Pemerintah getol berkampaye tentang sekolah gratis kendati fakta di lapangan justru kerap berkata sebaliknya. Maraknya praktik pungutan liar, dengan dalih sumbangan pendidikan, sudah menjadi rahasia umum.
Program Wajib Belajar 12 Tahun adalah manifestasi pemenuhan iktikad negara seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Pemerintah memiliki kewajiban untuk membuka akses pendidikan yang layak bagi seluruh warganya sebagai medium untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, dalam usianya yang tidak lagi muda, program esensial itu hingga kini masih menyisakan segudang persoalan, seperti kurikulum yang berubah-ubah, pasal serta beleid yang tumpang tindih, dan maraknya pungutan liar (pungli) di sekolah-sekolah negeri.
Siapa pun menterinya, permasalahan itu terus berkelindan sampai-sampai sudah menjadi budaya yang dipandang sebagai standar umum. Bagaimana tidak, pungli yang sudah jelas-jelas dilarang, ternyata masih sangat banyak ditemui di sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia.
Praktik pungli terselubung semacam ini marak dilakukan pihak Sekolah dengan dalih uang sumbangan. Adapun modus peruntukannya sangat beragam, seperti pembangunan gedung sekolah, program di luar kegiatan reguler pembelajaran di kelas, upah guru honorer, dll.
Pengalaman tidak menyenangkan inilah yang sempat dialami adik saya yang kini masih bersekolah di SMA negeri di area Jawa Timur. Setiap semester, adik saya diwajibkan guna membayar uang pungli senilai Rp.1,8 juta (Rp.300 ribu/bulan).
Sebagai wali murid, yang mewakili adik saya, saya tak pernah menerima rincian transparansi untuk apa saja dana pungli itu digunakan. Padahal, sebagai donatur, transparansi menjadi hak yang melekat yang harus diberikan tanpa diminta.
Sebutan pungli ini tentu amat beralasan karena ketika adik saya telat membayar, maka pihak sekolah akan menahan kartu ujiannya. Dengan kata lain, dia dilarang untuk mengikuti ujian jika uang pungli belum dibayarkan.
Meski pihak sekolah mengklaim bahwa pungutan ini sebagai sumbangan, tetapi dalam praktiknya, sekolah menetapkan nilai dan tenggat waktu pembayarannya. Dengan begitu, maka dalih sumbangan telah gugur dengan sendirinya.
Nahasnya, ancaman itu rutin dilakukan pihak sekolah terhadap siswa yang telat membayar uang pungli Komite Sekolah tiap kali akan memasuki ujian semester.
Awalnya, saya mengira, hanya adik saya dan teman-temannya saja yang sempat menerima ancaman itu. Namun, ketika saya mengetikkan kalimat kunci "siswa dilarang ikut ujian belum bayar..." pada Goggle, ada satu juta konten/hasil yang ditunjukkan. Ya, satu juta.
Hasil penulusuran itu nyatanya selaras dengan laporan-laporan yang diterima Ombudsman bahwa praktik pungli yang mengatasnamakan sumbangan Komite Sekolah atau pungutan lainnya, marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Artinya, praktik pungutan yang disertai dengan larangan untuk mengikuti ujian, sudah terlalu sering menimpa pelajar di Tanah Air. Statusnya kini layak disebut sebagai bencana pendidikan nasional!
Label pungli di sekolah sebagai bencana pendidikan tentu tidak berlebihan. Pada 30 November 2022 lalu, sejumlah murid di SMKN 1 Muaro Jambi dipaksa gurunya untuk mengerjakan ujian di luar kelas lantaran belum melunasi iuran komite.
Mereka terpaksa harus mengerjakan soal ujian semester genap di luar kelas tanpa kursi dan meja dengan hanya beralaskan lantai saja. Sangat kejam, bukan?
Pungli di Sekolah Negeri
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah sebetulnya tidak pernah mewajibkan penggalangan dana dari orang tua siswa. Aturan itu disahkan guna mencari opsi dana dari luar, seperti alumni, corporate social responsibilty/CSR, atau individu dan unsur masyarakat lain yang tidak mengikat demi meningkatkan mutu pendidikan.
Misi utamanya adalah demi mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta memajukan pendidikan. Aturan itu juga dibuat untuk memperjelas posisi/peran Komite Sekolah dan apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan, termasuk pula tentang penggalangan dana pendidikan. Perlu dicatat, pasal itu dirumuskan oleh pemerintah bukanlah untuk mewajibkan pungutan kepada orang tua siswa.
Sementara terkait pungutan pendidikan yang berbentuk sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) untuk siswa SMA/SMK, adalah menjadi kewenangan pemerintah daerah atau provinsi.
Dari 38 provinsi di Indonesia, setidaknya sudah ada 5 provinsi yang menggratiskan biaya sekolah/SPP bagi siswa-siswi SMA sederajat, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Sumatra Selatan.
Khusus area Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, sudah menegaskan, berbagai biaya pendidikan untuk seluruh siswa SMA/SMK negeri di wilayahnya adalah gratis. Beleid itu telah berjalan sejak periode 2019 lalu. Dia juga melarang keras sekolah guna memungut biaya pendidikan dalam wujud dan nama apa pun, terutama peserta didik baru.
Khofifah mengatakan bahwa pengganti SPP untuk SMA/SMK, bisa dioptimalkan dari alokasi dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) serta alokasi APBD Jawa Timur dalam bentuk BPOPP.
Oleh internal sekolah, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, kerap disalahgunakan sebagai alat untuk menarik pungli dengan dalih sumbangan Komite Sekolah kepada wali murid.
Memang benar bahwa biaya pendidikan yang disalurkan lewat BOS masih belum dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum sekolah. Diperlukan alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat agar sekolah-sekolah kian maju dan berkualitas.
Meski demikian, biaya pendidikan tidak boleh sampai memberatkan wali murid. Pun sifatnya tidak memaksa yang dapat mengakibatkan siswa terhambat dalam mengikuti proses belajar di kelas.
Sumbangan yang semula hanya bersifat suka rela serta tidak mengikat, seketika berubah menjadi wajib dan terikat oleh angka dan tenggat pembayaran tertentu. Statusnya kini mirip dengan utang yang harus dilunasi siswa serta orang tuanya. Untuk siswa yang tidak/telat membayar, hak akademiknya dibatasi dengan tidak diizinkan mengikuti ujian, bahkan rapor dan ijazahnya juga bakal ditahan.
Sesuai aturan main, sumbangan memang boleh ditarik dari wali murid. Namun, hal itu tidak berlaku untuk seluruh orang tua lantaran sifatnya yang suka rela. Tatkala sumbangan itu ditetapkan untuk seluruh wali murid, statusnya menjadi pungutan. Dalam menentukan angka pungutan pun, pihak sekolah harus melihat kemampuan ekonomi orang tua siswa. Tak boleh asal!
Selain melakukan pungli, pihak sekolah adik saya juga menjual seragam kepada siswa, yang mana hal itu dilarang keras oleh Pasal 181 serta Pasal 198 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang mengatur mengenai Pengelolaan serta Penyelenggaraan Pendidikan.
Acapkali, pihak sekolah berdalih bahwa penjualan seragam oleh sekolah dipilih supaya tidak ada perbedaan warna atau motif seragam murid. Padahal, masalah itu sejatinya dapat disiasati dengan cara menunjuk orang tua siswa guna membeli bahan/kain atau seragam sejumlah siswa yang membutuhkan sehingga perbedaan warna dan motif seragam bisa dihindari.
Untuk menghindari konflik kepentingan dan agar tak membebani wali murid lain, khususnya yang pas-pasan serta kurang mampu, hendaknya bahan atau seragam itu dijual sesuai dengan harga awal alias tidak mengambil untung.
Sengkarut Komite Sekolah
Akibat ketidakpahaman terkait regulasi dan aturan soal sumbangan pendidikan, banyak wali murid yang mematuhi apa pun yang dikatakan dan diminta pihak sekolah, terutama soal sumbangan.
Di sisi lain, Komite Sekolah tidak pernah melakukan upaya-upaya konkret untuk menjelaskan mengenai apa saja hak-hak sebagai siswa dan orang tua siswa sesuai dengan pasal yang telah ditetapkan oleh Kemdikbud dan pemerintah.
Alih-alih menjadi representasi dari wali murid, Komite Sekolah justru seringkali menjadi perpanjangan tangan sekolah. Padahal, lembaga itu sejatinya dibentuk untuk menampung aspirasi wali murid agar hak siswa dalam mengikuti proses belajar tidak terganggu.
Keberpihakan mereka terhadap sekolah umumnya terlihat dari cara penentuan nilai sumbangan yang dilakukan secara sepihak dan semena-mena. Betul bahwa orang tua siswa diundang dan dilibatkan dalam musyawarah penentuan nominal sumbangan.
Hanya saja, wali murid seringkali tidak mempunyai kuasa dan daya tawar saat mereka menghadiri pertemuan Komite Sekolah. Pertemuan yang dihadiri oleh banyak orang semacam itu tentu bakal menggerus keberanian wali murid yang hendak mengungkapkan keberatan atas nilai sumbangan karena berbagai alasan.
Mereka yang tidak terbiasa menghadiri rapat formal ini, pasti akan merasa malu kalau harus menyuarakan aspirasinya di depan banyak orang. Mereka juga takut dengan stigma serta potensi perlakuan diskriminatif yang bakal diterima anak-anaknya di sekolah.
Lain halnya andai wali murid diberikan akses privat agar bisa menegosiasikan sumbangan jika nilainya memberatkan kemampuan ekonomi mereka. Namun, sayangnya, hal itu agak sulit dilakukan jika sang anak tak termasuk kelompok siswa kurang mampu yang dijamin KIP.
Padahal, bukan hanya siswa yang tidak mampu saja yang berhak mendapatkan akses keringanan dan bantuan. Peserta didik yang termasuk dalam kelompok menengah bawah yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah juga memiliki hak mendapatkan kesempatan serupa.
Adapun mengenai sumber pembiayaan, sudah jelas bahwa sumber pendanaan pendidikan berasal dari empat sumber, yaitu pemerintah, pemerintah daerah, orang tua siswa, dan pihak lain (swasta) yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan.
Orang tua peserta didik hanya salah satu dari empat sumber pembiayaan sekolah. Itu pun jika diminta, sumbangannya tak boleh memberatkan keuangan mereka.
Sayangnya, internal sekolah dan Komite Sekolah tidak pernah melakukan upaya yang maksimal untuk menggali potensi pendanaan di luar sumbangan dari wali murid. Mereka merasa jauh lebih mudah untuk menarik dana dari orang tua siswa karena mencari alternatif dana lain akan sangat memeras otak dan keringat.
Laporkan!
Banyak pasal mengenai pendidikan yang tidak sejalan dengan semboyan "sekolah gratis" yang dikampanyekan pemerintah. Beberapa di antaranya bahkan digunakan sebagai ladang guna mencari keuntungan pribadi. Akibatnya, jargon sekolah gratis kini seolah-seolah hanya menjadi ilusi.
Maraknya pungli berdalih sumbangan di sekolah-sekolah negeri juga menyingkap realitas bahwa mekanisme pengawasan dari Kemdikbud serta pemerintah masih jauh dari kata optimal.
Bagaimana bisa sekolah yang seharusnya menjadi sumber moral yang mengajarkan nilai kejujuran, justru melakukan praktik pungli dan melarang para siswanya guna mendapatkan hak-hak mereka atas akses pendidikan yang layak?
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara seperti yang tertulis pada Pasal 31 UUD 1945. Oleh karena itu, setiap aturan dan kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintahan serta lembaga pendidikan hendaknya tidak sampai mencederai hak dasar generasi penerus bangsa terhadap akses pendidikan.
Praktik pungli terselubung yang disertai larangan kepada siswa untuk mengikuti ujian atau disertai dengan diskriminasi, sangat bertentangan dengan semangat pendidikan yang dijamin oleh konstitusi.
Sebagai wali murid, apakah anak Bapak dan Ibu pernah mengalami hal serupa? Jika memang pernah, jangan ragu-ragu untuk melapor ke dinas pendidikan atau Ombudsman setempat.
Apabila wali murid bersikap maklum dan enggan melapor, maka budaya pungli di sekolah negeri akan terus terjadi. Jangan biarkan ada generasi penerus bangsa lain yang terganggu hak dasarnya atas akses pendidikan di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H