Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Beib dan Surat-surat di Tahun 2073

10 Juni 2011   13:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_113093" align="aligncenter" width="655" caption="Ilustrasi, sumber: http://stat.kompasiana.com"][/caption]

Beib, cobalah dendangkan bagiku satu lagu, pintamu suatu ketika. masih ingatkah kau dengan permintaan itu? tidak tentunya. sekian jauh jarak yang sudah kita tempuh tentu hal remeh ini mungkin saja terlupa. pagi datang menjelang, kau tak akan pernah datang lagi.

Beib, saat pagi telah datang aku masih saja mencari riak-riak wajahmu di antara embun pagi. oh itu. ada sekelebat wajahmu menyapa, bersamaan dengan Sting yang bernyanyi Fields of Gold. kau pergi lebih cepat dari habisnya cahaya pagi, saat Sting pun belum menyelesaikan lagunya.

kini kuingat lagu ini lagumu, Beib. telah jauh aku kau tinggalkan, kini aku a very old man. sementara kau, tetap saja bidadari di surga. ingin kugali lagi kuburmu menjelang senja menerawang. agar kau tahu aku tak takut gila, Beib. agar kau tahu sembahku padamu masih seperti dulu, saat kita merenung menuju masa kita dewasa. memetik hari demi hari seperti sebuah keabadian.

Semuanya pergi, Beib, juga dirimu. one by one begitu kata Sting. aku kehilangan satu mata, terlalu banyak menangis. kehilangan satu telinga, terlalu banyak mendengar lagumu. hari ini aku tak tahu apa lagi yang pergi dariku. pusara itu menyiksaku, bathinku, hidupku, mengapa tidak kau bawa aku sekalian bersama mu. kukutuki diriku,aku masih saja tidak bisa lepas darimu, Beib.

Beib?”

Aku bertanya dan Kamu hanya mengangguk. Entah apa arti anggukanmu. Tak ada kata dari kita berdua setelah itu selain diam dan membayangkan apa-apa yang telah terjadi. Akhir Desember 2073 ini membuat kita hanya bisa membayangkan hujan. Dan catatan tentang keabadian ini begitu bergemuruh dalam dada. Cerita keabadian yang menelan satu mata, satu telinga. Panggilan itu, “Beib…,” yang terasa tidak asing. Panggilan yang membuat kita beradu pandang, lalu mengeluarkan pertanyaan yang sama.

Sting?”

Iya, itu lagu yang sudah sangat tua. Mungkin 80 tahun lalu. Aku pernah mendengarkannya. Coba nanti aku cari-cari di song library. Sepertinya lagu-lagu yang sudah selesai hak ciptanya sangat sulit didapatkan. Era pasar bebas membuat semua harus bayar.

Seperti biasa, kamu dengan mudah menjelaskannya. Aku tak tahu siapa Sting. Kamu yang sering ke perpustakaan. Aku tidak. Kamu sangat fasih bercerita tentang tahun 2000-an. Tahun dimana, katamu, menjadi tonggak kebebasan sekaligus penjara bagi peradaban. Dimulai dari kejayaan social media, transparansi informasi dan teknologi mobile sampai kemudian semua euforia itu menjadi bumerang kala krisis energi muncul. Gadget yang notabene hanya butuh sekian volt sampai harus dibatasi, bukan masalah gadgetnya tetapi tower-tower pemancar yang butuh energi besar. Krisis yang memunculkan tirani-tirani baru. Semua blog dan kontennya dikendalikan pemerintah, ah aku tak pernah tau apa itu blog. Aku juga tidak sepenuhnya peduli dengan masa lalu. Aku cukup mendengar darimu yang sering ke perpustakaan.

Beib? Sebuah namakah?”

Kamu diam dan menggeleng. Tapi kamu tersenyum. Jika sudah seperti itu aku tinggal menunggu penjelasanmu.

Itu seperti panggilan sayang. Aku menemukan satu blog di tahun 2011. Berisi cerita tentang beib. Beib sudah digunakan semua orang”

Sepertinya tidak asing untukku.”

Kembali kamu diam. Kita pun memilih meneruskan membaca kertas-kertas rapuh ini.

Selamat pagi, Beib. Apa yang kamu lakukan di sana? Aku sudah tidak ada lagi, baik di tempat peristirahatan terakhirku maupun di dalam kehidupanmu. Seharusnya kamu tidak membiarkan waktu berlalu begitu saja tergelincir dari genggaman tanganmu. Seharusnya, rambut yang mulai keperakan itu pernah disentuh oleh kasih sayang dari tangan perempuan lain, yang masih hangat, yang masih tergenggam, bukan memikirkan aku yang tidak mungkin kamu genggam lagi. Kenangan adalah serupa angin, yang tak pernah mampu kau rengkuh setelah ia berlalu. Serupa pasir yang akan lolos keluar dari sela-sela jemari tanganmu. Tidak ada kebahagiaan yang abadi. Memang. Sama seperti, seharusnya, tidak ada kepedihan yang kamu biarkan abadi.

Ingin kupungut masa-masa lalumu yang kau biarkan tercecer di sana, lalu kutempelkan kembali hari-hari yang tergeletak usang terlantar karena kamu sibuk mencari-cari pintu untuk kembali ke masa-masa lalu. Pintu-pintu itu sudah tertutup, Beib. Bahkan sudah tak lagi ada di sana. Kalau saja kamu mau melihat, bukan, bukan ke sini, tetapi ke sana, ya ke sana, ke jalan di depanmu, ada pintu yang terbuka di sana, menunggumu untuk berjalan ke arahnya, lalu rabalah kalung di lehermu, ada sebuah kunci rapat dekat di jantungmu. Ambillah. Buka pintu itu dan lihat apa yang ada di sana.

Beib, jalan ke sana mungkin berupa lorong gelap, atau setapak yang dipenuhi rumput tinggi pada kiri-kanannya. Mungkin kamu tidak yakin kamu sedang menjalani jalan yang tepat. Tetapi percayalah, ke sana kakimu seharusnya melangkah. Aku tahu, sebab di pundakku telah dianugerahkanNya sepasang sayap, dan di tanganku dirajahkan namamu. Kamu tak dapat melihatku, tapi aku melihatmu dan aku tahu nur itu terletak di timur sesaat matahari naik. Aku tak bisa memaksamu, Beib, aku hanya bisa menyibakkan alang-alang itu sehingga kamu melihat jalan setapaknya, aku hanya bisa memastikan kamu melihat cahaya timur pagi di ujung lorong. Berpalinglah dari kenangan, Beib... Lihat cahaya fajar dan mulailah hari baru. Aku akan membantumu melangkah.

Ayo, Beib... mulailah melangkah ke sana.

Beib lagi? Siapa yang menulis ini?”

Yang jelas ini dua orang yang berbeda dan jangan kau tanya padaku.Kita setua ini dan menemukan catatan ini .. ”

Aku segera memotong,

Ini juga catatan orang tua, seperti kita dan ..”

Kamu pun memotong,

Jika kau tidak tahu, aku juga tidak tahu. Mungkin kau bisa bertanya pada pohon waru tua itu. Yang daunnya cinta tapi selalu berlobang karena hama”

Kamu mulai meninggikan suaramu dengan membawa-bawa pohon waru. Pohon yang aku tanam entah berapa puluh tahun lalu. Catatan ini sudah mulai meneror kebersamaan kita di rumah tua ini. 53 tahun berada di tempat ini, baru pagi ini kita mendapati ketegangan. Catatan ini kita temukan teronggok di lemari tua yang ingin kita bersihkan. Aku tepatnya yang menemukan. Semula ada kecurigaan karena lemari tua ini dulunya kamu yang menginginkan. Ah, kamu, laki-lakiku sudah tampak jengah.

Orang mati tak mungkin menulis ini”

Kamu diam. Terasa ada yang kau simpan. Aku masih berkeras memegang kertas-kertas lemah yang mudah patah ini. Dan kamu masih berkeras tak mengerti.

***

Hujan akhir tahun terus mengguyur. Aku sempat menatapnya getir dari balik jendela. Butirannya terus meluruh ke bumi, tak terputuskan. Tiba-tiba, aku seperti diingatkan akan sesuatu. Tentang hujan, dan beib, itu tentangmu, tentang kita. Tapi aku tak jelas. Kaki tuaku tergopoh, menyeretku masuk ke dalam, menemukanmu di kursi goyang kesukaanmu dengan dahi masih berkerut.

Rasaku, kamu seperti menyimpan sesuatu dalam ingatanmu. Tapi, aku yakin kau tidak menemukannya. Sampai harus kau jembreng lebar-lebar memori dalam tiap lipatan otakmu. Pun juga aku. Sesungguhnya, tidak ada satu ingatan yang pernah tersangkut, bahkan tergeletak sempurna di bilik otakku. Yang ada hanya kilatan pernik aku-seperti-pernah-mengalaminya. Ini kualami sampai pada satu kesadaran, kita pernah bersama namun seakan terpisah. Seperti keberadan hujan yang selalu datang di musimnya. Walau sempat tiada karena kemarau meraja.

Beib!”

Kamu menatapku heran.

Kenapa kau panggil aku begitu?”

Entah, hujan yang menggerakkan bibirku. Kamulah beibku. Tapi bagaimana bisa?”

Aku sendiri terheran-heran. Apa hubungannya hujan, yang akan tiada saat habis musimnya, dengan kita? Beib?

Di kepalaku bertebaran potongan-potongan kisah, berantakan berkeping-keping bagai cermin pecah. Aku, kamu, hujan. Sedikit tersusun mozaik itu.

Kamu beranjak dari kursi goyang, matamu tajam menatapku. Lalu menuju lemari tua tempat segala awal keresahan ini muncul. Dengan semangat yang terasa muda, kamu membongkar daun pintu lemari, melepas potongan papan di dasarnya. Aku mengikuti dengan pandangan heran. Sekejap aku ternganga saat kautemukan sebuah dompet kulit. Dari dalamnya ada beberapa lipat kertas kuning lusuh.

Dengan tangan bergetar kamu bersiap membuka selembar lipatan kertas itu. Alis matamu bergerak-gerak, menyuruhku mendekati. Sebentar, aku berlari kecil mengambilkan kacamatamu dan menggunakan kacamataku juga.

Sesuatu terjatuh saat membuka lipatan surat itu. Ada beberapa foto berukuran kecil, dan sebuah foto sepasang mempelai yang terlihat berpelukan dengan bahagia. Tertanggal 5 Desember 2011. Dengan menahan nafas kita memandangi foto-foto itu, lalu beralih ke surat itu.

Kutulis sepucuk surat yang tercipta pada musim semi ini, sebagai penanda, bahwa suatu saat nanti, kelak di suatu waktu, dimana tidak ada lagi fajar menyingsing, tidak ada lagi senja dan tidak ada lagi malam. Kita akan kembali bertemu lagi.

Di suatu masa, di suatu ketika, di masa depan, ketika tidak ada lagi senja, tidak ada lagi pagi dan tidak ada lagi malam.Aku ingin mengantar surat ini kepadamu, sebagai bentuk sikap batinku untukmu.Di suatu saat, di suatu ketika, di suatu peristiwa di masa depan, dalam suatu dimensi yang private, aku ingin kamu membaca surat ini.

Jika ada terlukis perasaan rindu yang sangat, yang terselip dalam surat ini yang engkau temukan dalam deretan kata-kata yang tercipta pada musim semi yang sempurna ini, biarlah dia terungkap dan terbaca apa adanya.

Jika kata demi kata yg tertuang dalam surat ini bisa terungkap dengan jelas bahwa aku masih jatuh cinta sama kamu, biarlah dia menari-nari dalam suasana keindahan musim semi yang sempurna.

Kutulis surat ini dengan harapan, kelak di suatu waktu, di masa depan, ketika tidak ada lagi dingin, tidak ada lagi panas, ketika kita sudah berada pada dimensi yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, dan tidak dibatasi oleh usia dan jalan hidup, aku ingin engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa menyingkirkan namamu dalam guratan hatiku.

Aku selalu ingin engkau tahu, bahwa engkaulah yang berhak menjadi seseorang yang akan mengisi singgasana hatiku di di suatu tempat, di suatu masa, di suatu ketika di masa depan kelak.Kenangan senja bersamamu di musim semi yang indah, sulit sekali untuk hilang dalam memori-memori masa lalu. Selalu terbayang dan tergambar dalam bulir-bulir di benakku, betapa aku selalu tidak pernah bosan menikmati tarian musim semimu yang indah, yang menebarkan pesona tiada tara .

Di suatu masa di masa depan, dimana tidak ada lagi hari, tidak ada lagi tanggal dan tahun. Di suatu masa, ketika tidak ada lagi matahari, bulan dan bintang, ketika tidak ada lagi musim-musim yang silih berganti. Aku ingin engkau tahu, aku selalu merindukanmu.

Di suatu masa kelak di masa depan, dan pada suatu ketika, ketika semua orang menjadi muda kembali, ketika tidak ada lagi gelap dan terang, Aku ingin kamu tahu tentang perasaanku kepadamu. Ketahuilah, aku ingin mencintaimu di kehidupan yang sudah engkau jalani sekarang ini. Salib yang dulu pernah aku berikan padamu, masih aku simpan dengan rapi disamping tasbih yang engkau belikan untukku di suatu senja, pada suatu musim semi yang sempurna.

Ketika tidak ada lagi panas, tidak ada lagi dingin, tidak ada lagi waktu-waktu yang membatasi hari-hari kita, dan ketika tidak ada lagi kematian setelah kematian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku sangat mencintaimu, sebelum dan sesudah engkau meninggalkan dunia fana ini. Dan aku ingin, kita bisa hidup bersama.

Dan jika ada sedikit perasaan yang sama yang kamu rasakan dalam hatimu, walaupun itu cuma secuil getaran lembut, selepas membaca surat musim semiku ini, ijinkan aku untuk bergabung, menjumpa dan bersanding di sampingmu. Untuk selamanya.

Di suatu ketika, di masa depan, dimana tidak ada lagi detik-detik berlalu, dimana tidak ada lagi menit demi menit yang berganti menjadi jam, dan ketika tidak ada lagi hari-hari yang berganti menjadi bulan dan tahun. Aku ingin kamu membaca suratku ini. Dan ketika engkau membaca suratku ini, kita pasti akan segera bertemu dalam waktu yang tidak lama lagi.

Dan ijinkan aku mengakhiri surat ini dengan kalimat yang dulu pernah aku ucapkan dengan tulus dan sepenuh hatiku. Aku Cinta Padamu, selalu.

Peluk rindu dariku. Beib.

Kamu menatapku, sendu. Aku menatapmu, haru. Perasaan ini seakan mewujud dari isi surat itu. Ada misteri apa sebenarnya?

hmm, 2011 ..”

Kita masih dikandungan.”

Satu surat dari si perempuan seperti seolah dia sudah meninggal. dan surat dari si laki-laki juga mengisyaratkan demikian”

Kamu menunjukan kalimat “betapa telah jauh aku kau tinggalkan, kini aku a very old man. sementara kau tetap saja bidadari di surga. ingin kugali lagi kuburmu menjelang senja menerawang”.

dan surat dari si perempuan seperti jawaban. Tak mungkin orang mati menulis surat jawaban. Kecuali jika .. “

Jika apa?”

Si Perempuan sudah tahu dia akan mati. Sakit barangkali?”

Aku memejamkan mata. Ada sesuatu yang aku tidak tahu. Ada perasaan-perasaan yang .. aku tidak tahu. Rasanya aku kenal. Dan rasanya kamu pun merasakan hal yang sama.

***

Tak ada yang salah dengan sesuatu yang berdiam di tubuhku. Entah kenapa orang di sekitarku menyebutnya dengan kata “penyakit”. Seakan rasa kasihan memang dianugerahkan khusus bagi seseorang saat melihat manusia lainnya tak lebih sehat dari dirinya. Seperti kamu beib, rasa iba yang kau pikul itu membuatmu lebih menderita, lebih dari aku yang mengalaminya.

Ah beib, kita memang diciptakan sejiwa. Rambutku yang perlahan rontok, tetapi mukamu yang terlihat lebih kuyu. Kamu harus belajar dariku, beib. Mencoba berteman, berdamai dengan sakit itu, adalah suguhan teh hangat untukmu di pagi hari, adalah pelukan dan ciuman hangat yang menemanimu setiap malam. Kumohon beib, kuatlah…

Saat ini, di tempat tidur dengan berbagai peralatan penyokong hidupku, kamu masih menggenggam erat jemariku. Membisikkan kata agar aku bertahan, selalu menemanimu. Seandainya mulutku mampu berucap, akan kujawab bahwa kita pasti akan bertemu. Ingin rasanya memohon padamu agar kau baca surat yang selalu kutulis untukmu. Surat yang kusimpan di dompet kulit dalam lemari kayu di kamar kita. Tetapi, hingga ujung tarikan nafasku, ternyata aku cuma mampu tersenyum. Senyum terindah seorang bidadari, kata mereka yang mengiringi pemakamanku.

Beib, kamu terlihat siap melepas kepergianku. Tak ada tangisan histeris, ratapan pilu, sampai ke pembaringan terakhirku. Kupikir, kamu memang memegang amanahku. Pesanku agar selalu kuat dan tabah menjalani hidup. Ternyata aku salah, beib. Kamu yang tampak tegar, menyimpan jiwa yang rapuh. Setiap malam menjelang, kamu selalu menangisi kepergianku. Tangis yang menggerogoti kesehatan tubuhmu secara perlahan.

Saat sakit yang parah menderamu, kamu malah sibuk menulis surat yang entah ditujukan kepada siapa. Surat yang kau simpan di tempat yang sama dengan suratku. Anehnya, kamu sepertinya sama sekali tak pernah melihat suratku. Membuatku gemas ingin menyentuh pipimu, menyentuh telingamu dan berbisik agar kamu secepatnya membaca suratku.

Kamu menjajarkan surat-surat itu di meja. Aku sudah membuatkan teh untukmu. Kamu tampak menikmati teh ini. Di saat tua seperti ini, di saat banyak yang hilang di peradaban, hanya ada satu dua yang selalu bertahan, teh ini misalnya. Teh, gula, kopi adalah benda-benda yang bertahan dari gerusan waktu. Teman setia. Pagi ini, Aku memilih teh. Seperti suguhan teh yang ada dalam surat ini. Surat-surat yang sesaat telah membuat kita terpaku pada intensitas rasa, mungkin tepatnya hanya aku. Kamu lebih suka terpaku pada penasaran dan melogikakan semua. Bagiku, itu hanya lemari yang kamu inginkan di sebuah bazar barang bekas. Dan saat kita ingin membuangnya, surat-surat ini hadir. Itu hanya lemari tua, beib.” Aku tersenyum kecil ketika aku mulai tergoda memanggilmu beib. Kamu tampak senang. Aku pun seperti salah tingkah menghadapi senyum dan geseran tubuhmu mendekatiku.Aku pernah menangis

Kamu menatapku dengan senyum. Sebuah pengakuan yang sangat jarang keluar dari bibirmu. Aku kaget tapi pura-pura tidak. Aku raba pipimu.

Ingat ketika aku memberimu puisi?”

Aku mengangguk. Itu puisi yang indah.

itu sebagian lirik Fields of Gold, lagunya Sting. Maaf aku tak memberi tahumu. Willyou stay with me, will you be my love?

Kamu menyanyi! Ah, kali ini aku tak menyembunyikan kekagetanku. Dan kamu masih terus menyanyi.

Among the fields of barley, We'll forget the sun in his jealous sky, As we lie in the fields of gold.

Aku ingin kamu menyanyi terus tapi kamu berhenti.

Surat-surat ini seperti kita beib

Beib! Kamu memanggilku beib. Hari ini kamu penuh kejutan.

Kamu sakit. Kita berpisah. Kamu selalu minta padaku untuk melupakanmu. Kemudian dengan ajaib kamu sembuh. Kita bersama.”

Aku diam. Kamu diam namun menatapku lembut.

Kenangan adalah serupa angin, yang tak pernah mampu kau rengkuh setelah ia berlalu. Serupa pasir yang akan lolos keluar dari sela-sela jemari tanganmu. Tidak ada kebahagiaan yang abadi. Memang. Sama seperti, seharusnya, tidak ada kepedihan yang kamu biarkan abadi.”

Perlahan aku bicara. Dan perlahan kamu memegang tanganku kemudian erat.

Iya, kamu mengatakan itu. Persis seperti surat ini. Surat perempuan ini. Terlalu banyak kebetulan dalam surat ini.”

Aku terdiam. Merangkai-rangkai apa yang ada. Ya, akhirnya aku harus menyetujuinya. Terlalu banyak kebetulan. Surat-surat ini seperti kita.

"Kamu percaya reinkarnasi?",

Aku tak mengangguk tak menggeleng tapi lirih berbisik,

"I love u beib"

Aku segera menghambur ke pelukanmu.

Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Penulis: Kimi Raikko + Deasy Maria + G + Winda Krisnadefa + Dimas Nur + Dina Sulistyaningtyas + Meddy Danial (N0.50)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun