerta.
Rudy memilih untuk menjadi milyarder dengan cara yang tidak jujur. Berbagai macam kegiatan lelang diikutinya. Ia dengan mudah meraup keuntungan ratusan miliar rupiah.
Aksinya bocor di tahun 2008. Laurent Ponsot, pemilik wine Burgundy, terbang ke AS untuk membongkar rahasianya. Acara lelang yang dilaksanakan oleh Rudy pun dibatalkan.
Anggur Clos st.Denis yang akan dilelang sama sekali tidak pernah diproduksi oleh perusahaan Ponsot. Rudy memalsukannya. FBI pun menangkapnya.
Rumah mewahnya di California digrebek polisi. Alat pembuat wine palsu ditemukan. Rudy divonis 10 tahun penjara.
Aksi tipu-tipunya mencapai 770 miliar rupiah. Saat ini, diperkirakan 30% wine langka yang berada di tangan para kolektor, adalah buatan Rudy. Semuanya palsu.
Film dokumenter produksi Netfilx mengangkat kisahnya. Sour Grapes (2016) bisa diunduh sekarang.
Film tersebut menyinggung hubungan Rudy dan Eddy Tansil. Konon aksi penipuannya dibackup oleh sang paman. Masih cukup lemah tuduhannya, tapi sanggup bikin garuk-garuk kepala.
Eddy Tansil, Dimanakah Engkau Berada?
Sejak kasusnya meruak di tahun 1993, banyak pihak yang menduga jika Eddy Tansil kini berada di China. Tepatnya, di Fujian. Daerah kelahiran ayahnya, Harry Tansil.
Bukan tanpa sebab. Golden Key Group yang dikomandoi Eddy telah getol melakukan investasi di China. Besar-besaran pula. Bahkan sebelum hubungan diplomatik Indonesia-China membaik.
Gurita bisnisnya di negara ini meliputi pabrik perakitan sepeda motor, plastik, baja, mebel, kaca, perkebunan teh, hingga pabrik bir. Pada tahun 1993, investasi Golden Key sudah mencapai 600 juta dollar AS.
Eddy memulai bisnisnya pada tahun 1991. Pabrik perakitan sepeda motor menjadi yang pertama.
Pemerintah China bahkan menunjuk perusahaannya sebagai penggerak industri otomotif nasional. Melalui perusahaannya, Fuzhou Golden Key Morotcycle, Co., Ltd., produknya didistribusi ke 29 provinsi di China.
Bak seorang konglomerat, Eddy terus mengembangkan usahanya. Ia membangun pabrik alat listrik dan peleburan baja untuk menopang usaha perakitan sepeda motornya.
Kendati Fuzhou menjadi markas bisnisnya, nama Eddy lebih harum di Putian. Di kota kelahiran ayahnya ini, ia membangun pabrik bir dan kaca.
Ia bekerja sama dengan Pemprov setempat. Berdiri di atas lahan sebesar 40 hektar milik pemerintah Putian.
Pabrik birnya berkembang pesat. Eddy dianugrahi banyak penghargaan. Sebagai pembayar pajak terbesar di Fujian 1995. Juga produsen minuman alkohol terbaik di China 1998.
Sejak itu, Eddy Tansil mendapat gelar sebagai "Raja Bir dari Fujian."
Namun, langkahnya tidak berjalan mulus. Pada tahun 1999, perusahaanya terkena indikasi penggelapan pajak. Entah di China, Jerman, atau negara lain. Investor asing, Beck's Beer dari Jerman mencabut investasinya pada perusahaan Eddy.
Setelah itu, pabrik bir Eddy masih bisa bertahan selama lima tahun. Hingga tahun 2003, mulai megap-megap.
Media lokal memberitakan, ia tidak bisa lagi membayar tagihan listrik hingga 4 juta RMB. Atau setara 8 miliar Rupiah di tahun 2005.
Kreditnya di Bank of China macet. Totalnya 2,3 triliun. Konon asetnya di beberapa tempat mulai disita oleh pemerintah China.
Namun, namanya tetap harum. Tersebab ia dianggap sebagai salah satu perintis usaha modern di China. Ia memajukan ekonomi dan memperkerjakan banyak orang. Khususnya di Putian, kota kelahiran leluhurnya.
Apakah Eddy Tansil masih hidup? Apakah yang terjadi padanya setelah kasus kredit macet di China? Tidak ada yang tahu.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H