Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 41

3 Mei 2022   15:20 Diperbarui: 3 Mei 2022   15:52 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku memutuskan untuk menolak tawaran promosi ke New York dan berhenti kerja lalu, pulang kampung.

"Bintang!!!? Memang apa yang terjadi di New York?" tanya Dean kebingungan ketika didatangi aku yang masuk membawa surat pengunduran diri ke kantornya.

"Aku mendadak ingin pulang kampung untuk mengurus orang tua," jawabku singkat dengan menegarkan diri.

Dean menyarankan aku untuk ambil cuti menenangkan diri selama seminggu tanpa dipotong gaji tetapi, aku menolak keras dan bersikeras pada pendirianku. Akhirnya dia merelakan aku untuk mengundurkan diri dan berpesan bahwa pintu kantor ini terus terbuka lebar untuk menyambut aku kembali. 

Orang kantor luar biasa ribut dan tidak mengerti dengan alasan keputusan aku yang mendadak dan sangat mengejutkan ini.

3 bulan lagi aku resmi mengundurkan diri dari perusahaan.

"Bude, kenapa tidak menikah lagi?" tanyaku saat kami makan malam.

Bude tersenyum mendengar pertanyaanku. "Karena bude tidak mau menambah beban Wiwi," jawabnya dengan tenang. "Wiwi sebenarnya sangat tertekan dengan kenyataan bapaknya yang punya banyak istri dan anak," lanjutnya.

Bude memilih untuk berkorban menghilangkan keinginan memiliki keluarga baru.

"Mungkin nanti setelah bude sudah menopause baru menikah lagi," lanjutnya dengan tertawa. "Tetapi, saat itu mungkin bude sedang sibuk mengurus cucu yang lucu dari Wiwi sehingga tidak ada pikiran menikah lagi," katanya dengan tetap tertawa.

Aku bertemu Wiwi terakhir 7 tahun yang lalu di pernikahan Bulan. Wiwi setiap tahun ada pulang kampung saat lebaran dan natal tetapi, tidak mampir Jakarta karena dari Singapura langsung turun Surabaya lalu lanjut lewat darat ke Banyuwangi, Probolinggo dan Semarang. Setelah itu kembali ke Surabaya dan pulang Singapura.

3 tahun yang lalu, Wiwi mendapat promosi menjadi Direktur Eksekutif Regional Asia dan mendapat hadiah apartemen mewah 2 kamar di kawasan distrik 9, Singapura.

Eyang dan orang tuaku serta bude dan orang tuanya diajak main liburan seminggu ke Singapura. Wiwi menyewa kamar apartemen di sebelahnya supaya semua bisa tinggal berdekatan. 

Saat itu bude meluangkan waktu berkunjung ke rumah mantan majikan. Mantan majikan yang kagum dengan kesuksesan Wiwi menjodohkannya dengan Joyce, anak perempuan semata wayang yang seusia kami.

"Kamu sudah telepon ibu untuk cerita masalah dengan Cahaya?" tanya bude membuyarkan lamunanku.

"Habis makan aku telepon," jawabku.

Ibu luar biasa marah ketika mendengarku selesai cerita.

"Bintang!! Mendapat suami sehebat Cahaya itu sungguh sulit. Jutaan wanita mau jadi istrinya tetapi, kamu kenapa seenaknya buang kesempatan itu ke tong sampah? Pekerjaanmu juga sama. Jutaan orang berebut mendapat posisi itu. Kamu yang tanpa perlu susah payah mendapat tawaran malah juga buang ke tong sampah. Kamu ini sombong sekali!!" 

Pertama kali dalam hidupku kena marah ibu sekeras ini.

"Kamu, di kampung mau kerja apa? Nanti kamu mau menikah dengan siapa di sini!?" lanjutnya kesal. 

Aku hanya bisa diam mendengar hingga ibu menutup telepon.

"Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu?" tanya bude lembut.

Aku menatapnya dengan berlinang air mata.

"Aku takut membiarkan eyang, ibu dan ayah menjadi tua tanpa anak cucu di sampingnya," jawabku dengan sesengukkan.

Saat di pesawat menuju Jakarta, pikiranku juga dipenuhi kenangan saat ke panti jompo bertemu lansia yang memiliki anak tetapi sungkan untuk terus terang ke anak bahwa sebenarnya ingin terus di dekat mereka. 

Sebulan sebelum aku berhenti kerja, bude mendapat kabar kalau ibunya jatuh terpeleset sehingga harus operasi tulang lutut di rumah sakit daerah Surabaya.

"Wiwi besok ke Jakarta untuk rapat sehari tetapi, setelah itu dia mau menginap di sini sampai Senin," kata Bude di telepon saat mengabari bahwa ibunya jatuh dan minta tolong aku pesani tiket pesawat ke Surabaya, Sabtu jam 11 siang. 

Besok adalah hari Jumat. Wiwi yang biasa pulang pergi hari Jakarta-Singapura karena jadwal kerja yang padat, memutuskan untuk menginap bertemu bude yang mau bersiap ke Surabaya.

Jumat malam, aku pulang ke rumah naik kereta seperti biasa dan sampai rumah jam 7 malam. Wiwi sampai jam 11 malam dengan naik taksi. Aku yang sudah tertidur, terbangun mendengar bunyi pintu depan dibuka tetapi memutuskan untuk tidak bangun melihat keluar.

"Kalian berdua jangan bertengkar ditinggal bunda," pesan bude sebelum naik taksi pergi ke bandara jam 8 pagi. Mendengar pesan itu, Wiwi hanya tersenyum kecil sambil mengangkat koper ke dalam bagasi taksi. Dia ikut mengantar ke bandara.

"Bintang! Ini ada pizza," teriak Wiwi dari dapur setelah tiba di rumah sekitar jam 2 siang.

Aku yang sedang tiduran di dalam kamar, keluar untuk makan karena belum makan siang. Aku sejak pulang dari New York, kehilangan semangat untuk masak.

"Aku juga beli salad untuk kamu makan," lanjutnya sambil mencuci tangan. 

"Terima kasih," jawabku pelan sambil mengambil garpu.

Praat!! Wiwi menciprat mukaku dengan air yang masih membasahi tangan. 

"Hei!! Lemes banget!"tegurnya sambil melap tangan. 

Aku hanya diam dan tidak menoleh ke arahnya.

"Besok pagi kita jalan-jalan naik sepeda keliling Jakarta, yuk!" ajaknya dengan mengambil sepotong pizza. 

"Nggak punya sepeda," jawabku dengan tetap tidak menatapnya.

"Kita dari sini naik kereta lalu sambung taksi ke rumah Jason, patnerku di Menteng. Jason bersedia pinjami 2 sepeda untuk kita," kata Wiwi.

Rumah Jason sungguh besar dan luas. Aku terkagum-kagum melihat isi garasi dan taman depan yang asri.

"Hi, Jason! Ini Bintang," Wiwi menperkenalkan kita.

Aku mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengannya.

Jason adalah patner kantor Jakarta dan berusia sama seperti kami. Rumah yang kami datangi ini milik orang tua yang merupakan salah satu konglomerat Indonesia.

"Nanti kalau sudah selesai dan i'm not here, you titip satpam saja," kata Jason yang setiap ngomong campur bahasa Indonesia dan Inggris.

Kami pamitan berangkat.

"Bintang, kamu jalan di depan," perintah Wiwi.

"Apa!? Aku tidak tahu mau ke mana?"protesku.

"Monas!" jawab Wiwi.

"Kamu saja yang di depan karena itu lebih tahu dan jelas mau ke mana," jawabku kesal.

"She's right, bro! You yang harus di depan," kata Jason mendukungku dengan tertawa.

Wiwi sambil mengayuh ke depan, sesekali-kali menengok ke belakang untuk memastikan aku masih ada mengikuti. Sampai di daerah monas, tiba-tiba dia memberi tanda untuk berhenti menepi.

"Aku mau makan itu," katanya dengan menunjuk ke arah gerobak bertulis es Shanghai yang ada di pinggir trotoar.

Sepeda kami angkat dan parkir di atas trotoar.

"Waktu di Shanghai, tidak ada toko es yang menjual es Shanghai," kataku sambil menatap abang yang sedang menyerut es batu.

"Ha, ha, ha! Waktu aku ke Padang juga sama tidak ada warung nasi Padang. Adanya nasi kapau," balas Wiwi. "Nama itu mungkin dibuat pendatang asli daerah itu yang merantau ke sini karena rindu kampung halaman," lanjutnya.

"Wi, rumah Jason mewah sekali," kataku menganti topik pembicaraan. "Seandainya kakek dari ibuku waktu kerja di perusahaan minyak tidak ditipu adik dan teman baiknya, rumah itu mungkin milikku," lanjutku sambil menatap dirinya yang sedang makan es.

"Hmmm. Terus bisa jadi sekarang ibumu menikah dengan pria bernama Jason dan memiliki 3 putra bernama Galaxy, Bimasakti dan Pluto bila kakekmu tidak ditipu," balasnya dengan menatapku. 

Aku terdiam menunduk dan menyuapi mulut dengan es.

"Bintang, apa kamu serius berhenti kerja dan pulang kampung?" tanyanya dengan menatapku tajam.

"Iya, serius," jawabku dengan tetap menunduk.

"Kamu mau apa di kampung?" tanyanya lagi.

"Mengurus orang tua, eyang dan bantu jualan. Lagipula, aku selalu yakin bahwa Tuhan adalah gembalaku dan pasti Dia akan membimbing aku ke tempat yang terbaik," jawabku dengan menoleh ke arahnya lalu menunduk lagi.

"Berarti Cahaya yang hakim, putih tinggi dan seiman denganmu itu bukan yang terbaik?" tanya Wiwi lagi dengan menatap lurus ke mataku.

"Pikiranku hari ini dan besok bisa berubah. Cahaya ada bilang selama dia belum menikah, aku bisa kapan saja mengubah pikiran dan datang ke tempat dia," jawabku sambil mengembalikan mangkok. 

- bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun