Abstrak
Artikel ini membahas perbandingan antara dua sistem pemerintahan, yaitu otoritarianisme danÂ
demokrasi, yang memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola negara. Otoritarianisme dikenalÂ
dengan pengambilan keputusan yang cepat dan terpusat, sedangkan demokrasi menonjolkanÂ
partisipasi publik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penelitian dilakukanÂ
menggunakan metode studi pustaka untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan masing-masingÂ
sistem, serta dampaknya terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sosial. KesimpulanÂ
menunjukkan bahwa meskipun kedua sistem memiliki kekuatan dan kelemahan, perpaduan nilainilai terbaik dari keduanya dapat menciptakan pemerintahan yang efektif dan berorientasi padaÂ
kebutuhan masyarakat.
Kata Kunci: Otoritarianisme, Demokrasi, Stabilitas, Kebebasan, Partisipasi Masyarakat
Abstrac
This article discusses a comparison between two systems of government, namely authoritarianismÂ
and democracy, which have different approaches to managing the country. Authoritarianism isÂ
known for its quick and centralized decision-making, while democracy emphasizes publicÂ
participation and respect for human rights. The research was conducted using the literature studyÂ
method to analyze the advantages and disadvantages of each system, as well as their impact onÂ
political, economic, and social stability. The conclusion shows that while both systems haveÂ
strengths and weaknesses, the blend of the best values of the two can create an effectiveÂ
government that is oriented to the needs of society.
Keyword: Authoritarianism, Democracy, Stability, Freedom, Community Participation
3
Pendahuluan
Sepanjang sejarah manusia, sistem pemerintahan terus berkembang mengikuti perubahanÂ
masyarakat. Sistem pemerintahan bukan hanya alat untuk mengatur negara, tetapi jugaÂ
mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat yang menjalankannya. Dua sistem yangÂ
paling terkenal dan sering dibandingkan adalah demokrasi dan otoritarianisme. Kedua sistem iniÂ
memiliki cara kerja, kelebihan, dan kekurangannya masing-masing, yang membawa dampak besarÂ
bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara.
Sistem otoriter memusatkan kekuasaan pada segelintir orang atau kelompok tertentu.Â
Menurut Dr. Drs. Ismail Nurdin dalam bukunya Etika Pemerintahan, sistem otoriter adalah sistemÂ
di mana kendali penuh berada di tangan pemimpin atau kelompok yang memiliki otoritas tertinggi.Â
Sistem ini sering dianggap efektif dalam situasi tertentu, seperti menangani krisis atauÂ
menjalankan proyek besar tanpa gangguan. Namun, sistem otoriter juga memiliki kelemahan,Â
seperti pembatasan kebebasan rakyat, kurangnya transparansi, dan potensi penyalahgunaanÂ
kekuasaan.
Berbeda dengan otoriter, demokrasi sering disebut sebagai simbol kebebasan danÂ
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sistem ini memberikan ruang bagi rakyat untuk terlibatÂ
dalam pengambilan keputusan, sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk menyuarakanÂ
pendapat dan menentukan masa depan negaranya. Demokrasi berakar dari Yunani Kuno,Â
khususnya di Athena, di mana kata "demos" yang berarti rakyat, dan "kratos" yang berartiÂ
kekuasaan, menggambarkan sistem ini. Prinsip-prinsip demokrasi juga diperkuat oleh tokoh-tokohÂ
seperti John Dewey dan Abraham Lincoln, yang memandang demokrasi sebagai dasar kehidupanÂ
bernegara hingga sekarang (Rohman, 2019).
Kebebasan adalah inti dari demokrasi. Dalam sistem ini, rakyat memiliki hak untukÂ
menentukan aturan, memilih wakil mereka dalam pemerintahan, dan menyampaikan pendapatÂ
tanpa rasa takut. Pemilu menjadi cara rakyat untuk memilih pemimpin dan memastikan bahwa
pemerintah bertanggung jawab kepada mereka. Proses ini juga mendorong persaingan politik yangÂ
sehat dan menciptakan keseimbangan kekuasaan.
4
Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang kedua sistem tersebut, menjelaskanÂ
perbedaan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing, serta pengaruhnya terhadap kehidupanÂ
masyarakat. Selain itu, artikel ini juga akan melihat bagaimana kedua sistem ini berperan dalamÂ
menjaga stabilitas politik, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraanÂ
sosial di berbagai negara di dunia.
Metode Penelitian
Metode penelitian dalam artikel "Otoritarianisme vs. Demokrasi: Siapa yang MemimpinÂ
Menuju Masa Depan Lebih Cerah?" menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studiÂ
pustaka. Data diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku, jurnal, laporan internasional, dan studiÂ
kasus negara-negara dengan sistem otoriter, serta negara demokratis. Analisis dilakukan secaraÂ
deskriptif dan komparatif untuk mengeksplorasi perbedaan, kelebihan, dan kekurangan keduaÂ
sistem pemerintahan. Validasi data dilakukan melalui triangulasi sumber untuk memastikanÂ
keakuratan dan menghindari bias. Penelitian ini bertujuan memberikan wawasan tentangÂ
bagaimana kedua sistem berkontribusi pada masa depan masyarakat secara global.
Pembahasan
Otoriter
Gaya kepemimpinan otoriter telah muncul sejak awal peradaban manusia, dimulai dariÂ
raja-raja seperti Fir'aun di Mesir Kuno, yang memegang kekuasaan mutlak dan menganggapÂ
dirinya sebagai Tuhan. Begitu pula dengan kekaisaran Romawi di bawah kepemimpinan JuliusÂ
Caesar dan Agustus, yang memiliki otoritas yang sangat besar dan terpusat. Di China, dinastidinasti kuno menerapkan konsep "Mandate of Heaven," yakni keyakinan bahwa kekuasaan untukÂ
memerintah diberikan langsung oleh Tuhan. Pada abad pertengahan, praktik kepemimpinanÂ
otoriter diteruskan oleh para raja dan ratu di Eropa serta oleh pemimpin agama yang memegangÂ
kewenangan politik dan spiritual sekaligus, seperti di negara-negara teokratis.
Kepemimpinan otoriter ini, meskipun bervariasi bentuk dan aplikasinya, sering kaliÂ
melibatkan konsentrasi kekuasaan pada individu atau kelompok kecil dan pembatasan terhadapÂ
kebebasan politik serta hak asasi manusia. Kepemimpinan otoriter biasanya tidak muncul begituÂ
5
saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendasarinya. Beberapa faktor yang seringÂ
melatarbelakangi munculnya kepemimpinan otoriter antara lain:
a. Adanya ketidakstabilan politik, seperti krisis, perang, atau tekanan ekonomi yang memaksaÂ
pemimpin untuk menggunakan kekuasaan penuh demi mengatasi situasi tersebut.
b. Ketidakhadiran atau kelemahan lembaga-lembaga demokratis, seperti legislatif, yangÂ
seharusnya dapat mengontrol kekuasaan, sehingga menyebabkan terjadinya kevakumanÂ
kekuasaan dan memberi ruang bagi pemimpin untuk mengambil alih secara otoriter.
c. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang menyebabkan kelompok-kelompok yangÂ
terpinggirkan merasa tidak puas, yang akhirnya mendorong munculnya gerakan-gerakanÂ
otoriter yang berusaha memperjuangkan keadilan dengan cara-cara yang keras.
d. Pemimpin yang memiliki kharisma tinggi, dengan kemampuan berbicara dan berretorikaÂ
yang sangat kuat, dapat memanipulasi opini publik dan mendapatkan dukungan dari rakyatÂ
untuk memperkuat kedudukannya, bahkan dalam kondisi otoriter.
Pemerintahan otoriter, seperti di Korea Utara pada masa kepemimpinan Kim Jong-un, tidakÂ
memberikan ruang bagi pihak mana pun untuk menentang kekuasaan pemerintah. Salah satuÂ
tindakan otoriter Kim Jong-un adalah pengendalian informasi di Korea Utara jauh lebih ketatÂ
dibandingkan dengan yang terjadi pada era Soviet atau komunisme di Eropa Timur. Di wilayahÂ
tersebut, meskipun terbatas, penduduk masih dapat mengakses sedikit informasi tentang duniaÂ
luar. Ini menunjukkan tingkat kontrol yang sangat tinggi, yang mengingatkan pada kebijakankebijakan yang diterapkan pada masa Perang Dingin.
Warga di Korea Utara diizinkan memiliki televisi dan radio, tetapi hanya bisa menerimaÂ
siaran dari dalam negeri. Kekurangan listrik di seluruh negara juga membatasi penggunaan alatÂ
komunikasi ini. Karena akses yang terbatas, pemerintah dapat mengendalikan semua informasiÂ
yang beredar dan tidak memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi dari sumber lain.Â
Meskipun orang di Korea Utara bisa menonton televisi, alat ini tetap langka dan tidak ada dataÂ
yang jelas mengenai berapa banyak rumah yang memilikinya.
Korean Central Television (KCTV) menayangkan berita dan program televisi lainnyaÂ
setiap malam sepanjang minggu. Pada akhir pekan, saluran ini menampilkan acara hiburan. SiaranÂ
6
televisi lebih fokus pada sosok pemimpin dan aktivitasnya, dengan pujian yang terus disampaikanÂ
di seluruh negeri. Selain itu, program ini sering digunakan untuk mengkritik tindakan KoreaÂ
Selatan, AS, Jepang, dan kadang-kadang mengingatkan warga tentang musuh-musuh mereka sertaÂ
bahaya dari dunia luar.
Di Korea Utara, siaran radio dikendalikan pemerintah, yang hanya memperbolehkan siaranÂ
resmi. Mendengarkan stasiun radio asing dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukum. SemuaÂ
media cetak, termasuk Rodong Sinmun, digunakan untuk mendukung pemimpin dan menyebarkanÂ
ideologi negara. Beberapa publikasi lain diterbitkan, namun isinya serupa. Intranet internal yangÂ
terbatas, Kwangmyong, hanya dapat diakses oleh beberapa kantor, sementara ponsel sangat umumÂ
digunakan, meski dilarang untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Penggunaan ponsel ilegal bisaÂ
berujung pada penangkapan atau eksekusi.
Melalui uraian di atas maka dapat difahami bahwa kepemimpinan di Korea Utara di bawahÂ
Kim Jong-Un yang dijalankan secara otoriter ternyata memiliki maksut dan tujuan yang secaraÂ
eksplisit ditujukan untuk memenuhi pencapaian kepentingan dalam aspek internal (domestic)Â
ataupun kepentingan dalam konteks eksternal (luar negeri).
Melalui uraian di atas maka dapat difahami bahwa kepemimpinan di Korea Utara di bawah KimÂ
Jong-Un yang dijalankan secara otoriter ternyata memiliki maksut dan tujuan yang secara eksplisitÂ
ditujukan untuk memenuhi pencapaian kepentingan dalam aspek internal (domestic) ataupunÂ
kepentingan dalam konteks eksternal (luar negeri).
DemokrasiÂ
Prinsip-prinsip demokrasi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi, di manaÂ
orang Yunani Kuno melakukan debat dan pemungutan suara untuk memutuskan masalah penting.Â
Sebelum menjadi kerajaan, Romawi juga memiliki sistem pemungutan suara dan perwakilanÂ
rakyat yang dikenal dengan senat. Pada abad modern, pemikiran tentang hak individu dan kontrakÂ
sosial sebagai dasar pemerintahan demokrasi berkembang melalui tokoh seperti John Locke danÂ
Jean-Jacques Rousseau. Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis juga memperkuat nilai-nilaiÂ
demokrasi, menekankan pentingnya pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat yang setara. DiÂ
abad ke-20, demokrasi semakin diperkuat, sementara pemerintahan otoriter semakin berkurangÂ
7
setelah berakhirnya Perang Dingin. Namun, tantangan terhadap demokrasi muncul denganÂ
kembalinya rejim otoriter, kerusuhan, dan ketidakstabilan ekonomi. Konsep demokrasi pun terusÂ
berkembang, memicu perdebatan tentang partisipasi, keterwakilan, dan akuntabilitas dalamÂ
kepemimpinan.
Pemimpin demokratis dalam organisasi memiliki beberapa karakteristik penting :Â
* Pertama, mereka mendorong partisipasi luas dengan melibatkan semua pihak dalamÂ
pengambilan keputusan, menghargai perbedaan dan mendengarkan berbagai sudutÂ
pandang. Kepemimpinan ini juga menekankan keterbukaan dan komunikasi yang jujurÂ
untuk memastikan setiap suara dihargai.Â
* Kedua, pemimpin demokratis memperlakukan semua orang dengan adil dan hormat tanpaÂ
membedakan latar belakang atau posisi, mencegah diskriminasi, dan memberikanÂ
kesempatan yang setara kepada setiap individu.Â
* Ketiga, mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka dan transparan dalam prosesÂ
pengambilan keputusan serta pengawasan, memastikan penegakan hukum yang adil.Â
* Keempat, pemimpin demokratis menghormati hak individu, termasuk kebebasanÂ
berbicara, berkumpul, dan beragama, serta membatasi kekuasaan untuk melindungiÂ
kebebasan ini.Â
* Kelima, mereka memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atauÂ
kelompok, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberikanÂ
pelayanan publik yang baik, serta mencegah praktik korupsi dengan menerapkan standarÂ
etika yang tinggi.
Amerika Serikat menjadi salah satu negara republik yang memainkan peran penting dalamÂ
penerapan dan penyebaran demokrasi perwakilan. Mengutip Britannica, Amerika Serikat telahÂ
menganut sistem demokrasi perwakilan sejak ditandatanganinya Undang-Undang Dasar
(Konstitusi) baru pada tahun 1787, yang kemudian diratifikasi pada 1788. Prasyarat negaraÂ
demokrasi adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pemilu diselenggarakan untukÂ
mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Konstitusi Amerika mengatur dasar negara yang berlandaskan sistem Demokrasi, yangÂ
memberikan kebebasan kepada rakyat dan semua elemen untuk terlibat dalam prosesÂ
8
pemerintahan. Meskipun demikian, praktik Demokrasi di Amerika memiliki perbedaan mendasarÂ
dalam implementasinya. Oleh karena itu, Demokrasi di Amerika mengacu pada enam prinsipÂ
utama, yaitu: 1) semua warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, 2) hak politik bagiÂ
minoritas harus dilindungi, 3) masyarakat harus menyetujui sistem hukum yang ada, 4) kebebasanÂ
untuk berpendapat dan berekspresi tidak dibatasi, 5) setiap orang sama kedudukannya di hadapanÂ
hukum, dan 6) pemerintah hanya berfungsi untuk melayani masyarakat, karena pemerintah berasalÂ
dari rakyat. Prinsip-prinsip ini sangat mempengaruhi kinerja tiga lembaga utama di negaraÂ
tersebut, yang akan dijelaskan lebih lanjut.
De Tocqueville dalam bukunya Democracy in America (1835) melihat bahwa telah tumbuhÂ
suatu kesamarataan dan kebebasan di antara rakyat AS serta sebuah pemerintahan mayoritas.Â
Rakyat dalam dunia politik di AS memerintah sama dengan Tuhan memerintah alam semesta,Â
sebuah penggambaran yang memperlihatkan bahwa setiap rakyat AS memiliki hak yang samaÂ
dalam sistem politik dan pemerintahan (de Toqueville, 1961 : 3).
Pemilihan presiden di Amerika Serikat menggunakan sistem unik bernama ElectoralÂ
College atau kolese elektoral, yang berbeda dari kebanyakan negara, termasuk Indonesia. DalamÂ
sistem ini, pemenang tidak selalu kandidat yang memperoleh suara terbanyak secara nasionalÂ
(popular vote), melainkan ditentukan oleh jumlah suara elektoral yang diraih. Setiap negara bagianÂ
memiliki jumlah suara elektoral tertentu yang ditentukan berdasarkan populasi dan jumlahÂ
perwakilan mereka di Kongres (DPR dan Senat), dengan total 538 suara elektoral secara nasional.Â
Untuk memenangkan pemilu, seorang kandidat harus mendapatkan minimal 270 suara elektoral.Â
Sebagian besar negara bagian menggunakan sistem winner-takes-all, di mana kandidat yangÂ
meraih suara terbanyak di suatu negara bagian akan mendapatkan seluruh suara elektoral negaraÂ
bagian tersebut, tanpa memperhitungkan selisih suara.Â
Contohnya, pada pemilu 2016, Donald Trump menjadi presiden meskipun Hillary ClintonÂ
mendapatkan sekitar 2,9 juta suara lebih banyak secara nasional. Trump meraih 304 suaraÂ
elektoral, sementara Clinton hanya memperoleh 227, karena Trump menang di banyak negaraÂ
bagian kunci seperti Florida dan Texas, meskipun Clinton unggul besar di negara bagian padatÂ
penduduk seperti California. Sistem ini memungkinkan hasil pemilu tidak mencerminkan suaraÂ
nasional terbanyak karena pengaruh sistem winner-takes-all, distribusi suara yang tidak merata,Â
serta fokus kampanye kandidat pada negara bagian swing yang menentukan. Meskipun dirancangÂ
9
untuk memberikan pengaruh pada semua negara bagian, sistem ini telah memunculkan hasil diÂ
mana kandidat yang kalah dalam suara nasional tetap menjadi presiden, seperti pada pemilu tahunÂ
2000 dan 2016.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan OtoriterÂ
Kelebihan
* Stabilitas Politik: Pemerintahan otoriter cenderung lebih stabil karena keputusan dapatÂ
diambil dengan cepat tanpa perlu melalui proses panjang yang melibatkan banyak pihak.Â
Hal ini dapat mengurangi konflik politik dan menjaga ketertiban sosial.
* Pengambilan Keputusan Efektif: Dengan kekuasaan terpusat, pemimpin dapat meresponsÂ
kebutuhan masyarakat secara cepat dan efektif, terutama dalam situasi darurat.
* Fokus pada Pembangunan Ekonomi: Banyak rezim otoriter menekankan pembangunanÂ
ekonomi dan sosial, yang dapat menghasilkan pertumbuhan yang signifikan dalam waktuÂ
singkat.
Kekurangan
* Pembatasan Kebebasan Individu: Dalam sistem otoriter, kebebasan berpendapat, pers, danÂ
berkumpul sering kali dibatasi. Kritik terhadap pemerintah dapat ditindak tegas, sehinggaÂ
mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses politik.
* Konsentrasi Kekuasaan: Otoritarianisme sering kali menghasilkan konsentrasi kekuasaanÂ
yang tinggi pada satu individu atau kelompok kecil, yang dapat menyebabkanÂ
penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
* Kurangnya Akuntabilitas: Pemerintahan otoriter biasanya tidak memiliki mekanismeÂ
pengawasan yang memadai, sehingga tindakan pemerintah tidak dapatÂ
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Demokratis
Kelebihan
* Hak Asasi Manusia (HAM): Sistem demokratis menghormati dan melindungi hak asasiÂ
setiap individu, memberikan kebebasan untuk berpendapat dan berpartisipasi dalamÂ
pemerintahan.
10
* Keterlibatan Publik: Rakyat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilanÂ
keputusan melalui pemilihan umum dan partisipasi politik lainnya.
* Pemerintahan yang Akuntabel: Dalam sistem demokratis, pemerintah bertanggung jawabÂ
kepada rakyat dan harus menjelaskan kebijakan serta keputusan mereka.
Kekurangan
* Proses Pengambilan Keputusan yang Lambat: Proses demokrasi sering kali melibatkanÂ
banyak pihak dan kompromi, yang dapat memperlambat pengambilan keputusan penting.
* Risiko Diktator Mayoritas: Dalam beberapa kasus, mayoritas dapat mengabaikan hak-hakÂ
minoritas, menciptakan ketidakadilan sosial.
* Politik Kepentingan: Politisi kadang-kadang lebih fokus pada kepentingan pribadi atauÂ
kelompok daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan, yang dapat mengarah padaÂ
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan
Kesimpulan
Otoritarianisme dan demokrasi adalah dua sistem pemerintahan dengan pendekatan yangÂ
berbeda dalam mengelola negara dan masyarakat. Masing-masing memiliki keunggulan danÂ
kekurangannya. Sistem otoriter cenderung lebih cepat dalam pengambilan keputusan dan menjagaÂ
stabilitas politik, terutama dalam situasi darurat atau ketika fokus pada pembangunan ekonomi.Â
Namun, konsentrasi kekuasaan dan pembatasan kebebasan sering kali menjadi penghambatÂ
partisipasi rakyat serta risiko penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, demokrasi menawarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia,Â
transparansi, dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan. Meskipun proses pengambilanÂ
keputusan lebih lambat dan berisiko terjadi tirani mayoritas atau politik kepentingan, demokrasiÂ
memiliki keunggulan dalam menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan inklusif.
Masa depan yang lebih cerah ditentukan oleh kemampuan setiap sistem untukÂ
menyeimbangkan stabilitas, kebebasan, dan kesejahteraan rakyat. Dalam praktiknya, perpaduanÂ
elemen-elemen terbaik dari keduanya dapat menjadi kunci untuk membangun pemerintahan yangÂ
efektif dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H