Mohon tunggu...
Nur Azis
Nur Azis Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar sepanjang waktu

Bercerita dalam ruang imajinasi tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Peninggalan

26 Desember 2018   20:04 Diperbarui: 26 Desember 2018   20:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap hari, ada saja masalah yang Marina hadapi. Seperti hari ini. Pagi tadi dia bangunnya kesiangan, sampai-sampai tidak shalat subuh. Sialnya lagi, masakannya hari itu juga ikut gosong. Hampir saja, Budi tak mau berangkat sekolah, karena seragam pramukanya belum di setrika oleh Ibunya. Marina lupa, justru menyetrika yang putih merah.

Tidak hanya kali ini Marina bersikap seperti itu, dulu waktu suaminya masih hidup pun sama. Bahkan, pernah suatu saat, Marina menyajikan kopi untuk suaminya yang rasanya tidak karuan. Karena dia salah mengambil gula, yang dia ambil justru garam. Terbayang kan, bagaimana rasa kopi itu.

Sampai suaminya meninggal. Itu semua gara-gara Marina. Waktu itu, suaminya sedang berselingkuh dengan Mirna. Wanita cantik berkulit putih, Penjual kopi di warung pojok. Nah, suatu ketika Marni menjumpai mereka sedang berduaan, menjalin kasih di sebuah gubuk liar pinggir sawah.

Anehnya, Marina sama sekali tidak terlihat cemburu. Dia tidak marah melihat suaminya bersama Mirna. Bahkan sesampai di rumah, Marina masih mau membuatkan secangkir kopi untuk suaminya. Tapi, lagi-lagi Marina sangat teledor. Dia salah ambil lagi, bukan gula tapi pupuk pestisida. Terang saja, setelah meminumnya, suaminya langsung kejang-kejang dan mulutnya berbusa hingga mati.

Semenjak jadi janda, untuk menyambung hidupnya, dia melanjutkan usaha suaminya. Usaha itu sudah turun temurun. Dari bapaknya, kakeknya, buyutnya terus hingga nenek moyangnya semua menggeluti usaha itu. Yaitu usaha tambal ban.

Meski suaminya tak pernah menularkan ilmu tambal ban itu padanya, namun  Marina tetap yakin, bahwa dia bisa menguasai ilmu itu. Dengan mempelajari buku peninggalan suaminya.

Buku itu adalah peninggalan nenek moyangnya, ejaannya saja masih seperti zaman penjajahan. Buku itu selalu disimpan dengan baik oleh suaminya. Di sebuah peti kayu mirip kotak amal, yang katanya sangat keramat. Setiap tanggal satu suro, buku itu dibersihkan, dan di kasih kembang tujuh rupa.

Sebelum mempelajari, tak lupa Marina menyempatkan untuk menziarahi makam suaminya. Tak lupa dia ajak Budi anaknya.

"Ayo Bud, kamu pimpin doa." Pinta Marina kepada anaknya.

"Ibu saja ... Budi belum bisa."

"Lho, kamu kan sekolah, masak gitu aja tidak bisa Bud?"

"Hehe ... Bu, pelajarannya belum sampai situ. Sekarang itu baru belajar doa sebelum makan dan doa sebelum masuk WC." Jawab Budi sekenanya.

"Terus gimana ini Bud?"

"Yaudah, Ibu saja ... Nanti Budi yang amini. Amin .... amin ... gitu bu, Budi hafal kalau Cuma amin amin."

"Masalahnya Ibu juga tidak bisa Bud, dulu pas pelajaran itu, Ibu membolos. Diajak bapakmu nonton sepak bola di lapangan desa."

"Waduh ... terus gimana Bu?"

"Yaudah kamu doa saja sembarang. Yang kamu hafal. Terserah ...."

"Doa mau makan boleh Bu?"

"Ehm .... gimana ya?" Marina, mengernyitkan dahinya. "Ya tidak apa-apa lah."

"Okay Bu ....." Budi langsung siap-siap. "Allahumma ....."

"Nanti Bud ... Nanti dulu, perasaan Ibu kok tidak enak."

"Kenapa Bu?"

"Masak mau makan? Memangnya kamu berdoa untuk cacing-cacing yang akan menyantap jasad bapakmu? Ganti yang lainnya."

"Doa mau masuk WC bu?"

"Ehm ... ya boleh boleh ....."

Budi sudah bersiap-siap .....

"Eh Nanti Bud, perasaan Ibu juga tidak enak. Ya memang bapakmu itu, semasa hidupnya, baunya seperti WC yang sudah penuh. Masak mendoakan pakai doa itu juga?"

Hingga langit gelap, kelelawar mulai keluar dari sarangnya, terbang dan menari indah di angkasa. Suara panggilan Shalat, sahut-menyahut, dari utara, barat dan selatan. Suasa pekuburan itu menjadi sepi.

"Bu, Aku takut. Ayo kita pulang saja Bu. Budi nanti juga masih harus mengerjakan PR matematika." Budi merengek kepada Ibunya.

"Tapi, kita kan belum berdoa untuk bapakmu Bud."

Tiba-tiba, dari arah pojok pekuburan, di balik pohon besar yang sudah berusia ratusan tahun, muncul penampakan serba putih.

"Bu ... Lihat bu, di balik pohon itu Bu."

"Ada apa Bud?"

"Itu Bu ...." Budi menunjuk ke arah sosok yang serba putih itu.

"Ibu lihat Bud ... apa itu Bud ... ?"

"Hantu mungkin Bu ... Lari Bu ..." Teriak Budi.

"Iya Bud .... Lari ...."

Sosok  serba putih kemudian memanggil mereka berdua. "Berhenti .... berhenti ...."

"Lho ... Kok Pak Ustadz Hilman."

Ustadz Hilman mengatur nafasnya. "Wah kenapa kalian malah lari."

"Saya kira Hantu pak Ustadz." Jawab Budi seenaknya.

"Ngawur kalian ... Apa yang kalian lakukan di sini. Tidak ikut jamaah shalat maghrib, kok malah di kuburan."

Marina segera menjelaskan duduk permasalahannya kepada Ustadz Hilman. Kebetulan, saat itu, mulutnya tidak keseleo. Jadi Ustadz Hilman dapat menerima penjelasannya dengan baik.

 Ustadz Hilman kemudian mengajak Marina dan Budi untuk duduk sejenak di samping pusaran bapaknya. Beliau memimpin doa, Marina dan Budi ikut mengamini.

"Mbak Marina, harus ikut majelis taklim seperti ibu-ibu yang lainnya. Dan Budi, juga harus lebih rajin lagi berangkat ngajinya. Jangan hanya berangkat pas ada jajannya saja."

"Hehe iya, siap pak Ustadz." Jawab Budi.

Kemudian, Marni dan Budi segera pulang. Sampai rumah, sudah terlampau larut, waktu Maghrib telah usai. Mereka tak sempat melaksanakan shalat. Setelah mandi dan makan, Budi mengerjakan PR Matematika, dan Marina belajar ilmu tambal ban.

Tak disangka, Marina sungguh mewarisi ilmu suaminya. Meski perempuan, tapi tangannya sangat terampil untuk menembel setiap ban yang bocor milik pelanggannya. Baik ban sepeda maupun ban motor, Marina sanggup untuk menembelnya dengan baik.

Begitu juga dengan Budi, dia memang anak yang rajin. Selalu belajar tiap hari. Tapi sayangnya, Budi sudah jarang ikut ngaji di Musholla dengan Ustadz Hilman. Dia lebih senang belajar Matematika dan sejenisnya.

Marina memang kurang perhatian dengan Budi, dia terlalu sibuk, menerima pesanan jasa tambal ban. Jangankan membimbing Budi agar mau mengaji, bahkan dia saja tidak pernah ikut dalam kajian majelis taklim ibu-ibu di kampungnya.

Dia sudah lupa dengan peristiwa di kubur petang itu. Dia tidak tahu, bagaimana cara mendoakan suaminya. Begitu juga dengan Budi, tak bisa melantunkan doa di pusaran bapaknya. Bukankah doa Budi, akan meringankan beban bapaknya di akhirat kelak? Dan tentu saja, akan menjadi pahala yang tak akan putus bagi Marina jika dia sudah meninggal? Entahlah, mereka berdua benar-benar terlena.

Hingga suatu ketika, Marina mengulang kebiasaannya. Teledor. Pada saat dia sedang menembel sebuah ban bocor. Ban itu di pompanya hingga mengembang. Kemudian di celupkan kedalam air. Terlihat ada gelembung-gelembung udara. Menandakan bahwa ban itu berlubang.

Dia angkat ban itu dari air, kemudian diamplas. Dengan potongan ban kecil berukuran persegi, dia rekatkan tepat pada lubang ban yang bocor. Selanjutnya, ban itu di press. Tangannya memegang sebotol bensin, untuk memanaskan alat press tersebut.

Tapi sial, Marina kembali teledor, bukannya bensin itu di tuangkan ke alat press, tapi malah dia minum. Hingga akhirnya, dia keracunan, mulutnya berbusa, kejang-kejang tak lama dia meninggal dunia.

Budi bersedih, sekarang dia hidup sebatang kara. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Budi harus bekerja. Dia membuka buku peninggalan ibunya. Buku tentang menambal ban. Lembar demi lembar dia pelajari. Hingga akhirnya, Budi menguasai, teknik menambal ban.

Usahanya maju pesat. Budi sekarang, sudah dikenal dimana-mana. Semua orang membutuhkan jasanya. Dia bisa menembel ban dengan sangat cepat serta hasilnya juga bagus. Banyak pelanggan yang puas. Bahkan dia berhasil memperlebar sayap bisnisnya, dengan membuka berbagai cabang tambal ban di luar daerah. Budi, sekarang sibuk menghitung uangnya yang terus menumpuk.

Di alam kubur, Marina terus bersedih. Budi, sebagai anaknya, yang mampu menjadi penawar atas dosa-dosanya, tak kunjung datang. Sementara kuburnya, makin menyempit, menghimpit tubuhnya. "Budi, tengoklah Ibumu ini ... meski sebentar ... dengan menyebut lafal Tuhanmu"

Selesai ....

Jepara, 26 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun