Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (12)

16 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 16 Maret 2022   22:02 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sekian lama Pepen termenung. Kata-kata Kusnadi banyak benarnya. Tetapi di samping itu, dia juga merasa tidak terlalu bersalah. Tetapi bagaimana?

Ada yang lebih menjadi pikiran, yaitu soal ajakan Kusnadi tadi. Meskipun hatinya masih maju-mundur, tetapi perlu dipikirkan lebih bijak.

Kata Kusnadi, Mira bicaranya sungguh-sungguh. Tetapi sebenarnya, dia tidak menganggap bercanda. Hanya masalahnya yang mana harus dianggap lebih penting. Atau, mungkin bukan penting bahasanya, tetapi lebih pantas.

Tadi dia menerima surat, katanya training di HAL diundur. Tidak tahu apa alasannya, kan hanya disebut "karena sesuatu hal" saja. Tetapi untuk dirinya tidak menjadi pikiran mau kapanpun.

Dari Zulkarnaen juga kemarin-kemarin menerima surat. Isinya memberi tahu soal pesangon itu. Sudah ada katanya. Malahan Zulkarnaen menyuruh Pepen maupun yang lainnya agar datang saja ke rumahnya. Tetapi Kusnadi maupun Pepen sudah sepakat, soal itu mau diserahkan ke Mira saja.

Diberi tugas begitu Mira balik bertanya, "Mau dipakai apa?"

"Gimana Mira aja." jawab Pepen.

"Iya." Kusnadi mendukung.

"Sekalian buat Mira aja uangnya?" kata Mira.

Saat itu, setelah Mira pergi, Kusnadi bicara. Tentang keinginan Mira kepada Pepen.

"Menurut Engkus gimana?" tanya Pepen setelah Kusnadi selesai bicara.

"Aku kan bukan yang mengalaminya. Jadi agak susah kalau mau ikut bicara. Meskipun alasan dua-duanya bisa dimengerti."

"Iya, kalau seperti itu kasihan juga."

"Kita-kita harus sudah memberi kepastian sekarang-sekarang."

Pepen mengangguk.

"Termasuk Engkus mungkin yang harus begitu."

"Iya, meskipun soalnya berbeda."

"Lia gimana?" kata Pepen sambil ingin tertawa.

Kusnadi ikut tertawa.

"Kemarin lusa ke sini. Malah beresin segala macam."

"Jangan-jangan Engkus juga termasuk yang diberesin."

Kusnadi tertawa lebih keras.

"Kalau seumur dia itu termasuk masih anak-anak atau nggak?"

Pepen tertawa terbahak.

"Kalau lihat cewek, Kus." kata Pepen sambil masih tertawa-tawa. "Jangan dilihat umurnya atau dilihat bulu mayangnya, tapi diperiksa di sebelah sininya." sambil menunjuk ke arah dada.

"Itu dia..."

"Hah?... sudah ketemu tanda-tandanya?"

"Gimana atuh Pen, buktinya kita kan laki-laki."

Pepen tertawa-tawa.

"Ternyata, Si Boss baru tahu sekarang? Dulu-dulu ngapain aja?"

Wajah Kusnadi agak memerah.

"Apa lagi niatnya Pen, mau menginap di sini?"

"Tapi sama Engkus dilarang ya?"

"Iya."

"Dasar manusia bodoh! Disuruh  pulang ya?"

"Pulangnya aku antar."

"Tapi sesudah dini hari?"

"Nggak." Kusnadi menggeleng sambil menyeringai. "Jam sepuluh juga sudah ada di rumahnya lagi."

Pepen termenung.

"Sambil dinasihatin ya sama Engkus, kalau mau menginap lagi harus ngasih tahu sebelumnya."

"Memangnya Pepen."

"Beneran kayaknya Kus." kata Pepen serius.

"Apa?"

"Itu Lia, beneran tergila-gila sama Engkus. Kalau Engkus susah mau bicaranya, kita minta tolong ke Mira saja. Biar menemui orang tuanya."

Kusnadi termenung agak lama.

"Itu dia, Pen." ujarnya. "Lia teh sudah nggak punya Ibu Bapak."

"Gitu? Bukannya dia adiknya Kang Zul?"

"Adik sepupu. Saudara cuma sudah agak jauh. Awalnya katanya Lia dirawat sama Kang Zul sama Teh Iceu sebab butuh tenaganya. Disuruh bantu-bantu. Disekolahin, ternyata maju kan anaknya cerdas."

Pepen lama memandang wajah Kusnadi.

"Kirain teh adik kandungnya." ujarnya pelan.

"Waktu itu Kang Zul sama Teh Iceu bertengkar agak hebat. Sampai Lia jadi malu. Mungkin merasa. Makanya dia mau ikut menginap di sini juga."

"Sejak saat itu Kus sudah ketemu lagi?"

"Kenapa gitu?"

"Takut anak itu bepergian nggak menentu."

"Pernah berpapasan sewaktu dia pulang sekolah. Tapi dia malah tersipu."

Pepen tertawa.

"Temui dia Kus, ke rumahnya. Supaya dia nggak terlalu murung. Lagi sekolah juga."

Merasa sangat memerlukan, esoknya Pepen menemui Mira. Siang-siang. Menurut perhitungannya, Mira pasti sudah pulang. Tetapi ternyata belum ada. Setelah menitip pesan ke Si Bibi, dia pergi jalan-jalan sambil melihat-lihat etalase. Malah dia memasuki beberapa toko. Melihat-lihat ikat pinggang dompet. Malah waktu melihat tas kecil untuk perempuan timbul keinginan membelinya untuk Mira. Tetapi tidak jadi.

Agak lama berkelilingnya. Sewaktu kembali ke rumah Mira, dia sudah ada. Malah sedang makan. Pepen pun ikut makan.

"Si Bibi bilang ada Pepen ke sini dari tadi." kata Mira. "Dari mana dulu Pen?"

"Dari situ. Lihat-lihat etalase."

"Belanja apa?"

"Itu dia, ada yang diminati,... tapi kan pesangonnya belum diterima."

Mira tertawa kecil. Pepen menatapnya. Sepertinya Mira baru saja mandi. Rambutnya halus, disisir ke belakang. Wajahnya hanya diberi bedak sekadarnya saja. Malah tidak mengolesi bibirnya dengan apapun.

Waktu Mira minum, dia melirik ke Pepen. Dua-duanya malah termenung. Waktu menyimpan gelasnya lagi, Mira sangat hati-hati

"Gimana Pen? Kapan mulai trainingnya?"

"Itu dia, makanya ke sini juga. Tapi nanti saja dulu nyeritain soal itu mah. Tanggung lagi ngunyah. Sekarang nyeritain yang lain saja dulu."

Mira agak ingin tertawa.

"Soal apa?"

"Banyak." kata Pepen sambil menyantap tempe goreng. "Kita bahas yang pentingnya saja. Pertama, soal pesangon..."

"Uuuh, pesangon segitu aja terus diingat-ingat. Mau beli apa gitu Pen?"

"Mau beli tas."

"Beli tas?"

Sementara Mira masih melongo, Pepen berbisik ke telinga Mira :

"Ada tas, sangat elegan kalau Mira yang pakai..."

Mira tertunduk. Sendok yang sudah tinggal disuapkan ditaruh lagi di piring. Beberapa menit dia terus tertunduk sambil mengaduk-ngaduk nasi lagi di piring memakai sendok.

"Pepen sudah pasti mau berangkat?" tanya Mira masih sambil tertunduk.

Pepen termenung.

"Sekarang terusin dulu makannya."ujarnya.

"Nanti kalau perut sudah kenyang, kita terusin ceritanya. Mira juga pasti akan senang mendegarnya!"

Wajah Mira menghadap. Dia mengerti Pepen bicaranya sudah halus, pasti suasana hatinya sedang nyaman.

Akhirnya keputusan Pepen dicetuskan di teras belakang. Di bawah pohon jambu biji. Di situ ada bangku bambu lenjeran. Tidak memakai sandaran. Sehingga setelah Pepen mencetuskan keputusan yang sangat Mira harapkan, Mira begitu erat. Ya memeluk ya merangkul, sebab takut kelepasan terhempas.

Dari situ, keduanya terus berangkat. Di becak, sambil memegang tangan Mira, Pepen merasa diingatkan.

"Kan masih ada satu cerita lagi buat Mira."

"Apa?" tanya Mira pelan sekali.

"Soal Kus sama Lia."

Mira mengangguk sambil menyeringai.

"Coba dari dulu ya Kus nya." katanya.

"Ini sampai harus nungguin PUBLIK nggak terbit dulu."

Pepen tertawa agak keras.

(Judul Asli : Mikung, Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama 1983. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata).

Abdullah Mustappa lahir di Sangojar, Limbangan Garut 18 November 1945. Pernah bekerja di pabrik karet Pikan dan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebentar, Wakil Pempimpin Redaksi Mangle. Sebelumnya pernah menjafi redaktur Fusi, koresponden Mimbar dan Tempo. Buku-bukunya yang terbit di antaranya Lembur Singkur, Nu Teu Kungsi Kalisankeun, Si Mata Heulang, Hang Tuah, dan Mikung. Menggemari aerobik dan badminton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun