Perampasan  yang  digunakan  atau diperoleh  dari  tindak  pidana korupsi.
Pembayaran  uang  pengganti  yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama  dengan  harta  benda  yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Menurut ahli hukum, Romli Atmasasmita, bahwa kenyataan saat ini dalam upaya penegakan hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kas negara. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya secara maksimal.Â
Dalam sistem hukum di Indonesia, perampasan aset merupakan bagian dari pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu hasil tindak pidana. Saat ini ketentuan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah seluruh proses penegakan hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Ketentuan lain mengenai penyitaan terdapat pada Pasal 39 KUHAP yang didalamnya berisi ketentuan barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan.Â
Barang-barang tersebut yaitu hanya barang yang berkaitan langsung dengan tindakan pidana. Hal tersebut tentunya tidak efektif untuk menangani kasus tindak pidana korupsi, dikarenakan aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan atau perampasan harus terlebih dahulu memilah barang mana saja yang berkaitan langsung atau tidak dengan tindak pidana. Tentunya, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan penyitaan dan perampasan aset membutuhkan kecepatan. Hal ini guna menghindari aset yang ada agar tidak berpindah tangan.
Berbeda, negara common law seperti Amerika Serikat, justru menggunakan konsep kebijakan civil forfeiture untuk mengungkap aset yang tidak wajar. Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aset hasil dari pelanggaran dapat disita tanpa mempertimbangkan kedudukan pemilik aset dalam pelanggaran yang dilakukannya.
Penerapan civil forfeiture mempermudah pengambilan aset dalam proses pembuktian di persidangan karena menggunakan hukum perdata yang standar pembuktiannya lebih rendah dari hukum pidana. Selain itu, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik, dimana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil memiliki hubungan dengan tindak pidana. Contohnya, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptor lah untuk membuktikan bahwa aset tersebut didapatkan melalui jalur yang sah.
Pengelolaan hasil rampasan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 145/PMK.06/2021, memperlakukan barang rampasan sebagai aset yang berada pada pengurus barang. Oleh karenanya, mekanisme pengelolaan barang rampasan disamakan dengan mekanisme pengelolaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang. Hal itu tercermin dari pengelolaan yang  dilakukan atas dasar usulan dari Pengguna Barang.Â
Dalam mengelola barang rampasan, Pengurus Barang memiliki fungsi sebagaimana halnya Pengguna Barang untuk Barang Milik Negara lainnya. Fungsi tersebut diantaranya meliputi fungsi penatausahaan, pengamanan, dan pengelolaan. Selain itu, Pengurus Barang juga
 memiliki fungsi eksekutorial yang memungkinkan Pengurus Barang melakukan tindakan eksekutorial berupa penjualan secara lelang atas barang rampasan tanpa melalui persetujuan Pengelola Barang.
Tarik Ulur Pembahasan RUU Perampasan Aset