"Ha, ha, ha! Waktu aku ke Padang juga sama tidak ada warung nasi Padang. Adanya nasi kapau," balas Wiwi. "Nama itu mungkin dibuat pendatang asli daerah itu yang merantau ke sini karena rindu kampung halaman," lanjutnya.
"Wi, rumah Jason mewah sekali," kataku menganti topik pembicaraan. "Seandainya kakek dari ibuku waktu kerja di perusahaan minyak tidak ditipu adik dan teman baiknya, rumah itu mungkin milikku," lanjutku sambil menatap dirinya yang sedang makan es.
"Hmmm. Terus bisa jadi sekarang ibumu menikah dengan pria bernama Jason dan memiliki 3 putra bernama Galaxy, Bimasakti dan Pluto bila kakekmu tidak ditipu," balasnya dengan menatapku.Â
Aku terdiam menunduk dan menyuapi mulut dengan es.
"Bintang, apa kamu serius berhenti kerja dan pulang kampung?" tanyanya dengan menatapku tajam.
"Iya, serius," jawabku dengan tetap menunduk.
"Kamu mau apa di kampung?" tanyanya lagi.
"Mengurus orang tua, eyang dan bantu jualan. Lagipula, aku selalu yakin bahwa Tuhan adalah gembalaku dan pasti Dia akan membimbing aku ke tempat yang terbaik," jawabku dengan menoleh ke arahnya lalu menunduk lagi.
"Berarti Cahaya yang hakim, putih tinggi dan seiman denganmu itu bukan yang terbaik?" tanya Wiwi lagi dengan menatap lurus ke mataku.
"Pikiranku hari ini dan besok bisa berubah. Cahaya ada bilang selama dia belum menikah, aku bisa kapan saja mengubah pikiran dan datang ke tempat dia," jawabku sambil mengembalikan mangkok.Â
- bersambung