Mohon tunggu...
khoirulramaditya
khoirulramaditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Otoritarianisme vs Demokrasi : Siapa yang Memimpin Menuju Masa Depan Lebih Cerah?

30 November 2024   16:22 Diperbarui: 30 November 2024   16:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Artikel ini membahas perbandingan antara dua sistem pemerintahan, yaitu otoritarianisme dan 

demokrasi, yang memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola negara. Otoritarianisme dikenal 

dengan pengambilan keputusan yang cepat dan terpusat, sedangkan demokrasi menonjolkan 

partisipasi publik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penelitian dilakukan 

menggunakan metode studi pustaka untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan masing-masing 

sistem, serta dampaknya terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sosial. Kesimpulan 

menunjukkan bahwa meskipun kedua sistem memiliki kekuatan dan kelemahan, perpaduan nilainilai terbaik dari keduanya dapat menciptakan pemerintahan yang efektif dan berorientasi pada 

kebutuhan masyarakat.

Kata Kunci: Otoritarianisme, Demokrasi, Stabilitas, Kebebasan, Partisipasi Masyarakat

Abstrac

This article discusses a comparison between two systems of government, namely authoritarianism 

and democracy, which have different approaches to managing the country. Authoritarianism is 

known for its quick and centralized decision-making, while democracy emphasizes public 

participation and respect for human rights. The research was conducted using the literature study 

method to analyze the advantages and disadvantages of each system, as well as their impact on 

political, economic, and social stability. The conclusion shows that while both systems have 

strengths and weaknesses, the blend of the best values of the two can create an effective 

government that is oriented to the needs of society.

Keyword: Authoritarianism, Democracy, Stability, Freedom, Community Participation

3

Pendahuluan

Sepanjang sejarah manusia, sistem pemerintahan terus berkembang mengikuti perubahan 

masyarakat. Sistem pemerintahan bukan hanya alat untuk mengatur negara, tetapi juga 

mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat yang menjalankannya. Dua sistem yang 

paling terkenal dan sering dibandingkan adalah demokrasi dan otoritarianisme. Kedua sistem ini 

memiliki cara kerja, kelebihan, dan kekurangannya masing-masing, yang membawa dampak besar 

bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara.

Sistem otoriter memusatkan kekuasaan pada segelintir orang atau kelompok tertentu. 

Menurut Dr. Drs. Ismail Nurdin dalam bukunya Etika Pemerintahan, sistem otoriter adalah sistem 

di mana kendali penuh berada di tangan pemimpin atau kelompok yang memiliki otoritas tertinggi. 

Sistem ini sering dianggap efektif dalam situasi tertentu, seperti menangani krisis atau 

menjalankan proyek besar tanpa gangguan. Namun, sistem otoriter juga memiliki kelemahan, 

seperti pembatasan kebebasan rakyat, kurangnya transparansi, dan potensi penyalahgunaan 

kekuasaan.

Berbeda dengan otoriter, demokrasi sering disebut sebagai simbol kebebasan dan 

penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sistem ini memberikan ruang bagi rakyat untuk terlibat 

dalam pengambilan keputusan, sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk menyuarakan 

pendapat dan menentukan masa depan negaranya. Demokrasi berakar dari Yunani Kuno, 

khususnya di Athena, di mana kata "demos" yang berarti rakyat, dan "kratos" yang berarti 

kekuasaan, menggambarkan sistem ini. Prinsip-prinsip demokrasi juga diperkuat oleh tokoh-tokoh 

seperti John Dewey dan Abraham Lincoln, yang memandang demokrasi sebagai dasar kehidupan 

bernegara hingga sekarang (Rohman, 2019).

Kebebasan adalah inti dari demokrasi. Dalam sistem ini, rakyat memiliki hak untuk 

menentukan aturan, memilih wakil mereka dalam pemerintahan, dan menyampaikan pendapat 

tanpa rasa takut. Pemilu menjadi cara rakyat untuk memilih pemimpin dan memastikan bahwa

pemerintah bertanggung jawab kepada mereka. Proses ini juga mendorong persaingan politik yang 

sehat dan menciptakan keseimbangan kekuasaan.

4

Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang kedua sistem tersebut, menjelaskan 

perbedaan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing, serta pengaruhnya terhadap kehidupan 

masyarakat. Selain itu, artikel ini juga akan melihat bagaimana kedua sistem ini berperan dalam 

menjaga stabilitas politik, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan 

sosial di berbagai negara di dunia.

Metode Penelitian

Metode penelitian dalam artikel "Otoritarianisme vs. Demokrasi: Siapa yang Memimpin 

Menuju Masa Depan Lebih Cerah?" menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi 

pustaka. Data diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku, jurnal, laporan internasional, dan studi 

kasus negara-negara dengan sistem otoriter, serta negara demokratis. Analisis dilakukan secara 

deskriptif dan komparatif untuk mengeksplorasi perbedaan, kelebihan, dan kekurangan kedua 

sistem pemerintahan. Validasi data dilakukan melalui triangulasi sumber untuk memastikan 

keakuratan dan menghindari bias. Penelitian ini bertujuan memberikan wawasan tentang 

bagaimana kedua sistem berkontribusi pada masa depan masyarakat secara global.

Pembahasan

Otoriter

Gaya kepemimpinan otoriter telah muncul sejak awal peradaban manusia, dimulai dari 

raja-raja seperti Fir'aun di Mesir Kuno, yang memegang kekuasaan mutlak dan menganggap 

dirinya sebagai Tuhan. Begitu pula dengan kekaisaran Romawi di bawah kepemimpinan Julius 

Caesar dan Agustus, yang memiliki otoritas yang sangat besar dan terpusat. Di China, dinastidinasti kuno menerapkan konsep "Mandate of Heaven," yakni keyakinan bahwa kekuasaan untuk 

memerintah diberikan langsung oleh Tuhan. Pada abad pertengahan, praktik kepemimpinan 

otoriter diteruskan oleh para raja dan ratu di Eropa serta oleh pemimpin agama yang memegang 

kewenangan politik dan spiritual sekaligus, seperti di negara-negara teokratis.

Kepemimpinan otoriter ini, meskipun bervariasi bentuk dan aplikasinya, sering kali 

melibatkan konsentrasi kekuasaan pada individu atau kelompok kecil dan pembatasan terhadap 

kebebasan politik serta hak asasi manusia. Kepemimpinan otoriter biasanya tidak muncul begitu 

5

saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendasarinya. Beberapa faktor yang sering 

melatarbelakangi munculnya kepemimpinan otoriter antara lain:

a. Adanya ketidakstabilan politik, seperti krisis, perang, atau tekanan ekonomi yang memaksa 

pemimpin untuk menggunakan kekuasaan penuh demi mengatasi situasi tersebut.

b. Ketidakhadiran atau kelemahan lembaga-lembaga demokratis, seperti legislatif, yang 

seharusnya dapat mengontrol kekuasaan, sehingga menyebabkan terjadinya kevakuman 

kekuasaan dan memberi ruang bagi pemimpin untuk mengambil alih secara otoriter.

c. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang menyebabkan kelompok-kelompok yang 

terpinggirkan merasa tidak puas, yang akhirnya mendorong munculnya gerakan-gerakan 

otoriter yang berusaha memperjuangkan keadilan dengan cara-cara yang keras.

d. Pemimpin yang memiliki kharisma tinggi, dengan kemampuan berbicara dan berretorika 

yang sangat kuat, dapat memanipulasi opini publik dan mendapatkan dukungan dari rakyat 

untuk memperkuat kedudukannya, bahkan dalam kondisi otoriter.

Pemerintahan otoriter, seperti di Korea Utara pada masa kepemimpinan Kim Jong-un, tidak 

memberikan ruang bagi pihak mana pun untuk menentang kekuasaan pemerintah. Salah satu 

tindakan otoriter Kim Jong-un adalah pengendalian informasi di Korea Utara jauh lebih ketat 

dibandingkan dengan yang terjadi pada era Soviet atau komunisme di Eropa Timur. Di wilayah 

tersebut, meskipun terbatas, penduduk masih dapat mengakses sedikit informasi tentang dunia 

luar. Ini menunjukkan tingkat kontrol yang sangat tinggi, yang mengingatkan pada kebijakankebijakan yang diterapkan pada masa Perang Dingin.

Warga di Korea Utara diizinkan memiliki televisi dan radio, tetapi hanya bisa menerima 

siaran dari dalam negeri. Kekurangan listrik di seluruh negara juga membatasi penggunaan alat 

komunikasi ini. Karena akses yang terbatas, pemerintah dapat mengendalikan semua informasi 

yang beredar dan tidak memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi dari sumber lain. 

Meskipun orang di Korea Utara bisa menonton televisi, alat ini tetap langka dan tidak ada data 

yang jelas mengenai berapa banyak rumah yang memilikinya.

Korean Central Television (KCTV) menayangkan berita dan program televisi lainnya 

setiap malam sepanjang minggu. Pada akhir pekan, saluran ini menampilkan acara hiburan. Siaran 

6

televisi lebih fokus pada sosok pemimpin dan aktivitasnya, dengan pujian yang terus disampaikan 

di seluruh negeri. Selain itu, program ini sering digunakan untuk mengkritik tindakan Korea 

Selatan, AS, Jepang, dan kadang-kadang mengingatkan warga tentang musuh-musuh mereka serta 

bahaya dari dunia luar.

Di Korea Utara, siaran radio dikendalikan pemerintah, yang hanya memperbolehkan siaran 

resmi. Mendengarkan stasiun radio asing dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukum. Semua 

media cetak, termasuk Rodong Sinmun, digunakan untuk mendukung pemimpin dan menyebarkan 

ideologi negara. Beberapa publikasi lain diterbitkan, namun isinya serupa. Intranet internal yang 

terbatas, Kwangmyong, hanya dapat diakses oleh beberapa kantor, sementara ponsel sangat umum 

digunakan, meski dilarang untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Penggunaan ponsel ilegal bisa 

berujung pada penangkapan atau eksekusi.

Melalui uraian di atas maka dapat difahami bahwa kepemimpinan di Korea Utara di bawah 

Kim Jong-Un yang dijalankan secara otoriter ternyata memiliki maksut dan tujuan yang secara 

eksplisit ditujukan untuk memenuhi pencapaian kepentingan dalam aspek internal (domestic) 

ataupun kepentingan dalam konteks eksternal (luar negeri).

Melalui uraian di atas maka dapat difahami bahwa kepemimpinan di Korea Utara di bawah Kim 

Jong-Un yang dijalankan secara otoriter ternyata memiliki maksut dan tujuan yang secara eksplisit 

ditujukan untuk memenuhi pencapaian kepentingan dalam aspek internal (domestic) ataupun 

kepentingan dalam konteks eksternal (luar negeri).

Demokrasi 

Prinsip-prinsip demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi, di mana 

orang Yunani Kuno melakukan debat dan pemungutan suara untuk memutuskan masalah penting. 

Sebelum menjadi kerajaan, Romawi juga memiliki sistem pemungutan suara dan perwakilan 

rakyat yang dikenal dengan senat. Pada abad modern, pemikiran tentang hak individu dan kontrak 

sosial sebagai dasar pemerintahan demokrasi berkembang melalui tokoh seperti John Locke dan 

Jean-Jacques Rousseau. Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis juga memperkuat nilai-nilai 

demokrasi, menekankan pentingnya pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat yang setara. Di 

abad ke-20, demokrasi semakin diperkuat, sementara pemerintahan otoriter semakin berkurang 

7

setelah berakhirnya Perang Dingin. Namun, tantangan terhadap demokrasi muncul dengan 

kembalinya rejim otoriter, kerusuhan, dan ketidakstabilan ekonomi. Konsep demokrasi pun terus 

berkembang, memicu perdebatan tentang partisipasi, keterwakilan, dan akuntabilitas dalam 

kepemimpinan.

Pemimpin demokratis dalam organisasi memiliki beberapa karakteristik penting : 

* Pertama, mereka mendorong partisipasi luas dengan melibatkan semua pihak dalam 

pengambilan keputusan, menghargai perbedaan dan mendengarkan berbagai sudut 

pandang. Kepemimpinan ini juga menekankan keterbukaan dan komunikasi yang jujur 

untuk memastikan setiap suara dihargai. 

