"Kenapa ibu menangis? Apa ibu sudah mengingatku? Atau ibu sudah mengingat penderitaan apa yang ibu beri untukku? Jawab bu! Jawab Vino!" Adalvino kembali berteriak.
        Wanita itu tersentak, ia kian tersedu, "Maaf" ucapnya pelan.
        Adalvino menatapnya dengan tatapan sendu. "Ayah...." Tatapan Adalvino beralih kepada lelaki itu. Pria itu terkejut dengan apa yang di dengarnya tadi. Namun sesuatu di dalam hatinya merasa nyaman dipanggil begitu dengan anak ini.
        "Kau bicara padaku?" pria itu menatap Adalvino.
        "Aku hanya mencobanya. Setidaknya, sekali seumur hidup aku ingin memanggilmu dengan panggilan yang seharusnya." Air mata masih mengalir dengan deras disana.
        "Sebelas tahun aku hidup dengan penderitaan. Sebelas tahun aku harus berbagi makanan dengan adik-adik asuhku di panti. Sebelas tahun aku tidur dengan kasur tipis dan selimut usang yang selalu membuatku gatal. Tapi kalian dengan luar biasanya bisa hidup dengan nyaman diatas segala kesulitanku," Adalvino belum puas mengutarakan isi hatinya.
        "Ayah benci sama Vino? Aku dulu tidak terlalu memikirkannya karena saat itu ada ibu yang sesekali mengisi kekosonganku. Tapi ternyata ibu yang kupikir akan melindungiku, malah melakukan hal yang sama." Adalvino kini melihat ke arah anak kecil yang sedang duduk dipangkuan ibunya. "Anak itu sangat mirip dengan ibu. Cantik. Jangan lakukan hal yang sama padanya ya." Ucap Adalvino tersenyum miris.
        "Cukup! Lebih baik sekarang kamu keluar dari sini. Jangan buat keributan lebih dari ini." Lelaki itu mengusir Adalvino. Luka yang ada di dada Adalvino terasa semakin dalam dibuatnya.
        "Senang bertemu kalian." Adalvino pun berlalu pergi sesuai permintaan mereka.
BAGIAN 7
KEBENARAN