“Haduh, Dante. Kenapa kau menyuruhku melawan kelas teri begini? Apa tidak ada lawan yang setara denganku?” gumam Rafael sambil menyiapkan teknik untuk menebas. “Matilah kalian semua, makhluk menjijikkan.”
Trang! Jras! Crat! Jleb! Jras! Jleb!
Mereka semua terbunuh dalam kurun waktu satu menit. Rafael menggunakan katananya seperti penari balet; begitu lihai cara bertarungnya hingga memanjakan mata.
“Woi, Andres! Ngapain bengong? Bukannya membebaskan anak-anak yang dikurung, kau malah diam mengintip di balik pohon. Ah, sudahlah. Kita masuk lewat pintu depan saja,” ujar Rafael sembari membersihkan katananya yang berlumuran darah dengan tisu.
Andres pun hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
***
Sementara itu, aku dan Federico baru saja tiba di sekitar markas Vicenzo. Banyak sekali penjaga di sana. Untungnya kami sudah menyusun rencana tambahan untuk mengecoh para penjaga itu. Kami membawa dua orang lagi untuk memancing perhatian. Mereka berdua orang Spanyol bernama Daza dan Enrique.
“Sekarang kalian buat kegaduhan dan serang mereka. Aku percaya kalian pasti bisa,” ucapku lalu menepuk bahu mereka berdua.
“Baik, kami tidak akan mengecewakan Anda.”
Mereka berdua maju lalu melempar granat ke arah para penjaga itu dan menembak secara membabi buta untuk membuat kegaduhan.
Duar! Duar! Dor! Dor! Dor!