Mohon tunggu...
Kit Rose
Kit Rose Mohon Tunggu... -

Mawar Hitam. Arema 60th.\r\nDid you know about this and that? Well I want to know.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rumah Kaca

22 Januari 2010   07:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beningnya meminta mataku tuk selalu menatap kesana. Gemerlap cahayanya menarik keterpurukan hatiku tuk selalu menanti langkahnya. Dan kehausanku memaksa genangan cinta teronggok di depan pintunya. Kau bagai berdiri anggun di dalam rumah kaca yang tak dapat kusentuh. Aku menatap dari luar dirimu berharap rindu terkirim. Dan pintumu tak dapat kubuka walau dengan sekuat cinta dan rinduku.

----------

Asther berdiri terpana bagai terserap alunan sihir. Ya, sihir cinta yang kian hari kian membara. Tubuhnya terasa kaku dan dingin. Jantungnya berdebar kencang, bagai debur ombak di laut lepas membahana tak ingin sejenak bersandar. Hatinya bergolak antara berlari mengejar cinta dan tikaman ketakutan. Diliriknya sekali lagi lelaki yang berdiri di sebelahnya. Nadinya bagai tersumbat hentakan keinginan ketika dilihatnya lelaki itu juga meliriknya. Panas menghunjam gelora asmara seketika.

"Kenapa liat-liat?" Jimmo menatap tajam.

"Ha? Oh, enggak, nggak apa-apa kok." Asther salah tingkah dan berdebar-debar, lalu menarik tangan Luvia menyingkir dari antrian. Jimmo meliriknya sekilas dan kembali menekuni antrian.

"Loh, nggak jadi nonton?" Luvia heran.

"Nggak ah, antriannya terlalu panjang, paling nggak kebagian tiket."

"Ada Jimmo ya?"

Asther tidak menjawab dan terus menggandeng tangan Luvia menuju deretan kursi di ujung ruangan.

"As, ini kan film untuk materi ujian, kenapa nggak jadi nonton?"

"Bukan nggak jadi. Nanti aja kita nonton di jam berikut. Jangan sekarang."

"Kenapa? Karena ada Jimmo kan?"

Kembali Asther menjawab dengan membisu dan segera mengasyikkan dirinya dengan diktat kuliah tanpa membacanya.

"Ini tiket untuk kalian, kupikir kamu capek berdiri jadi sekalian aku beli untuk bertiga." Mengangsurkan tiket.

Asther menatapnya tak berkedip, kebingungan sekaligus senang.

"Kenapa? Nggak mau?"

"Oh, enggak. Eh, mau." Mengambil uang di tas.

"Ini Mas, uang gantinya." Tersenyum.

"Aku juga, ini uang gantinya." Luvia mengekor.

Jimmo berpikir sebentar, mengambil uang dari tangan Luvia dan segera memasukkannya ke kantong jeans belelnya. Kedua gadis itu terbelalak dengan pikiran berbeda.

"Kok cuma uangku yang diambil?" Protes Luvia.

"Iya, ini Mas." Asther.

"Sorry Via, uangku cuma cukup untuk mentraktir Asther, sisanya untuk jatah makan besok. Nanti kalau ada uang saku lebih lagi giliramu aku traktir." Berlalu meninggalkan kedua gadis itu bersama tanda tanya dan pesona.

"As, aku yakin, kali ini kau tak akan patah hati."

"Maksudnya?"

"Naga-naganya cintamu bersambut nih."

"Ah, tidak usah menabur benih di tanah kering Via. Aku memang serba berdebar dan salah tingkah tiap berdekatan dengannya. Dan dia juga masih dengan sikap yang sama dari sejak kita pertama bertemu."

Asther menundukkan wajah, menekuni buku yang tak ingin dibacanya dan mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba menjadi galau. Diliriknya Jimmo sedang menikmati kreteknya sambil bersandar pada tiang. Acuh.

"Jimmo memang terlihat sangat wajar bahkan seperti tak perduli dengan sekitarnya, tapi aku yakin, pasti dia memiliki cinta seperti yang sedang kau rasakan."

"Kalau dia ingin membagi cintanya denganku, pasti dia sudah mengatakannya padaku Vi. Aku tak mau berhenti di persimpangan yang akan membuatku tak pernah melangkah."

"Jangan putus asa gitu dong. Coba kamu yang membuka pintu dulu."

"Aku perempuan Vi. Tak mungkin aku membuka pintu untuk orang yang tak pernah mengetuknya, dan mana berani aku menebarkan cinta di sembarang tempat."

"Tapi..."

"Sudahlah jangan dibahas lagi, film dah hampir dimulai tuh."

Kedua gadis itu berjalan menuju pintu yang sudah penuh dengan para mahasiswa yang sedang mendapat tugas mengupas sebuah cerita sastra. Sementara Jimmo berdiri menyandarkan dirinya pada tiang bisu menatap dari kejauhan. Sampai gadis pujaan hatinya lenyap di balik pintu dan dia berjalan diam-diam di antrian paling belakang.

*****

Jimmo meletakkan jaket jeans belelnya dan berjalan ke arah jendela. Menyalakan kretek dengan angkuh memandang diam-diam ke rumah kaca di seberang jalan. Yang ditunggunya tak nampak sekelebat pun. Dipandangnya lagi dengan geram rumah itu lalu berjalan ke luar kamar dengan wajah tak sabar. Dilemparnya puntung yang masih panjang begitu saja ke tong sampah tanpa peduli baranya bisa membakar benda yang lain.

"Mau kemana Jim?" Tanya Syam sahabatnya.

"Ngalong."

Jawabnya singkat dan langsung melesat ditelan kegelapan. Tak digubrisnya pandangan heran teman-teman kostnya. Tak dipedulikannya sahabatnya Syam akan menikah dengan Asther si pujaan hati. Tak peduli juga dengan hatinya yang terkoyak.

Dengan geram diletakkannya pantatnya lalu duduk diam-diam di batu kecil menatap rumah sepi di seberang jalan. Ingin diketuknya pintu yang tertutup rapat di sana, tapi yang dilakukannya hanya memainkan asap putih mengepul dari bibirnya.

Syam menyalakan kreteknya, sambil berdiri diam-diam mengawasi sahabatnya dari jauh, dari balik kegelapan malam bersimbah purnama. Mata awasnya terus mengawasi sahabatnya, menghela nafas, lalu berjalan mendekat. Setengah terkejut Jimmo melirik Syam.

"Mau ngapain kesini?" Jimmo galak.

"Nah, kamu sendiri ngapain jongkok di sini?"

"Aku duduk nih. Batunya kecil aja jadi keliatan jongkok."

"Aku tahu. Maksudku ngapain duduk di sini malam-malam?"

"Emang ada larangannya?"

Syam diam menatap sahabatnya. Dilemparnya puntung rokok ke tengah jalanan, lalu ikut menatap rumah kaca di kejauhan, kembali menatap sahabatnya yang masih duduk membeku.

"Kamu mencintainya kan?"

"Siapa?"

"Jangan pura-pura nggak peduli Jim. Aku tahu apa yang sedang kamu rasakan. Aku minta maaf kalau rencana pernikahanku sama Asther membuatmu terluka."

"Jangan sok tahu dan ambil kesimpulan sendiri."

"Kenapa kamu nggak pernah menyampaikan perasaanmu ini padanya?"

"Perasaan apa?"

"Udahlah Jim, aku tahu kamu cinta sama Asther. Nggak usahlah kamu mencoba mengingkarinya. Semakin kamu hindari akan semakin menyiksamu."

"Buat kamu aja. Selamat ya. Jangan lupa kau undang aku."

Lalu berdiri dan meninggalkan Syam sendirian tanpa menoleh lagi. Tak lama, setelah yakin sahabatnya sudah menjauh, Syam pun menyeberangi jalan menuju sebuah rumah. Asther sudah menunggunya di sana. Mereka berbincang sebentar dan Syam pergi meninggalkan rumah itu sambil mengantongi sejuta senyum.

Direntangkannya tangannya menyongsong angin dan warna redup bulan sedang menebar cinta. Dihirupnya udara malam bersenandung lagu rindu mengharu biru. Serasa tak sabar menanti cahaya pagi mesra sambut lembaran baru.

*****

"Aku takut." Asther memegang erat tangan Luvia. Wajahnya seputih kapas menahan gejolak hati. Luvia menggenggam tangan sahabatnya ingin memberi ketenangan.

"Tenang, Jimmo nggak nggigit kok. Walaupun keliatan kasar, aku tahu hatinya lembut. Kamu tenang aja."

"Tapi sejak kita sebarkan berita aku mau nikah sama Syam, dia nggak mau negur aku lagi. Sikapnya semakin acuh."

"Itu tandanya dia cemburu setengah mati. Sayangnya seniman yang satu ini tak berani membuka lembaran hatinya untuk kita baca."

"Aku masih takut. Tak ada nada cemburu pada matanya."

"Nanti kau lihat sendiri."

Kedua gadis itu memasuki halaman rumah tempat Jimmo dan Syam tinggal sementara, lalu mengetok pintu perlahan. Seorang ibu penjaga rumah kost membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Lalu meninggalkan mereka menunggu di ruang tamu yang tak penuh dengan perabot. Asther memutar matanya mencari ketenangan.

"Mau ngapain kalian?"

Tiba-tiba Jimmo sudah berdiri di pintu penghubung sambil mengucek matanya yang masih merah dan bergelayut kantuk.

"Baru bangun Mas?" Luvia mencoba ramah.

"Hmmm..."

"Gimana persiapan wisudanya Mas, udah beres?" Asther mencoba bertanya menyembunyikan gemetar tangannya.

"Udah. Kalau persiapan pernikahanmu gimana, udah beres?"

Jimmo menyalakan kreteknya lalu duduk tak acuh di depan kedua gadis itu. Dihembuskannya asapnya mengepul memenuhi ruangan yang masih segar. Asther melirik sahabatnya tak berani menjawab.

"Nggak usah malu-malu. Aku udah tahu kok kalian mau nikah. Kalau kamu, nggak mau nikah juga Vi?"

