"Berurusan sama orang yang lagi kasmaran emang susah." Gumamnya.
"Kenapa Jim? Pantainya kalau masih pagi gini sepi, jadi enak untuk dinikmati."
"Aku sih senang-senang aja ikutan menikmati pantai. Dari semenjak di tol tadi sih udah curiga."
"Tapi kok diem aja?" Luvia menggoda.
"Males mau ngomong. Namanya juga lagi pada kasmaran."
Asther menundukkan wajahnya menyembunyikan gelisah, sementara Jimmo tak mau mempedulikan tawa Luvia dan Syam. Sampai pada pasir-pasir yang masih belum ramai pengunjung Syam menghentikan mobilnya. Dibukanya pintu mobil dan keluar diikuti yang lain.
"Dah sana, cari pojok yang sepi. Tapi karena pantai nggak ada pojok gelapnya, masuk aja ke hutan." Sinis Jimmo bergumam lalu menyalakan kreteknya menahan jemu. Disisirnya pantai tanpa semangat, dipandangnya laut dengan tatapan hampa. Dihembuskannya nafas lelah tanpa ingin menoleh. Dicarinya rumah kacanya pada titik terjauh birunya samudra tanpa mampu mengetuk pintunya.
Syam dan Luvia memasuki mobil sambil berteriak diiringi derai tawa. Sementara Asther ketakutan tak tahu harus bersikap apa, tak berani menatap Jimmo yang wajahnya semakin mengeras.
"Sorry Jim, toko baju pengantinnya keburu tutup, nanti sore kalian aku jemput, hati-hati ya." Teriak Syam semakin berderai tawanya.
"Mas Jimmo, nitip Asther ya, jangan diapa-apain." Luvia berteriak dari dalam mobil sambil memeluk Syam dengan mesra.
Jimmo berjalan mendekati mobil tapi Syam dan Luvia sudah menjauh masih dengan tawa berderai. Dihampirinya Asther lalu ditariknya tangan gadis itu dengan kasar. Air mata sudah memenuhi pipinya.