Ia cukup "beruntung." Negara tengah menghadapi masa transisi. Pengadilan Negeri Jakarta hanya mengganjarnya 9 bulan penjara. Seharusnya ia bisa tenang jika ikhlas menjalaninya.
Tapi, tidak bagi Harry. Waktu adalah uang. Bulan Oktober 1966, ia kabur dari Rutan Glodok. Konon Hong Kong menjadi tujuannya.
Harry tak pernah berada di penjara. Dengan uang, ia bebas keluar masuk penjara. Siang maupun malam.
Saat Harry berkeliaran, ia mengantongi surat sakti dari Kejaksaan Agung. Alasannya Kesehatan. Rumah Sakit Husada saban kali dikunjungi. Menjadi markas sementara hingga ia kabur ke luar negeri.
Pihak Kejaksaan dan Rumah Sakit saling menuding. Begitu pula dengan Kepolisian dan Imigrasi.
Aksi Harry bikin heboh. Menjadi skandal otoritas keuangan pertama di Indonesia di era Soekarno, sekaligus Soeharto.
"Tidak tanggung-tanggung, semua dibawa kabur," ujar Jusuf Kalla kepada Harian Kompas, 21.10.1966.
Harry tidak hanya membagi-bagi cek kosong. Uang nasabah pun dibawa kabur. Rumahnya di jalan Botolempangan Makassar pun disita.
Harry tetap melenggang jauh, memantau perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Dari Hong Kong.
Lima tahun kemudian, Orde Baru sedang bersemangat mencari investor asing. Harry Tansil kembali ke Indonesia. Merintis usaha perbankan lagi. Bank Sulawesi namanya.
Bank tersebut didirikan untuk menopang usaha anak-anaknya. Impor Bajaj dan sepeda motor merek Jepang. Sumbernya, dari dana nasabah.