Gambar 1.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Dari data diatas sangat terlihat jelas jika tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan memprihatinkan. Ketiadaan pengaturan justru dijadikan tameng bagi para pejabat berharta banyak yang sumbernya tidak jelas. Disisi lain terdapat kegagalan sistemik seperti stagnasi hingga regresi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Indeks Persepsi Korupsi yang merosot.Â
Bukan hanya kesalahan para penegak hukum yang gagal untuk menindak korupsi secara konsisten. Kegagalan ini justru secara sistemik berawal dari ketidaksiapan aturan anti-korupsi di Indonesia. Tentu saja bukan merupakan tugas KPK atau penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk membuat UU yang baik guna terciptanya sistem pemberantasan korupsi yang baik Dengan salah satu fungsinya yaitu fungsi legislasi, maka DPR-lah yang sepatutnya dipersalahkan karena gagal membuat UU Tipikor yang sejalan dengan standar pemberantasan korupsi global.
Penyitaan aset korupsi atau harta kekayaan merupakan upaya paksa dari tindakan penyidik yang bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan negara akibat tindak kejahatan. Sedangkan perampasan aset atau harta kekayaan yang disita dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan upaya pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.
Harta kekayaan atau barang yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP adalah sebagai berikut:Â
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!