Maklum, karena kawasan itu berada di lereng pegunungan Mandusawu. Di situ cukup dekat dengan asap uap belerang seperti awan juga dari sumber panas bumi, Ulumbu, tapi ayah tidak memakai nama itu. Mungkin alasannya karena bau asap awan dari Ulumbu itu seperti masu pecu (bau kentut).Â
Kemudian, adik pria bungsu lahir di kampung Bibang, Kempo, dan ayah beri nama Bibang, lengkapnya Geradus Bibang, supaya ingat nama kampung itu, tempat tinggal orangtua mama saya. Kemudian anak bungsu terakir, perempuan, lahir di SD Waemata, diberi nama Murni, Monika Murni. Murni artinya bersih, suci. Bungsu ini penutup karya terakir penciptaannya bersama Tuhan.
Nama unik bagi anjing pemburu
Profesi guru zaman itu separuh petani dan pemburu. Gaji tidak cukup, yang diterima tiap 3(tiga) bulan. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan perut dan gizi, ya bertani. Tanah dipinjam pakai gratis oleh orangtua murid setempat. Lauk pauk? Berburu babi hutan, rusa dan dama wae (cari udang, katak, belut, ikan mujair di sungai).
Selama 5(lima) tahun di Wangkung ayah saya memelihara beberapa ekor anjing pemburu, dan diberi nama unik, yaitu Ngger Sili, Ngger nia, Ngget lau, Ngger Sale, Ngger eta.Â
Nama itu dalam bahasa Manggarai artinya berturut-turut, kearah menurun, ke arah mana saja, ke arah selatan, dan ke arah atas ketinggian. Waktu tgl 23 November 2021 lalu saya melayat inang Bel, di kemah duka, orang tua di situ menyebut lagi "ngasang acu wonok ( nama anjing pemburu)" ayah saya itu. Â Terasa lucu, logis, dan tak terlupakan oleh mereka. Kisah-kisah itu semacam bagian yang telah ditulis pada buku kehidupan mereka, termasuk saya dan ayah saya. Ketika berkumpul setelah 40-50 thn kemudian, yaitu tgl 23 November 2021, buku itu dibaca kembali. Nostalgia yang membahagiakan. Juga tak luput dari kepedihan. Tapi kepedihan terhapus oleh kebahagian di dalam Tuhan saat berkumpul itu.
Anjing pemburu yang pintar
Sedikit tambahan tentang nama anjing pemburu tadi. Ayah saya bersama Bp guru Petrus Tauk dan beberapa kepala keluarga di Wangkung rutin pergi wonok (berburu) ke hutan, dengan membawa serta anjing-anjing itu.
Setiba di lokasi, lalu dia kasi komando ke posisi mana masing-masing anjing itu pergi sesuai namanya tadi. Bp Nober dan Bp Petrus Tauk dan beberapa temannya menunggu di sebuah area lapang, lengkap dengan korung (tombak) dimana tempat babi hutan atau rusa lari nyasar dikejar anjing. Â Ah, begitu kelima anjing itu menggiring ke jalurnya, mereka tinggal menombak, mati tempat. Â Dagingnya dibawa ke rumah.
Pernah suatu saat, ini cerita mama saya, mama mengeluh soal repotnya kasi jatah makan anjing itu tiap hari. Suatu siang pada hari libur, mama tidak kasi makan anjing itu.Â
Ia berkata pada anjing-anjing itu, "Hei, hemi hoo lonto gereng hang. Sua minggu toe manga hang nuru hami ga. Mo, mo wonok eta puar, wa nggercee lapangan ko sekang ise ndaot agu motang situ. Ngger nia, Ngger lau, Ngger sale, Ngger eta, mo... moooo.."( bahasa Manggarai, terjemahannya: hei, kamu anjing, tunggu makanan terus tiap hari. Kamu tahu, sudah dua mingguan kita tidak makan daging. Pergi berburu ke hutan di luar sana, pergiii ... pergiii...). Â