"Aku juga mau nikah Mas, mungkin nanti setelah wisuda, tapi sama siapanya masih rahasia."

"Kenapa dirahasiakan?"

"Bukan rahasia sih sebenarnya, mau bikin kejutan aja."

"Kejutan apa nih?" Syam tiba-tiba sudah berada di pintu dengan dandanan rapi.

"Cepet Jim, mandi sana." Mengusir paksa Jimmo dari duduknya.

"Nggak ah, nanti aja."

"Cepetan, udah telat nih. Mumpung masih pagi kita berangkat."

"Kemana?"

"Udahlah sana mandi. Aku siapin mobil dulu."

"Nggak mau ah, nggak jelas kalian nih."

"Mas Jimmo, kita kan sahabatnya mas Syam dan Asther. Hari ini mereka mau belanja keperluan pernikahan mereka. Nah kita diminta untuk bantu memilih yang sesuai." Luvia mencoba menjelaskan sementara Asther semakin membeku wajahnya.

"Kenapa sih, mau nikah aja bikin repot semua orang."

"Ayolah Jim, demi aku dan Asther." Syam senyum memelas.

Jimmo menatap Asther sekilas, ada pandangan terluka dalam tatapan itu, tapi dengan gagah ditepisnya luka itu dan memaksakan diri memenuhi keinginan sahabat dan terkasih. Semua saling menatap dan tersenyum penuh bahagia. Asther memerah wajahnya saat Luvia menyenggol lengan dan kakinya. Tangannya semakin dingin dan gemetar, tapi ada gurat harapan dan kecemasan di wajah ayu itu.

*****

Syam membelokkan mobilnya memasuki kawasan menuju pantai Carita. Jimmo menyimpan herannya sambil berusaha tak peduli dan menyimpan tanya. Tapi tak dapat ditahannya juga kekesalan hatinya.

"Berurusan sama orang yang lagi kasmaran emang susah." Gumamnya.

"Kenapa Jim? Pantainya kalau masih pagi gini sepi, jadi enak untuk dinikmati."

"Aku sih senang-senang aja ikutan menikmati pantai. Dari semenjak di tol tadi sih udah curiga."

"Tapi kok diem aja?" Luvia menggoda.

"Males mau ngomong. Namanya juga lagi pada kasmaran."

Asther menundukkan wajahnya menyembunyikan gelisah, sementara Jimmo tak mau mempedulikan tawa Luvia dan Syam. Sampai pada pasir-pasir yang masih belum ramai pengunjung Syam menghentikan mobilnya. Dibukanya pintu mobil dan keluar diikuti yang lain.

"Dah sana, cari pojok yang sepi. Tapi karena pantai nggak ada pojok gelapnya, masuk aja ke hutan." Sinis Jimmo bergumam lalu menyalakan kreteknya menahan jemu. Disisirnya pantai tanpa semangat, dipandangnya laut dengan tatapan hampa. Dihembuskannya nafas lelah tanpa ingin menoleh. Dicarinya rumah kacanya pada titik terjauh birunya samudra tanpa mampu mengetuk pintunya.

Syam dan Luvia memasuki mobil sambil berteriak diiringi derai tawa. Sementara Asther ketakutan tak tahu harus bersikap apa, tak berani menatap Jimmo yang wajahnya semakin mengeras.

"Sorry Jim, toko baju pengantinnya keburu tutup, nanti sore kalian aku jemput, hati-hati ya." Teriak Syam semakin berderai tawanya.

"Mas Jimmo, nitip Asther ya, jangan diapa-apain." Luvia berteriak dari dalam mobil sambil memeluk Syam dengan mesra.

Jimmo berjalan mendekati mobil tapi Syam dan Luvia sudah menjauh masih dengan tawa berderai. Dihampirinya Asther lalu ditariknya tangan gadis itu dengan kasar. Air mata sudah memenuhi pipinya.

"Maksudnya apa ini?"

Asther tidak berani menjawab dan semakin menundukkan wajahnya menyimpan ketakutan.

"Asther, tolong jelaskan. Aku nggak ngerti maksudnya apa ini?"

"Sebenarnya yang mau menikah mas Syam dan Luvia."

Asther menjawab hampir tak terdengar, tetapi suaranya hampir membuat dada Jimmo meledak. Ditariknya lagi jemari Asther, kini lebih lembut, lalu bertanya.

"Kamu?"

Asther menggeleng.

"Bukan kamu sama Syam yang nikah?"

Kembali Asther hanya menggeleng, dan seketika gelengan itu disambut pelukan hangat kedua tangan merintih sepi itu. Jimmo berteriak pada laut, melompat menghamburkan bahagia, lalu menggenggam jemari Asther yang masih ketakutan.

"Sudah terbukakah pintu rumah kaca itu untukku?"

"Kamu tak pernah mengetuknya." Jawab Asther pelan.

"Sekarang aku tidak ingin mengetuk pintu itu lagi, tapi memasukinya dan memanggil gadis yang tak mau membukanya untukku. Akan kupaksa dia menutup pintu itu agar tak ada yang memasuki rumah kaca itu dan aku dapat berdiam di sana bersamamu."*****

by. Kitrose

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun