Menikmati senja dengan menyeruput teh manis hangat, aku duduk di atas gondola yang melintasi kanal-kanal mempesona Kota Venice. Sudah hampir dua tahun aku menetap di sini, dan tiap senja seperti ini masih menghadirkan pesona yang tak pernah pudar. Kota Venice dengan keanggunannya yang tiada tara telah menjadi rumahku yang nyaman di negara spaghetti ini.
Yang membuatku betah di negara ini adalah kemudahan dan kenyamanan yang tiada banding. Aku tidak perlu jauh-jauh melintas antar benua untuk melihat klub kesayanganku, tapi ada alasan lain aku pindah negara. Keindahan senja di Kota Venice begitu memikat hatiku sehingga aku tak sadar teh manisku telah habis.
Aku memutuskan untuk turun dari gondola dan bergegas mengunjungi sahabatku, Federico, yang tinggal di Kota Verona.
Tiba-tiba, ponselku di saku celana berdering. Saat kubuka, ternyata itu panggilan dari Federico.
"Ha-halo, Federico. Tunggu sebentar ya. Aku akan segera ke sana," bisikku dengan suara lirih, mataku masih terpikat oleh pesona senja.
Federico menjawab dengan nada panik. “Dante, temanku, tolong segera datang ke sini. Di depan taman dekat rumahku ada dua sosok mengenakan jas putih, memakai kupluk dan topeng kelinci. Mereka sedang memantau rumahku dari kejauhan. Dari ciri-cirinya, sepertinya mereka anak buah Vicenzo. Tolong cepat, Dante. Sepertinya mereka ditugaskan oleh Vicenzo untuk menghabisiku.”
Sebelum menutup ponselnya, Federico menyampaikan pesan terakhir dengan nada cemas. “Dante, aku akan masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di gudang. Kita bisa berdiskusi tentang rencana rahasia di sana. Kusarankan lebih baik jika kau datang lewat halaman belakang rumahku biar aman.”
Mendengar saran Federico yang membosankan itu, aku langsung menjawab tanpa keraguan. “Ah, malas. Biar aku habisi saja mereka berdua. Ribet amat harus lewat halaman belakang rumahmu.”
Federico terkejut dengan reaksi tegas yang kulontarkan. “Hei, teman, apa kau kehilangan akal? Mau menghabisi mereka berdua sendirian? Jangan konyol, Dante. Mereka anak buah Vicenzo, bukan orang sembarangan. Mereka profesional, jadi lebih baik urungkan niatmu itu...”
Tut! Aku cepat-cepat mematikan ponselku dan memesan taksi menuju rumah Federico. Saat di dalam taksi, aku mempersiapkan beberapa senjata sederhana yang kugunakan untuk menghabisi mereka berdua, yaitu tali dan pisau dapur.
***
Sesampainya di sana, suasana sangat sepi. Ini kesempatanku. Dengan hati-hati, aku mulai mendekati mereka yang sedang memantau rumah Federico dengan cara bersembunyi di balik pohon-pohon di belakang mereka. Sasaran utamaku adalah orang di sebelah kiri terlebih dahulu karena ia memegang belati di tangannya. Rencanaku sederhana: menyerang dengan menikam lehernya lalu merebut pisau kecilnya.
Orang di sebelah kanan pasti tersadar saat mendengar teriakan temannya yang terkena tusukan. Dengan kesempatan yang sudah aku ambil dengan merebut belati, aku langsung menyabet lehernya. Setelah keduanya tewas, aku segera mengikat tangan mereka dengan tali dan mengirim mereka ke markas Vicenzo melalui bantuan kedua sahabatku lainnya yang bekerja sebagai jasa angkut barang, Rafael dan Andres.
Tanpa berlama-lama....
Tap! Tap! Tap! Tap! Aku berada tepat di belakang orang di sebelah kiri, kemudian dengan cepat aku mengeluarkan pisau dan menusuk lehernya.
Jleb! "Arrgghh. To-tolong, tolong aku, Baltasar!" teriaknya meminta pertolongan rekan di sebelah kanannya.
Saat berteriak, ia secara tidak sengaja menjatuhkan belatinya. Tanpa ragu, aku segera meraih belati itu dan dengan cepat menyabet leher orang di sebelah kanan yang bernama Baltasar.
Srat! "Uakkh, sialan kau! Berani-beraninya kau menyerang kami berdua saat lengah," ucapnya sambil memegangi lehernya yang tersayat.
Ternyata, rencanaku tidak berjalan mulus. Kukira dengan menyabet lehernya ia akan langsung tewas. Tapi Baltasar, dia lumayan kuat juga.
Baltasar langsung melayangkan tinjunya ke arahku. Dengan cepat aku berusaha menahan serangannya menggunakan kedua tanganku. Tapi serangannya begitu kuat, membuat kedua tanganku terasa seperti mau patah, rasanya sangat sakit.
Buk! Buk! Buk! Serangan Baltasar tidak hanya satu-dua-tiga kali tapi bertubi-tubi. "Berapa lama kau akan bertahan, Bung? Menyerahlah saja kalau tidak tanganmu akan patah, loh. Dasar... uarrgghh."
Dor! Dor! Dor!
Ia tertembak di bagian hati, leher, dan kakinya. Ternyata yang menembaknya adalah kedua sahabatku lainnya, Andres dan Rafael. Mereka berdua memang cukup gila, membunuh tanpa ampun sudah menjadi ciri khas mereka.
"Hei Dante, sudah lama kita tidak berjumpa semenjak misi membunuh bandar narkoba di Spanyol dua tahun yang lalu," ucap Rafael dengan suara lantang, sambil melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Andres hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Rafael. "Rafael, pelankan suaramu, bodoh. Dasar kau ini, selalu saja tidak bisa menjaga sikap, apalagi sampai membahas misi membunuh bandar narkoba. Itu misi rahasia, dan jangan kau bahas itu lagi, paham?"
"Iya, aku tahu. Bawel amat sih," kata Rafael, lalu menarik baju Andres.
Aku segera melerai pertengkaran mereka berdua. "Sudahlah, hentikan. Nih, tali yang kusiapkan, ikat kedua tangan mereka, lalu kirim dua mayat anak buah Vicenzo ini di depan gerbang rumahnya. Lokasinya sudah kukirimkan tadi lewat SMS."
"Lalu kau mau pergi ke mana?" tanya Andres.
"Aku mau pergi ke rumah Federico. Kami berdua akan membahas rencana rahasia. Oh iya, jangan lupa kabari aku kalau kalian sudah selesai mengirim dua mayat itu."
Mereka berdua langsung menjawab, "Siap, Dante. Serahkan urusan ini kepada kami."
Kedua mayat anak buah Vicenzo itu langsung diikat lalu dimasukkan ke dalam truk jasa angkut barang pindahan. Sebelum Rafael masuk ke dalam truk, ia melambai-lambaikan tangan dan mengedipkan matanya ke arahku. Ah, si bodoh itu. Kurasa dia sudah tidak waras. Mungkin saja kepalanya habis terbentur tembok.
Aku segera mengalihkan pandanganku dan bergegas masuk ke dalam rumah Federico. Saat memasuki rumahnya, suasana menjadi mencekam seketika. Semua ruangan gelap, dengan pajangan kepala rusa, beruang, dan topeng pembunuh terkenal dari film ‘Friday the 13th’, Jason Voorhees.
Ketika sedang memperhatikan koleksi menyeramkan milik Federico, tiba-tiba ada balok kayu yang melayang ke arahku. Dengan refleks cepat, aku menangkisnya dengan tendangan seni bela diri taekwondo. Sepertinya yang melempar balok kayu itu adalah Federico. Dia mungkin berpikir bahwa aku adalah anak buah Vicenzo yang masuk ke rumahnya.
Aku berteriak memanggil namanya. "Oi Federico, ini aku, Dante."
Mendengar teriakanku, ia pun langsung keluar dari tempat persembunyiannya di dalam gudang. "Oh... Dante, ternyata kau rupanya. Kukira anak buah Vicenzo yang masuk. Silahkan duduk dulu, akan kubuatkan kopi agar obrolan menjadi lebih nikmat."
"Hei, sudahlah, tidak perlu repot-repot. Langsung saja kita bahas rencana yang tadi kau bilang."
"Baiklah, pertama-tama kau harus berjanji kepadaku untuk tidak marah ya?"
Aku sedikit keheranan saat mendengar ucapan Federico barusan. Sepertinya ia sedang mabuk. "Iya deh, aku janji."
"Baguslah kalau begitu. Kita mendapat misi lagi dari Komandan William. Misi kali ini kita ditugaskan untuk membunuh Vicenzo karena ia sudah melakukan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan, yaitu menculik anak kecil lalu menjadikan mereka sebagai pekerja paksa, menyuruh untuk mengemis, transaksi narkoba, hingga paling biadab yaitu menjadikan mereka sebagai kuli batu. Rata-rata umur mereka sekitar 6-10 tahun."
"Cih, si tua bangka itu. Dia mengingkari janjinya. Tapi ini misi untuk menyelamatkan anak-anak kecil yang tak bersalah, jadi kumaafkan si tua itu," aku mengusap-usap wajahku yang berkeringat, lalu bertanya, "Jadi... bagaimana rencananya?"
"Oke, pertama, tugaskan Rafael dan Andres untuk membebaskan semua anak-anak kecil itu. Mereka ditahan di gudang terbengkalai di Kota Milan dan dijaga oleh sepuluh orang bersenjata katana. Caranya adalah... Rafael akan memancing mereka semua. Sementara mereka fokus pada Rafael, Andres akan masuk melalui jendela gudang sebelah kiri, membebaskan anak-anak itu, dan pergi lewat belakang."
"Nah, kalau kita berdua langsung ke markas Vicenzo. Tugasku adalah memasang bom, dan tugasmu membunuh Vicenzo. Ingat kawan, kau harus menyelesaikannya dalam waktu sepuluh menit. Kalau tidak, kau dan Vicenzo akan tewas bersamaan karena ledakan."
"Baiklah, aku siap. Demi membebaskan anak-anak kecil yang tak bersalah itu. Perbuatan yang dilakukan Vicenzo sudah melampaui batas. Penjara pun jijik menampungnya. Dia sangat layak untuk dihabisi."
Aku langsung menelepon Rafael dan Andres lalu menyampaikan rencana Federico. Kami akan menjalankan rencana itu besok tepatnya malam hari.
Keesokan harinya, malam hari, Rafael dan Andres berangkat menuju gudang terbengkalai dengan mobil ferrari hitamnya. Sementara aku dan Federico menuju markas Vicenzo yang terletak di Kota Bologna dengan sepeda motor.
"Semoga mereka berdua bisa menjalankan tugas sesuai rencana, karena mereka berdua selalu ceroboh," ucap Federico dengan tatapan sinis.
"Mereka berdua hebat kok. Aku percaya bahwa mereka bisa menjalankan tugas sesuai rencana. Tenang saja dan hilangkan rasa khawatirmu itu," balasku.
***
Dengan cepat, Rafael dan Andres tiba di sekitar gudang terbengkalai itu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.
“Oh... ternyata tempat ini tidak seseram yang kubayangkan,” ucap Rafael sambil menggaruk-garuk pantatnya yang gatal. “Hmm... sepuluh orang. Ini sih gampang.”
“Hadeh, jangan banyak omong. Maju dan pancing mereka. Setelah mereka semua terpancing, aku akan masuk lewat jendela dan membebaskan anak-anak yang dikurung di situ,” kata Andres dengan tegas.
Rafael mengambil pedang katana dari dalam mobil lalu berlari menuju depan gudang itu.
Sesampainya di sana, ia berteriak, “Hei, makhluk menjijikkan! Maju semua! Akan kuhancurkan kalian satu per satu dengan pedang katana baruku yang kubeli tadi siang.”
Para penjaga yang terpancing emosi dengan perkataan Rafael segera bersiap untuk menyerang. “Sial! Dia meremehkan kita. Ayo serang dia secara bersamaan! Maju!”
“Haduh, Dante. Kenapa kau menyuruhku melawan kelas teri begini? Apa tidak ada lawan yang setara denganku?” gumam Rafael sambil menyiapkan teknik untuk menebas. “Matilah kalian semua, makhluk menjijikkan.”
Trang! Jras! Crat! Jleb! Jras! Jleb!
Mereka semua terbunuh dalam kurun waktu satu menit. Rafael menggunakan katananya seperti penari balet; begitu lihai cara bertarungnya hingga memanjakan mata.
“Woi, Andres! Ngapain bengong? Bukannya membebaskan anak-anak yang dikurung, kau malah diam mengintip di balik pohon. Ah, sudahlah. Kita masuk lewat pintu depan saja,” ujar Rafael sembari membersihkan katananya yang berlumuran darah dengan tisu.
Andres pun hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
***
Sementara itu, aku dan Federico baru saja tiba di sekitar markas Vicenzo. Banyak sekali penjaga di sana. Untungnya kami sudah menyusun rencana tambahan untuk mengecoh para penjaga itu. Kami membawa dua orang lagi untuk memancing perhatian. Mereka berdua orang Spanyol bernama Daza dan Enrique.
“Sekarang kalian buat kegaduhan dan serang mereka. Aku percaya kalian pasti bisa,” ucapku lalu menepuk bahu mereka berdua.
“Baik, kami tidak akan mengecewakan Anda.”
Mereka berdua maju lalu melempar granat ke arah para penjaga itu dan menembak secara membabi buta untuk membuat kegaduhan.
Duar! Duar! Dor! Dor! Dor!
Aku dan Federico yang melihat peluang emas itu langsung masuk ke dalam markas Vicenzo lewat jendela sebelah kanan. Federico memasang bom di segala tempat, dan aku menuju ruang perpustakaan untuk mengeksekusi Vicenzo.
Ternyata perjalanan menuju ruangan Vicenzo berada tidak semudah yang kubayangkan. Aku dicegat puluhan anak buahnya.
Dor! Dor! Dor! Jras!
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Federico. “Woi, Dante! Bom sudah terpasang semua. Waktunya tinggal sembilan menit dua puluh detik. Semoga saja kau mendengar teriakanku ini. Cepatlah, kawan, kau pasti bisa.”
Akhirnya aku sampai di depan ruangan perpustakaan tempat Vicenzo berada. Saat kubuka pintunya perlahan-lahan, ada pisau melesat tepat di depanku. Untung saja aku sempat menghindar meskipun tergores sedikit di pipiku.
“Hebat juga kau. Sepertinya kau ditugaskan untuk membunuhku. Coba kau lawan aku dengan tangan kosong, apakah kau bisa?” tanya Vicenzo dengan nada sombong.
“Cih, aku tidak punya waktu untuk bertarung tangan kosong dengan makhluk rendahan sepertimu. Tempat ini sebentar lagi meledak. Jadi kuhabisi kau dengan pistol ini. Goodbye, sialan.”
Dor! Dor!
“Ukh, curang kau. Kau tidak tahu di mana anak-anak itu kusembunyikan. Aku tidak akan memberi tahu tempatnya. Mereka adalah penghasil uangku tanpa digaji sepeser pun,” ucapnya dengan tetap sombong.
Aku yang geram mendengar ucapan Vicenzo barusan, langsung menarik rambutnya dan menghajar wajahnya hingga babak belur. Bak! Buk! Dak!
“Aku tidak butuh itu. Aku sudah tahu tempat anak-anak itu kau sembunyikan di gudang terbengkalai Kota Milan.”
“Kedua sahabatku sudah menyelamatkan mereka semua dan membabat habis anak buahmu tanpa sisa,” jelasku lalu melepaskan rambutnya dan pergi dari ruangan itu.
“Tidak, itu tidak mungkin! Sialan kau!” teriaknya sambil meronta-ronta kesakitan.
Aku berlari karena hanya tersisa waktu lima menit lagi.
Untung saja, tersisa lima belas detik lagi sebelum meledak aku sudah berada di luar area markas itu.
Duarr! Duarr! Duarr! Duarr!
“Huft…syukurlah hampir saja aku mati terkena ledakan. Itu sih konyol.”
Tiba-tiba aku mendapat pesan e-mail dari Rafael. Kini ia sudah membebaskan anak-anak itu dan semuanya sudah diantar ke orang tuanya masing-masing.
Aku langsung terbaring lemas di tanah dan memandang indahnya malam bertabur bintang-bintang. Tugas membebaskan anak-anak tak bersalah yang dijadikan pekerja paksa oleh Vicenzo kini sudah selesai. Aku merasa seperti seorang superhero bagi anak-anak itu.
Cerpen oleh Kevin Dias Syahputra
[Mojokerto, 08 Juli 2024]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H