“Ini juga catatan orang tua, seperti kita dan ..”
Kamu pun memotong,
“Jika kau tidak tahu, aku juga tidak tahu. Mungkin kau bisa bertanya pada pohon waru tua itu. Yang daunnya cinta tapi selalu berlobang karena hama”
Kamu mulai meninggikan suaramu dengan membawa-bawa pohon waru. Pohon yang aku tanam entah berapa puluh tahun lalu. Catatan ini sudah mulai meneror kebersamaan kita di rumah tua ini. 53 tahun berada di tempat ini, baru pagi ini kita mendapati ketegangan. Catatan ini kita temukan teronggok di lemari tua yang ingin kita bersihkan. Aku tepatnya yang menemukan. Semula ada kecurigaan karena lemari tua ini dulunya kamu yang menginginkan. Ah, kamu, laki-lakiku sudah tampak jengah.
“Orang mati tak mungkin menulis ini”
Kamu diam. Terasa ada yang kau simpan. Aku masih berkeras memegang kertas-kertas lemah yang mudah patah ini. Dan kamu masih berkeras tak mengerti.
***
Hujan akhir tahun terus mengguyur. Aku sempat menatapnya getir dari balik jendela. Butirannya terus meluruh ke bumi, tak terputuskan. Tiba-tiba, aku seperti diingatkan akan sesuatu. Tentang hujan, dan beib, itu tentangmu, tentang kita. Tapi aku tak jelas. Kaki tuaku tergopoh, menyeretku masuk ke dalam, menemukanmu di kursi goyang kesukaanmu dengan dahi masih berkerut.
Rasaku, kamu seperti menyimpan sesuatu dalam ingatanmu. Tapi, aku yakin kau tidak menemukannya. Sampai harus kau jembreng lebar-lebar memori dalam tiap lipatan otakmu. Pun juga aku. Sesungguhnya, tidak ada satu ingatan yang pernah tersangkut, bahkan tergeletak sempurna di bilik otakku. Yang ada hanya kilatan pernik aku-seperti-pernah-mengalaminya. Ini kualami sampai pada satu kesadaran, kita pernah bersama namun seakan terpisah. Seperti keberadan hujan yang selalu datang di musimnya. Walau sempat tiada karena kemarau meraja.
“Beib!”
Kamu menatapku heran.