* Kedua, pemimpin demokratis memperlakukan semua orang dengan adil dan hormat tanpa 

membedakan latar belakang atau posisi, mencegah diskriminasi, dan memberikan 

kesempatan yang setara kepada setiap individu. 

* Ketiga, mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka dan transparan dalam proses 

pengambilan keputusan serta pengawasan, memastikan penegakan hukum yang adil. 

* Keempat, pemimpin demokratis menghormati hak individu, termasuk kebebasan 

berbicara, berkumpul, dan beragama, serta membatasi kekuasaan untuk melindungi 

kebebasan ini. 

* Kelima, mereka memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau 

kelompok, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikan 

pelayanan publik yang baik, serta mencegah praktik korupsi dengan menerapkan standar 

etika yang tinggi.

Amerika Serikat menjadi salah satu negara republik yang memainkan peran penting dalam 

penerapan dan penyebaran demokrasi perwakilan. Mengutip Britannica, Amerika Serikat telah 

menganut sistem demokrasi perwakilan sejak ditandatanganinya Undang-Undang Dasar

(Konstitusi) baru pada tahun 1787, yang kemudian diratifikasi pada 1788. Prasyarat negara 

demokrasi adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pemilu diselenggarakan untuk 

mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Konstitusi Amerika mengatur dasar negara yang berlandaskan sistem Demokrasi, yang 

memberikan kebebasan kepada rakyat dan semua elemen untuk terlibat dalam proses 

8

pemerintahan. Meskipun demikian, praktik Demokrasi di Amerika memiliki perbedaan mendasar 

dalam implementasinya. Oleh karena itu, Demokrasi di Amerika mengacu pada enam prinsip 

utama, yaitu: 1) semua warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, 2) hak politik bagi 

minoritas harus dilindungi, 3) masyarakat harus menyetujui sistem hukum yang ada, 4) kebebasan 

untuk berpendapat dan berekspresi tidak dibatasi, 5) setiap orang sama kedudukannya di hadapan 

hukum, dan 6) pemerintah hanya berfungsi untuk melayani masyarakat, karena pemerintah berasal 

dari rakyat. Prinsip-prinsip ini sangat mempengaruhi kinerja tiga lembaga utama di negara 

tersebut, yang akan dijelaskan lebih lanjut.

De Tocqueville dalam bukunya Democracy in America (1835) melihat bahwa telah tumbuh 

suatu kesamarataan dan kebebasan di antara rakyat AS serta sebuah pemerintahan mayoritas. 

Rakyat dalam dunia politik di AS memerintah sama dengan Tuhan memerintah alam semesta, 

sebuah penggambaran yang memperlihatkan bahwa setiap rakyat AS memiliki hak yang sama 

dalam sistem politik dan pemerintahan (de Toqueville, 1961 : 3).

Pemilihan presiden di Amerika Serikat menggunakan sistem unik bernama Electoral 

College atau kolese elektoral, yang berbeda dari kebanyakan negara, termasuk Indonesia. Dalam 

sistem ini, pemenang tidak selalu kandidat yang memperoleh suara terbanyak secara nasional 

(popular vote), melainkan ditentukan oleh jumlah suara elektoral yang diraih. Setiap negara bagian 

memiliki jumlah suara elektoral tertentu yang ditentukan berdasarkan populasi dan jumlah 

perwakilan mereka di Kongres (DPR dan Senat), dengan total 538 suara elektoral secara nasional. 

Untuk memenangkan pemilu, seorang kandidat harus mendapatkan minimal 270 suara elektoral. 

Sebagian besar negara bagian menggunakan sistem winner-takes-all, di mana kandidat yang 

meraih suara terbanyak di suatu negara bagian akan mendapatkan seluruh suara elektoral negara 

bagian tersebut, tanpa memperhitungkan selisih suara. 

Contohnya, pada pemilu 2016, Donald Trump menjadi presiden meskipun Hillary Clinton 

mendapatkan sekitar 2,9 juta suara lebih banyak secara nasional. Trump meraih 304 suara 

elektoral, sementara Clinton hanya memperoleh 227, karena Trump menang di banyak negara 

bagian kunci seperti Florida dan Texas, meskipun Clinton unggul besar di negara bagian padat 

penduduk seperti California. Sistem ini memungkinkan hasil pemilu tidak mencerminkan suara 

nasional terbanyak karena pengaruh sistem winner-takes-all, distribusi suara yang tidak merata, 

serta fokus kampanye kandidat pada negara bagian swing yang menentukan. Meskipun dirancang 

9

untuk memberikan pengaruh pada semua negara bagian, sistem ini telah memunculkan hasil di 

mana kandidat yang kalah dalam suara nasional tetap menjadi presiden, seperti pada pemilu tahun 

2000 dan 2016.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Otoriter 

Kelebihan

* Stabilitas Politik: Pemerintahan otoriter cenderung lebih stabil karena keputusan dapat 

diambil dengan cepat tanpa perlu melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak. 

Hal ini dapat mengurangi konflik politik dan menjaga ketertiban sosial.

* Pengambilan Keputusan Efektif: Dengan kekuasaan terpusat, pemimpin dapat merespons 

kebutuhan masyarakat secara cepat dan efektif, terutama dalam situasi darurat.

* Fokus pada Pembangunan Ekonomi: Banyak rezim otoriter menekankan pembangunan 

ekonomi dan sosial, yang dapat menghasilkan pertumbuhan yang signifikan dalam waktu 

singkat.

Kekurangan

* Pembatasan Kebebasan Individu: Dalam sistem otoriter, kebebasan berpendapat, pers, dan 

berkumpul sering kali dibatasi. Kritik terhadap pemerintah dapat ditindak tegas, sehingga 

mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses politik.

* Konsentrasi Kekuasaan: Otoritarianisme sering kali menghasilkan konsentrasi kekuasaan 

yang tinggi pada satu individu atau kelompok kecil, yang dapat menyebabkan 

penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

* Kurangnya Akuntabilitas: Pemerintahan otoriter biasanya tidak memiliki mekanisme 

pengawasan yang memadai, sehingga tindakan pemerintah tidak dapat 

dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Demokratis

Kelebihan

* Hak Asasi Manusia (HAM): Sistem demokratis menghormati dan melindungi hak asasi 

setiap individu, memberikan kebebasan untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam 

pemerintahan.

10

* Keterlibatan Publik: Rakyat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan 

keputusan melalui pemilihan umum dan partisipasi politik lainnya.

* Pemerintahan yang Akuntabel: Dalam sistem demokratis, pemerintah bertanggung jawab 

kepada rakyat dan harus menjelaskan kebijakan serta keputusan mereka.

Kekurangan

* Proses Pengambilan Keputusan yang Lambat: Proses demokrasi sering kali melibatkan 

banyak pihak dan kompromi, yang dapat memperlambat pengambilan keputusan penting.

* Risiko Diktator Mayoritas: Dalam beberapa kasus, mayoritas dapat mengabaikan hak-hak 

minoritas, menciptakan ketidakadilan sosial.

* Politik Kepentingan: Politisi kadang-kadang lebih fokus pada kepentingan pribadi atau 

kelompok daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan, yang dapat mengarah pada 

korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan

Kesimpulan

Otoritarianisme dan demokrasi adalah dua sistem pemerintahan dengan pendekatan yang 

berbeda dalam mengelola negara dan masyarakat. Masing-masing memiliki keunggulan dan 

kekurangannya. Sistem otoriter cenderung lebih cepat dalam pengambilan keputusan dan menjaga 

stabilitas politik, terutama dalam situasi darurat atau ketika fokus pada pembangunan ekonomi. 

Namun, konsentrasi kekuasaan dan pembatasan kebebasan sering kali menjadi penghambat 

partisipasi rakyat serta risiko penyalahgunaan wewenang.

Di sisi lain, demokrasi menawarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, 

transparansi, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan. Meskipun proses pengambilan 

keputusan lebih lambat dan berisiko terjadi tirani mayoritas atau politik kepentingan, demokrasi 

memiliki keunggulan dalam menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan inklusif.

Masa depan yang lebih cerah ditentukan oleh kemampuan setiap sistem untuk 

menyeimbangkan stabilitas, kebebasan, dan kesejahteraan rakyat. Dalam praktiknya, perpaduan 

elemen-elemen terbaik dari keduanya dapat menjadi kunci untuk membangun pemerintahan yang 

efektif dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun