~Yang lebih penting adalah kejujuran dan kesucian hati, Bukannya cara berpakaian dan tata sopan yang dibuat-buat. -Soe Hok Gie
Akhir Februari 2023, publik Indonesia digegerkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang eks pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menduduki posisi sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan. Selain membuat heboh karena kejadian penganiayaan yang dilakukan terhadap anak petinggi GP Ansor, publik juga menyoroti gaya hidup hedonis yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio sebagai pelaku penganiayaan dan jumlah kekayaan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo.
Selain itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mencopot resmi Eko Darmanto (ED) dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Pasalnya, jumlah kekayaan senilai 56,1 miliar dianggap tidak wajar, bahkan beberapa hartanya tidak dilaporkan kepada LHKPN KPK.
Gaya hidup mewah dan kekayaan yang dimiliki, dinilai tidak wajar ketika dibandingkan dengan pekerjaan yang dimiliki. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka paham tentang bagaimana mekanisme dan sistem yang berjalan dalam mengelola keuangan Akhirnya, banyak pejabat yang pintar untuk menyembunyikan hartanya atau mencuci uangnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh LHKPN sampai dengan bulan Februari, sebanyak 13 ribu pegawai Kementerian Keuangan belum melaporkan harta kekayaan mereka.
Belum adanya regulasi hukum yang jelas mengenai perampasan aset dan tindak pidana bagi mereka yang tidak melaporkan hartanya pada LHKPN, membuat harta yang mereka miliki sulit untuk di investigasi. Oleh karena itu diperlukan payung hukum untuk dapat melakukan investigasi pada harta yang dimiliki oleh pejabat yang memiliki harta kekayaan tidak wajar.
Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, pada cuitannya menyampaikan bahwa diperlukan adanya Undang-Undang Perampasan Aset dan Sistem Pembuktian Terbalik agar nantinya penyidik akan lebih mudah untuk melakukan investigasi dan merampas kekayaan yang diperoleh dari hal-hal yang tidak sah milik pejabat.
Di lain hal, perlu adanya penguatan terhadap LHKPN untuk dapat melakukan sanksi pidana, tidak hanya sanksi administrasi bagi mereka yang tidak melaporkan harta kekayaan, namun juga, bagi mereka yang melaporkan aset bohong. Sehingga seolah-olah mereka tidak memiliki harta yang banyak. Sudah seharusnya pelaporan LHKPN tidak hanya dikonversi menjadi tingkat kepatuhan saja, namun bagaimana cara mengelola aset tersebut agar mengejar pengembalian kerugian negara.
Dengan adanya UU Perampasan Aset, itu akan menjadi bentuk keadilan yang sederhana bagi masyarakat yang taat untuk membayar pajak dan uang hasil pajak dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pejabat yang memiliki harta yang tidak wajar melalui tindakan korupsi ataupun hal-hal yang tidak dibenarkan dalam hukum dapat dimiskinkan sehingga mereka akan takut untuk melakukan tindakan tersebut.
Penjelasan mengenai RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset merupakan rancangan kebijakan yang dilakukan untuk menyita dan merampas hasil tindak pidana dari pelaku tindak pidana. Tidak hanya memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat, tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.
Sebelumnya, sudah ada kebijakan untuk mengatur tentang tindak pidana dan perampasan aset melalui mekanisme hukum pidana yang didasarkan pada UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 28 ayat (1) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan yang terdapat pada KUHP, pidana tambahan menurut UU TIPIKOR adalah :
Perampasan yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Menurut ahli hukum, Romli Atmasasmita, bahwa kenyataan saat ini dalam upaya penegakan hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kas negara. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya secara maksimal.
Dalam sistem hukum di Indonesia, perampasan aset merupakan bagian dari pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu hasil tindak pidana. Saat ini ketentuan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah seluruh proses penegakan hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Ketentuan lain mengenai penyitaan terdapat pada Pasal 39 KUHAP yang didalamnya berisi ketentuan barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan.
Barang-barang tersebut yaitu hanya barang yang berkaitan langsung dengan tindakan pidana. Hal tersebut tentunya tidak efektif untuk menangani kasus tindak pidana korupsi, dikarenakan aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan atau perampasan harus terlebih dahulu memilah barang mana saja yang berkaitan langsung atau tidak dengan tindak pidana. Tentunya, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan penyitaan dan perampasan aset membutuhkan kecepatan. Hal ini guna menghindari aset yang ada agar tidak berpindah tangan.
Berbeda, negara common law seperti Amerika Serikat, justru menggunakan konsep kebijakan civil forfeiture untuk mengungkap aset yang tidak wajar. Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aset hasil dari pelanggaran dapat disita tanpa mempertimbangkan kedudukan pemilik aset dalam pelanggaran yang dilakukannya.
Penerapan civil forfeiture mempermudah pengambilan aset dalam proses pembuktian di persidangan karena menggunakan hukum perdata yang standar pembuktiannya lebih rendah dari hukum pidana. Selain itu, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik, dimana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil memiliki hubungan dengan tindak pidana. Contohnya, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptor lah untuk membuktikan bahwa aset tersebut didapatkan melalui jalur yang sah.
Pengelolaan hasil rampasan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 145/PMK.06/2021, memperlakukan barang rampasan sebagai aset yang berada pada pengurus barang. Oleh karenanya, mekanisme pengelolaan barang rampasan disamakan dengan mekanisme pengelolaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang. Hal itu tercermin dari pengelolaan yang dilakukan atas dasar usulan dari Pengguna Barang.
Dalam mengelola barang rampasan, Pengurus Barang memiliki fungsi sebagaimana halnya Pengguna Barang untuk Barang Milik Negara lainnya. Fungsi tersebut diantaranya meliputi fungsi penatausahaan, pengamanan, dan pengelolaan. Selain itu, Pengurus Barang juga
memiliki fungsi eksekutorial yang memungkinkan Pengurus Barang melakukan tindakan eksekutorial berupa penjualan secara lelang atas barang rampasan tanpa melalui persetujuan Pengelola Barang.
Tarik Ulur Pembahasan RUU Perampasan Aset
Pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset sudah menjadi isu yang digabungkan dari jauh jauh hari. Tahun 2008 menjadi tahun pertama penyusunan RUU Perampasan Aset yang diinisiasi oleh Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK).
Dalam KUHP, KUHAP, dan Undang Undang Tipikor telah ditetapkan hukum pidana dan perdata mengenai perampasan aset, namun ketentuan tersebut tidak efektif dalam menindak kasus korupsi di Indonesia. Selain itu Indonesia juga tergabung dalam (United Nations Convention Against Corruption) UNCAC. UNCAC telah mengatur mekanisme yang dianggap lebih efektif dalam upaya perampasan aset, maka indonesia harus menyesuaikan ketentuan hukum dengan UNCAC.
Pada tahun 2010, RUU Perampasan Aset selesai dibahas di dalam internal kementerian dan akan diteruskan ke tahap selanjutnya. Pada tahun 2011, draft RUU Perampasan Aset diserahkan pada presiden. Tahun 2012, naskah akademik RUU Perampasan Aset disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham RI. Pada tahun 2019, RUU Perampasan Aset diserahkan pada DPR dan sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari DPR. Bahkan, pada tahun 2021 DPR menolak melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset.
Dilansir dari CNN, ketua komisi III DPR, Bambang Wuryanto, mengaku belum menerima naskah RUU Perampasan Aset, “kalau perampasan aset sudah pasti tidak dari DPR, tunggu dari Presiden RUU perampasan aset belum masuk,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2).
Pemerintah yang seharusnya menjadi lembaga pembuat regulasi hukum tidak sepatutnya melakukan tindakan lempar tangan, terutama dalam pembuatan RUU sepenting perampasan aset. Menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan dalam membentuk UU merupakan kewenangan DPR. Proses pembuatan Undang Undang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74). Berdasarkan ketentuan tersebut, berikut adalah proses pembentukan undang-undang:
Sebuah RUU dapat diajukan oleh presiden, DPR, dan DPD
RUU yang diajukan oleh pihak pada nomor 1 diteruskan pada lembaga yang bersangkutan.
RUU lalu diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh DPR untuk jangka waktu 5 tahun
RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik kecuali RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) selanjutnya menjadi Undang-undang serta RUU pencabutan undang undang atau pencabutan perpu
RUU dilanjutkan dengan pemaparan oleh pimpinan DPR kepada seluruh anggota dewan saat rapat paripurna
Dalam rapat paripurna selanjutnya diputuskan apakah RUU tersebut akan disetujui, disetujui dengan perubahan, atau ditolak untuk dibahas lebih lanjut
Jika pembahasan disetujui maka RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan
Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus.
Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan terkait proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan tingkat I
Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
Bila RUU mendapat persetujuan DPR dan perwakilan pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk diberikan tanda tangan.
Apabila RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam kurun waktu 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan
Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan DPR wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut melalui media cetak elektronik maupun media cetak. penyebarluasan dilakukan oleh DPR pemerintah di setiap proses pembentukan Undang-Undang
Berdasarkan penjelasan diatas, DPR tidak melaksanakan tupoksinya sebagai lembaga legislasi sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20A ayat (1), DPR seharusnya melakukan fungsi legislasi, tetapi malah melakukan penghapusan dalam pembahasan RUU perampasan aset pada Prolegnas di tahun 2021, hal ini jelas akan semakin merusak kepercayaan publik terhadap anggota DPR.
Urgensi RUU Perampasan Aset Segera Untuk Disahkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, agar aset negara yang banyak dicuri dapat dikembalikan dengan cepat, tanpa proses peradilan pidana maupun perdata yang panjang. Kasus harta kekayaan yang tidak wajar Pejabat Eselon III DJB, Rafael Alun Trisambodo, merupakan salah satu dari sekian banyak pejabat yang terungkap dan bisa saja masih ada diluar sana pejabat yang masih belum tersiar harta kekayaannya.
Rafael terseret karena ulah anaknya memamerkan kekayaan serta terlibat dalam kasus pengeroyokan. Ditambah lagi, mobil mewah Jeep Rubicon yang dipamerkan menggunakan plat nomor palsu, setelah dicek kembali plat nomor yang sesungguhnya ternyata pajaknya belum dibayarkan.
Dari catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), jumlah kekayaan Rafael terbilang fantastis karena melampaui atasannya yakni Dirjen Pajak, Suryo Utomo. Bahkan, kekayaan itu hampir mendekati Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Berdasarkan PP No 15 Tahun 2019, gaji pokok yang diterima Rafael sebagai pejabat eselon III DJP sebesar:
Golongan III a : Rp2.920.800 sampai Rp4.797.000.
Golongan IV a : Rp3.044.300 sampai Rp5.000.000.
Golongan IV b : Rp3.173.100 sampai Rp5.211.500.
Sementara, nominal tukin pegawai DJP eselon III sebagaimana termaktub dalam Perpres No 37 Tahun 2015 adalah Rp5.361.800 sampai Rp46.478.000 per bulan. Sehingga uang yang bisa dikantongi untuk golongan III terendah saja sekitar Rp8,26 juta dan tertinggi Rp51,67 juta setiap bulannya. Sebagai Kepala Bagian dan Eselon III, ia juga mendapat tunjangan kinerja paling rendah Rp37,21 juta hingga tertinggi Rp46,47 juta per bulan, sangat tidak masuk akal jika Rafael memiliki harta kekayaan yang sangat fantastis.
Jauh sebelum ramai kasus eks pegawai DJB diperbincangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Papua Lukas Enembe di Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/1/2023). Lukas Enembe merupakan tersangka kasus gratifikasi senilai Rp1 miliar sejak 5 September 2022; Tersangka kasus penerimaan gratifikasi ini melaporkan total harta kekayaan bersih sebesar Rp33 miliar pada 31 Maret 2022, tetapi muncul dugaan harta kekayaan yang dilaporkannya tidak sesuai. Tak hanya itu ia pun kedapatan sering menggunakan Jet Pribadi untuk melakukan perjalanan dinasnya.
Para pejabat masih berani untuk memamerkan harta kekayaan dan melakukan tindakan korupsi karena Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment). Padahal, pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.
Karena ketiadaan pengaturan ini, maka seolah-olah boleh saja pejabat berharta banyak walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana. Sehingga, Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu segera direvisi dengan memidana peningkatan kekayaan pejabat yang tidak sah.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengatakan, RUU Perampasan aset yang disahkan, nantinya akan sejalan dengan UU Korupsi, dan bisa memperpendek waktu dengan bisa merampas aset secara paksa terhadap barang atau harta negara hasil korupsi atau tindak pidana lainnya.
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia tentu berpengaruh pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) Indonesia Penilaian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TTI) pada tahun 2022 mengenai Indeks Persepsi Korupsi membuat posisi Indonesia semakin mendekati deretan negara-negara terkorup di dunia.
TTI menyampaikan bahwa hasil Indonesia tahun 2022 berada di skor 34. Angka itu turun empat poin dibanding pada 2021 berada di peringkat 110 dari 180 negara disurvei.
Gambar 1.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Dari data diatas sangat terlihat jelas jika tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan memprihatinkan. Ketiadaan pengaturan justru dijadikan tameng bagi para pejabat berharta banyak yang sumbernya tidak jelas. Disisi lain terdapat kegagalan sistemik seperti stagnasi hingga regresi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Indeks Persepsi Korupsi yang merosot.
Bukan hanya kesalahan para penegak hukum yang gagal untuk menindak korupsi secara konsisten. Kegagalan ini justru secara sistemik berawal dari ketidaksiapan aturan anti-korupsi di Indonesia. Tentu saja bukan merupakan tugas KPK atau penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk membuat UU yang baik guna terciptanya sistem pemberantasan korupsi yang baik Dengan salah satu fungsinya yaitu fungsi legislasi, maka DPR-lah yang sepatutnya dipersalahkan karena gagal membuat UU Tipikor yang sejalan dengan standar pemberantasan korupsi global.
Penyitaan aset korupsi atau harta kekayaan merupakan upaya paksa dari tindakan penyidik yang bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan negara akibat tindak kejahatan. Sedangkan perampasan aset atau harta kekayaan yang disita dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan upaya pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.
Harta kekayaan atau barang yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP adalah sebagai berikut:
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan
Adapun menurut Bahder Johan Nasution, harta benda selain dari hasil tindak pidana korupsi yang dapat dirampas adalah harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya, harta yang tidak jelas siapa pemiliknya dan harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya.
RUU perampasan aset memiliki terobosan yang dibutuhkan oleh para penegak hukum untuk memperkuat sistem hukum untuk dapat melakukan perampasan terhadap hasil untuk dapat melakukan perampasan terhadap harta hasil tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana (non conviction based forfeiture).
Sistem non conviction based forfeiture mempunyai kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana dan/atau aset-aset lain yang patut diduga sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana, khususnya yang termasuk dalam kategori kejahatan serius atau transnational organised crime. Adanya sistem tersebut mungkin akan menjadi efektif karena perampasan melalui tuntutan pidana dinilai memakan proses yang sangat lama. (Kausar Dwi Kusuma, 2019: 13).
Melalui RUU Perampasan Aset yang sudah digagas oleh pemerintah, diharapkan agar upaya pemulihan aset hasil kejahatan dapat diefektifkan. Beberapa tantangan yang harus dihadapi pemerintah diantaranya terkait dengan isu hak atas harta kekayaan dan juga proses peradilan yang adil. Mengingat pendekatan perampasan in rem telah menggeser nilai kebenaran materil tentang kesalahan dalam hukum pidana menjadi sebatas kebutuhan akan kebenaran formil atas asal-usul harta kekayaan.
Dalam pengimplementasian RUU Perampasan Aset nantinya, pemerintah setidaknya harus menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset merupakan hasil kejahatan. (Riset publik, 2019).
Pernyataan Sikap dan Rekomendasi Kebijakan
Melihat banyaknya pejabat yang harta kekayaan sudah melebihi nilai wajar dan angka indeks korupsi di Indonesia yang semakin turun, pemerintah perlu untuk menyelesaikan RUU Perampasan Aset agar harta kekayaan hasil korupsi dapat dikembalikan kepada negara tanpa melalui proses yang panjang. DPR juga harus bersikap serius terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset agar nantinya UU tersebut dapat segera disahkan.
Penulis : Muhammad Ghufron Ariawan | Salsa Sabrina Munawaroh Faikurachman | Uswatun Khasanah | Reza Akbar Nurokhman
References
(n.d.). Wikipedia. Retrieved March 7, 2023, from https://twitter.com/CandraDharmawan/status/1630688847397896194?s=20
(n.d.). e-lhkpn. Retrieved March 7, 2023, from https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/
Belum Adanya UU Perampasan Aset dan LHKPN yang 'Lemah' Jadi Celah Pejabat Sembunyikan Aset. (2023, February 27). Pikiran-Rakyat.com. Retrieved March 7, 2023, from https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-016335241/belum-adanya-uu-perampasan-aset-dan-lhkpn-yang-lemah-jadi-celah-pejabat-sembunyikan-aset
Data LHKPN: 13 Ribu Pegawai Kemenkeu Belum Lapor Harta Kekayaan. (2023, February 23). CNN Indonesia. Retrieved March 7, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230223091738-12-916768/data-lhkpn-13-ribu-pegawai-kemenkeu-belum-lapor-harta-kekayaan
Dirjen Pajak Suryo Utomo ikut disoroti soal moge, Menteri Sri Mulyani perintahkan buka laporan harta kekayaan. (2023, February 26). BBC. Retrieved March 7, 2023, from https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0jl4yx59wdo
DPR Belum Terima RUU Perampasan Aset yang Didorong Jokowi. (2023, February 10). CNN Indonesia. Retrieved March 7, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230209201336-32-911230/dpr-belum-terima-ruu-perampasan-aset-yang-didorong-jokowi
Greenberg, T. S., Grant, W., Gray, L., & Samuel, L. M. (2009). Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-conviction Based Asset Forfeiture. World Bank.
Intip Harta Kekayaan Gubernur Papua Lukas Enembe yang Baru Ditangkap. (2023, January 10). Detik Finance. Retrieved March 7, 2023, from https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6507728/intip-harta-kekayaan-gubernur-papua-lukas-enembe-yang-baru-ditangkap
Kebijakan Hukum Pidana dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. (n.d.). Neliti. Retrieved March 7, 2023, from https://www.neliti.com/id/publications/18957/kebijakan-hukum-pidana-dalam-perampasan-aset-hasil-tindak-pidana-korupsi-di-indo
Nasution, B. (2017). Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Civil Forfeiture. Jurnal Integritas, 1(3). https://bismarnasution.com/pengembalian-aset-hasil-tindak-pidana-korupsi-melalui-civil-forfeiture/
Pengelolaan Barang Rampasan dan Pemulihan Aset Tindak Pidana. (n.d.). DJKN. Retrieved March 7, 2023, from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-palu/baca-artikel/14505/Pengelolaan-Barang-Rampasan-dan-Pemulihan-Aset-Tindak-Pidana.html
Pohan, A. (2008). Pengembalian aset kejahatan. Pusat Kajian Anti Korupsi, Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan Kemitraan.
Rincian Tunjangan Kinerja Pegawai Ditjen Pajak, Berapa gaji Ayah Mario Dandy? (2023, February 24). Okezone Economy. Retrieved March 7, 2023, from https://economy.okezone.com/read/2023/02/24/320/2770801/rincian-tunjangan-kinerja-pegawai-ditjen-pajak-berapa-gaji-ayah-mario-dandy?page=2
Saputra, R. (2017, Maret). Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia). 3(1). https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/158/40
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H