Adalvino menatap mata lelaki itu. Tidak dengan tatapan takut seperti tadi siang, tapi dengan tatapan nanar. Sorot mata yang mengisyaratkan penderitaan. Adalvino melirik ke arah sofa tempat ibunya duduk. Dilihatnya wanita itu hanya menutup mulutnya dengan mata terbelalak.
        "Ibu masih inget Vino kan?" ucap Adalvino sambil tersenyum getir dengan suara yang parau. Air mata menumpuk di kelopak matanya. "Ibu inget Vino kan bu?" tanya Adalvino lagi dengan suara yang bergetar menahan tangis. Namun percuma, air matanya malah menetes dengan deras.
        "Saya tanya siapa kamu?! Berani-beraninya kamu masuk kesini?!" pria itu kini berteriak membentak Adalvino, membuat anak perempuan yang ada dibelakangnya ketakutan dan menangis. Hal itu sontak membuat ayahnya berbalik dan berusaha menenangkan anaknya dengan sangat lembut.
        Dilihatnya wanita itu juga turut menenangkan anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Sungguh menampar hati. Pelukan yang ia berikan untuk anak itu adalah pelukan yang paling ia rindukan sepanjang hidupnya. Belaian lembut jemari diatas kepala itu juga yang ia sangat inginkan setiap harinya.
        Selama ini, Vino berpikir ibunya mungkin merasakan kerinduan yang sama dengannya. Ibunya juga mungkin menantikan hari dimana mereka bisa bertemu. Namun kenyataan tak seindah harapan. Yang ia lihat dihadapannya ini sekarang adalah fakta. Fakta bahwa perempuan nomor satu dihidupnya bahkan pura-pura tak mengenalinya.
        "Ibu.... Ini Vino, ini anak yang dulu ibu buang ke panti asuhan." Adalvino melangkah mendekati ibunya. Air matanya mengalir. Lelaki yang tadi marah-marah kepadanya kebingungan. "Anak? Apa maksudnya ini Adelia?" tanya lelaki itu pada sang istri.
        "Aku juga ga ngerti Mas. Aku gak kenal dia siapa." Deg! Bom di dada Adalvino meledak.
        Wanita itu menatap Adalvino sambil menangis dengan tatapan takut. Rasa tidak adil memenuhi dadanya. Adalvino sudah tidak bisa berfikir jernih lagi.
        "Aku anak yang sejak bayi kau titipkan pada seorang pengasuh! Anak yang kau asingkan di sebuah rumah yang tak bisa aku ingat ada dimana! Aku anak yang kau berikan jarak dengan keluargaku! Kau sembunyikan aku dari ayahku!" Adalvino berteriak dengan wajah merah padam.
        "Sebelas tahun yang lalu, aku menunggumu. Sebelas tahun yang lalu, selama berjam-jam aku duduk dengan bodohnya menunggumu datang ibu...." Adalvino menarik napasnya kasar, dadanya sesak. "Aku menunggumu penuh harap, berharap kau akan datang memeluk dan menciumku seperti yang kau lakukan pada anak itu," Adalvino menunjuk kea rah anak kecil itu dengan tatapan penuh amarah,
        "Aku menunggu cintamu, tapi apa yang kau lakukan? Kau membuangku. Sudah cukup aku menderita hidup kesepian selama lima tahun, tapi kau malah menambah penderitaanku dengan mengirimku ke Philautia!" Adalvino ambruk. Terduduk ia di lantai yang dingin. Dilihatnya sosok ibu itu menangis tanpa suara. Sedangkan lelaki tadi hanya menatapnya dengan tatapan tajam.