“Kita masih dikandungan.”
“Satu surat dari si perempuan seperti seolah dia sudah meninggal. dan surat dari si laki-laki juga mengisyaratkan demikian”
Kamu menunjukan kalimat “betapa telah jauh aku kau tinggalkan, kini aku a very old man. sementara kau tetap saja bidadari di surga. ingin kugali lagi kuburmu menjelang senja menerawang”.
“dan surat dari si perempuan seperti jawaban. Tak mungkin orang mati menulis surat jawaban. Kecuali jika .. “
“Jika apa?”
“Si Perempuan sudah tahu dia akan mati. Sakit barangkali?”
Aku memejamkan mata. Ada sesuatu yang aku tidak tahu. Ada perasaan-perasaan yang .. aku tidak tahu. Rasanya aku kenal. Dan rasanya kamu pun merasakan hal yang sama.
***
Tak ada yang salah dengan sesuatu yang berdiam di tubuhku. Entah kenapa orang di sekitarku menyebutnya dengan kata “penyakit”. Seakan rasa kasihan memang dianugerahkan khusus bagi seseorang saat melihat manusia lainnya tak lebih sehat dari dirinya. Seperti kamu beib, rasa iba yang kau pikul itu membuatmu lebih menderita, lebih dari aku yang mengalaminya.
Ah beib, kita memang diciptakan sejiwa. Rambutku yang perlahan rontok, tetapi mukamu yang terlihat lebih kuyu. Kamu harus belajar dariku, beib. Mencoba berteman, berdamai dengan sakit itu, adalah suguhan teh hangat untukmu di pagi hari, adalah pelukan dan ciuman hangat yang menemanimu setiap malam. Kumohon beib, kuatlah…
Saat ini, di tempat tidur dengan berbagai peralatan penyokong hidupku, kamu masih menggenggam erat jemariku. Membisikkan kata agar aku bertahan, selalu menemanimu. Seandainya mulutku mampu berucap, akan kujawab bahwa kita pasti akan bertemu. Ingin rasanya memohon padamu agar kau baca surat yang selalu kutulis untukmu. Surat yang kusimpan di dompet kulit dalam lemari kayu di kamar kita. Tetapi, hingga ujung tarikan nafasku, ternyata aku cuma mampu tersenyum. Senyum terindah seorang bidadari, kata mereka yang mengiringi pemakamanku.