Aku menatapnya dengan berlinang air mata.
"Aku takut membiarkan eyang, ibu dan ayah menjadi tua tanpa anak cucu di sampingnya," jawabku dengan sesengukkan.
Saat di pesawat menuju Jakarta, pikiranku juga dipenuhi kenangan saat ke panti jompo bertemu lansia yang memiliki anak tetapi sungkan untuk terus terang ke anak bahwa sebenarnya ingin terus di dekat mereka.Â
Sebulan sebelum aku berhenti kerja, bude mendapat kabar kalau ibunya jatuh terpeleset sehingga harus operasi tulang lutut di rumah sakit daerah Surabaya.
"Wiwi besok ke Jakarta untuk rapat sehari tetapi, setelah itu dia mau menginap di sini sampai Senin," kata Bude di telepon saat mengabari bahwa ibunya jatuh dan minta tolong aku pesani tiket pesawat ke Surabaya, Sabtu jam 11 siang.Â
Besok adalah hari Jumat. Wiwi yang biasa pulang pergi hari Jakarta-Singapura karena jadwal kerja yang padat, memutuskan untuk menginap bertemu bude yang mau bersiap ke Surabaya.
Jumat malam, aku pulang ke rumah naik kereta seperti biasa dan sampai rumah jam 7 malam. Wiwi sampai jam 11 malam dengan naik taksi. Aku yang sudah tertidur, terbangun mendengar bunyi pintu depan dibuka tetapi memutuskan untuk tidak bangun melihat keluar.
"Kalian berdua jangan bertengkar ditinggal bunda," pesan bude sebelum naik taksi pergi ke bandara jam 8 pagi. Mendengar pesan itu, Wiwi hanya tersenyum kecil sambil mengangkat koper ke dalam bagasi taksi. Dia ikut mengantar ke bandara.
"Bintang! Ini ada pizza," teriak Wiwi dari dapur setelah tiba di rumah sekitar jam 2 siang.
Aku yang sedang tiduran di dalam kamar, keluar untuk makan karena belum makan siang. Aku sejak pulang dari New York, kehilangan semangat untuk masak.
"Aku juga beli salad untuk kamu makan," lanjutnya sambil mencuci tangan.Â