Mohon tunggu...
KARTINI
KARTINI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA - EKONOMI SYARI'AH

(الله سبحانه وتعالى) (اللهم صل على سيدنا محمد و على ال سيدنا محمد) (Q.S Adz-Dzāriyāt [ 51 ] : 56) (Q.S Al-'Ankabūt [ 29 ] : 56-59)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Rahn (Gadai): Latar belakang, Pengertian, Sifat, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat, & Jenis-Jenis Rahn

20 Maret 2024   20:09 Diperbarui: 2 April 2024   18:36 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

KARTINI-

LATAR BELAKANG

Dalam keseharian, manusia sangat memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor utama munculnya sebuah masalah yaitu uang yang digunakan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan. Solusinya dengan mengurangi pembelian terhadap sesuatu yang kurang penting, dan jika itu sangat penting tetapi uangnya kurang maka meminjam uang adalah solusi yang terakhir. Dengan tetap meminjam pada orang perorangan atau sebuah lembaga yang tidak ada unsur riba nya.

Bagi yang kesulitan dalam hal dana tetapi disisi lain memiliki sesuatu barang yang berharga, maka barang tersebut bisa dijual sehingga uang yang didapat bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini akan menjadi dampak negatif yaitu hilangnya barang yang sudah dimiliki karena telah dijual. Selain itu, dapat terjadinya sikap menghambur-hamburkan uang karena uang yang didapat cenderung banyak.

Hal diatas dapat diatasi dengan memberikan jaminan pada lembaga tertentu ketika akan meminjam uang. Jadi, tidak perlu khawatir barang tersebut hilang. Masyarakat yang sudah melunasi hutangnya dapat menebus kembali barang yang telah dijadikan jaminan tersebut. Tindakan yang dilakukan masyarakat tersebut disebut dengan nama gadai (rahn).

Perkembangan dan kemajuan industri modern di masyarakat dipelopori oleh lembaga keuangan yang berperan sangat signifikan dalam mewujudkannya. Masyarakat tidak terlepas dari bantuan lembaga keuangan, karena modal yang besar dalam berinvestasi dan dalam memproduksi barang dengan jumlah yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Terkhusus bagi pengusaha yang meminjam uang dengan cara kredit dan untuk menambah kan modalnya dengan cara menabung di lembaga keuangan. Agar usaha nya meraup keuntungan yang besar.

Lembaga keuangan syariah yang berbentuk bank yaitu Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan lembaga keuangan syariah yang tidak termasuk bank yaitu Takaful (asuransi), Reksadana Syariah, Ijarah (leasing), Rahn (pegadaian), Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syariah, dan Baitul Maal wa Tamwil atau BMT.

Sebagai lembaga keuangan bukan bank, pegadaian syariah termasuk berada di samping unit layanan konvensional dan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum) pegadaian.

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai merupakan suatu hak yang didapatkan seseorang yang berpiutang atas suatu barang yang menjadi jaminan, diberikan kepadanya oleh seseorang yang berutang atau orang lain yang mengatasnamakan dirinya; orang yang berpiutang memiliki kuasa atas barang jaminan untuk melunasi hutang nya terlebih dahulu. Dengan catatan biaya yang telah dikeluarkan untuk melunasi hutang nya sesudah barang itu digadaikan dan untuk melelangnya, maka harus bisa memilah dan selektif biaya-biaya yang mana yang harus diutamakan.

PENGERTIAN RAHN

Menurut bahasa, rahn artinya tetap dan lama yaitu tetap berarti penguasaan dan kewajiban. Sedangkan, secara istilah yakni adanya barang yang ditahan dan barang tersebut dapat digunakan untuk pelunasan hutang nya.

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam memahami pengertian dari rahn :

Menurut ulama Syafi'iyah yaitu barang yang dijadikan jaminan hutang dan bisa digunakan untuk pelunasan jika orang yang berutang tidak bisa melunasi nya. Sedangkan, menurut ulama Hanabilah yaitu pembayaran harga (nilai) utang dari harta yang dijadikan hutang. Disaat yang berutang tidak bisa melunasi hutangnya kepada yang memberikan pinjaman.

SIFAT RAHN

Secara garis besar rahn termasuk akad yang bersifat sukarela, alasannya sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahintidak adanya penukaran dengan yang lain. Yang di berikan murtahin kepada rahn adalah utang karena meminjamkan uang nya, bukan pertukaran atas barang yang telah dijaminkan nya. Rahn juga termasuk akad yang ainiyah yakni akan sempurna setelah memberikan barang yang dijadikan akad seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (tolong menolong) yang akan sempurna sesudah memegang (al qabdu).

DASAR HUKUM RAHN

Dalam Islam, rahn termasuk sarana untuk saling memberikan bantuan bagi umat Islam, tanpa disertai adanya upah atas jasa. Menurut Al-Qur'an, as-sunnah dan ijma' rahn hukumnya boleh atau jaiz.

Adapun dasar hukum pegadaian syari'ah ini yaitu:

1. Al Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 283

"Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang"

Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa apabila seseorang sedang dalam keadaan safar dan ingin bermuamalah atau hutang piutang, kemudian ia tidak memperoleh seseorang yang pandai dan adil dalam hal pencatatan transaksi hutang, sebagai amanah hendaklah meminta bukti yang lain, yaitu dengan memberikan sesuatu hal yang berharga sebagai jaminannya. Hal ini sangatlah diperlukan untuk memberikan rasa saling percaya antara keduanya, sehingga tidak menyebabkan kecurigaan dan pertengkaran. 

Jaminan tersebut sebagai amanah untuk yang berpiutang dan tidak boleh menggunakan nya atau memanfaatkan nya. Jaminan tersebut wajib dikembalikan secara utuh setelah orang yang berutang melunasi hutang nya. Orang yang berutang harus tepat waktu dalam membayarnya agar orang yang berpiutang tidak rugi. 

Disamping hal ini orang yang berutang juga sangat amanah karena telah memberikan jaminan nya. Terkhusus ada orang yang berpiutang memberikan kepercayaan penuh terhadap orang yang berutang tanpa adanya jaminan, maka orang yang berutang harus memiliki kesadaran diri. Dengan tetap melunasi tepat waktu dan mengikuti ketentuan dalam hukum Islam. Serta jangan bertindak secara batil.

Para ulama sepakat bahwa rahn hukumnya boleh, tetapi tidak diwajibkan. Alasannya sebab gadai hanya berupa jaminan jika kedua belah pihak tidak saling percaya. 

Firman Allah diatas sebatas irsad (anjuran baik saja) terhadap orang yang beriman. Alasannya sebab dalam ayat lanjutannya dinyatakan, yang artinya:

"Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya)"

Jadi, hukum rahn secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi syarat. Sedangkan, rahn fasid ialah rahn yang tidak memenuhi syarat.

2. As-Sunnah

"Dari Siti Aisyah r.a. bahwa rasulullah bersabda: pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya".

(H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Ijma'

Para ulama menyepakati bahwa gadai itu boleh dan mereka tak pernah mempermasalahkannya, demikian juga terkait landasan hukumnya. Di samping hal itu, mayoritas ulama berpendapat tentang rahn yang diperbolehkan baik pada saat bepergian atau pun tidak.

RUKUN DAN SYARAT RAHN

1. Rukun-rukun Rahn (gadai)

a. Akad ijab dan qabul, contohnya seseorang berkata "aku gadaikan kursiku ini dengan harga Rp. 100.000", dan yang satu lagi menjawab "aku terima gadai kursimu seharga Rp. 100.000", atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata, contohnya seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.

b. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).

c. Barang yang dijadikan jaminan tidak cacat.

Rasul bersabda: "Setiap barang yang bisa diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai".

Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa syarat yang bisa dijadikan jaminan dalam persoalan gadai ada tiga macam terdiri dari kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.

2. Syarat Rahn (gadai)

a. Aqid, kedua orang yang akan berakad harus mencapai kriteria al ahliyah yakni orang yang telah diperbolehkan untuk jual beli, yaitu berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah sampai mumayiz dan juga orang yang bodoh dibolehkan melakukan rahn atas izin dari walinya.

b. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai persyaratan atau disandarkan dengan sesuatu. Alasannya sebab rahn termasuk jual beli, jika menggunakan syarat tertentu syarat tersebut tidak sah dan rahn tetap sah.

c. Marhun bih (utang), yaitu sesuatu yang diberikan ketika melaksanakan rahn dan sudah menjadi hak bagi orang yang berutang. Dengan syarat berupa utang yang tidak berubah dan dapat digunakan, utang harus jelas pada waktu akad, dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

JENIS-JENIS RAHN

Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan sebutan rahn. Rahn yang dijelaskan menurut prinsip Syariah dibedakan dengan 2 macam, yaitu:

1. Rahn 'Iqar/Rasmi (Rahn Takmini/Rahn Tasjily)

Termasuk salah satu bentuk gadai, dimana pemindahan kepemilikannya lewat barang yang dijadikan jaminan, tetapi barang tersebut masih bisa dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemberi gadai.

Contoh :

Fatimah memiliki hutang kepada Aisyah sebesar Rp. 20 JT. Sebagai jaminannya, Fatimah menyerahkan STNK Motornya kepada Aisyah dengan Rahn 'Iqar. Walaupun STNK atas Motor tersebut diserahkan kepada Aisyah, tetapi motor tersebut tetap berada di tangan Fatimah dan digunakan olehnya untuk kegiatan nya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas motor yang di maksud.

2. Rahn Hiyazi

Rahn Hiyazi sangat serupa dengan konsep gadai. Sangat berbeda dengan Rahn 'Iqar yang hanya memindahkan hak kepemilikan, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, tidak hanya hak kepemilikan yang berpindah tetapi juga barangnya dikuasai oleh orang yang berpiutang.

Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Motor milik Fatimah tersebut diserahkan kepada Aisyah sebagai jaminannya. Jika hutang Fatimah kepada Aisyah sudah lunas, maka Fatimah bisa mengambil kembali motor tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan:

1. Rahn adalah jaminan kepada pemberi hutang sebagai bentuk kepercayaan diantara keduanya. Jika orang yang berutang tidak bisa melunasi hutangnya, maka jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai pembayaran atas hutangnya.

2. Rahn bersifat sukarela dan termasuk kedalam akad tolong menolong. Karena, dibalik adanya jaminan tidak diiringi dengan pertukaran sesuatu yang lain.

3. Hukum rahn terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 283 tentang gadai disaat bepergian, As sunnah menjelaskan bahwa nabi pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk membeli makanan, dan Ijma' menjelaskan bahwa para ulama memperbolehkan akad rahn tetapi tidak diwajibkan.

4. Rukun rahn harus terpenuhi agar rahn nya sah, rukun-rukun nya yakni ijab & qobul, rahin & murtahin, dan barang yang digadaikan. Selanjutnya, syarat nya juga harus terpenuhi agar rahn nya sah, syarat-syarat nya yakni aqid, shighat, dan marhun bih.

5. Rahn memiliki 2 jenis yakni rahn 'iqar (Hanya memindahkan hak kepemilikan saja), dan rahn hiyazi (Pemindahan hak kepemilikan dan penguasaan barang yang digadaikan).

REFERENSI

Anshori, Abdul Ghafur. Gadai Syariah di Indonesia. Yogyakarta: 2006. h. 5

Ayaf'i, Rachmat. Fiqh Muamalah. Pustaka Setia Bandung: Cet. 10. 2003. h. 57-60

Hadi, M. Sholekul. Pegadaian Syariah. Cet. I. Jakarta: Selemba Diniyah, 2003. hlm. 52

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007. h. 254

Ismail, Nawawi. Konsep Dasar Gadai. Jakarta: Ghalia Indonesia. h. 198

Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997. h. 29

Muhammad. Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2000. h. 62

Rifa'I, Veithzal. dkk. Bank and Financial Institution Management. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 1322-1323

Ridwan, Muhammad. Manajemen BMT. Yogyakarta: UII Press. 2004. h. 5

Rachmat, Syafei. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2006. h. 159-160

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jakarta: PT Grafindo Persada. 2001. h. 139

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2005. cet. Ke-5. h. 744. V 

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002. h. 105

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun