Dor! Dor! Dor!
Ia tertembak di bagian hati, leher, dan kakinya. Ternyata yang menembaknya adalah kedua sahabatku lainnya, Andres dan Rafael. Mereka berdua memang cukup gila, membunuh tanpa ampun sudah menjadi ciri khas mereka.
"Hei Dante, sudah lama kita tidak berjumpa semenjak misi membunuh bandar narkoba di Spanyol dua tahun yang lalu," ucap Rafael dengan suara lantang, sambil melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Andres hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Rafael. "Rafael, pelankan suaramu, bodoh. Dasar kau ini, selalu saja tidak bisa menjaga sikap, apalagi sampai membahas misi membunuh bandar narkoba. Itu misi rahasia, dan jangan kau bahas itu lagi, paham?"
"Iya, aku tahu. Bawel amat sih," kata Rafael, lalu menarik baju Andres.
Aku segera melerai pertengkaran mereka berdua. "Sudahlah, hentikan. Nih, tali yang kusiapkan, ikat kedua tangan mereka, lalu kirim dua mayat anak buah Vicenzo ini di depan gerbang rumahnya. Lokasinya sudah kukirimkan tadi lewat SMS."
"Lalu kau mau pergi ke mana?" tanya Andres.
"Aku mau pergi ke rumah Federico. Kami berdua akan membahas rencana rahasia. Oh iya, jangan lupa kabari aku kalau kalian sudah selesai mengirim dua mayat itu."
Mereka berdua langsung menjawab, "Siap, Dante. Serahkan urusan ini kepada kami."
Kedua mayat anak buah Vicenzo itu langsung diikat lalu dimasukkan ke dalam truk jasa angkut barang pindahan. Sebelum Rafael masuk ke dalam truk, ia melambai-lambaikan tangan dan mengedipkan matanya ke arahku. Ah, si bodoh itu. Kurasa dia sudah tidak waras. Mungkin saja kepalanya habis terbentur tembok.
Aku segera mengalihkan pandanganku dan bergegas masuk ke dalam rumah Federico. Saat memasuki rumahnya, suasana menjadi mencekam seketika. Semua ruangan gelap, dengan pajangan kepala rusa, beruang, dan topeng pembunuh terkenal dari film ‘Friday the 13th’, Jason Voorhees.