“Ya maaf, hehehehe!” kilahnya
Dia memperbaiki posisi duduknya. Dia ingin menikmati setiap detik kegiatan perkuliahan siang itu. Agar usahanya untuk pergi kuliah tak sia-sia. Agar aksi kebut-kebutan penuh resiko di jalan tadi sepadan. Agar sakit di kakinya bekas terjatuh di tangga tadi menjadi saksi.
“Eu, saya lanjutkan pembahasannya. Eu, jadi begini. Dalam membangun sebuah sistem informasi ada berbagai macam metode yang bisa digunakan ya. Diantaranya. Eu…” Pak dosen mencoba menjelaskan materi dengan tergagap. Tangannya sibuk menjamahi mouse berwarna kelabu. Sedangkan matanya terus saja memelototi laptop berprosesor dual core. Bergerak ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, yang entah apa.
“Waduh si Bapak penjelasannya luplep kieu euy.” (aduh si Bapak penjelasannya timbul tenggelam begini) Udin meledek. Namun dengan suara dipelan-pelankan karena takut ketauan.
“Iya bro. Kaya sinyal operato nihr” ucapnya menimpali. Juga dengan nada bicara yang sama.
“Wakakakakakakaka…” mereka berdua tertawa bersamaan.
Seisi kelas sudah mafhum, bahwa dosen yang satu itu tak pernah mempersiapkan materi untuk kegiatan perkuliahan yang dia ajar. Semua dilakukannya secara instan dan spontan. Mengacu pada informasi yang mereka dapat dari para senior, dosen ini selalu mengambil bahan ajar dari Google, tepat saat kuliah berlangsung. Sehingga pantas jika pada saat mengajar, persis seperti orang mengendarai kendaraan di kemacetan. Banyak terhenti saat menjelaskan materi.
Sementara di depan, pak dosen masih asyik menjelaskan dengan tidak jelas. Tak ada intonasi, tak ada titik koma dan tanpa emosi. Semuanya dilakukan dengan datar. Persis sosok robot di film-film. Pak dosen mungkin lupa bahwa di dalam kelas itu ada manusia asli, bukan robot. Tapi pak dosen cuek bebek. Di kelas yang penuh dengan mahluk sosial itu, pak dosen menjelma menjadi seorang autis yang asyik dengan dunianya sendiri. Sedangkan semua manusia yang ada di hadapannya tak ubah seperti sekumpulan benda mati.
Di luar perkiraan, para mahasiswa nampak rileks diperlakukan demikian. Mereka seolah tak perduli. Ada yang asyik mainin HP, ada yang sibuk berselancar di internet, ada yang ngobrol, ada yang sok serius merhatiin padahal ngantuk, ada pula yang ber selfie ria di depan kamera. Sebuah pemandangan yang kontras dan menggelikan.
Mahasiswa penghuni kelas eksekutif mayoritas memang sudah bekerja. Sehingga kegiatan perkuliahan di hari sabtu dan minggu yang mereka lakukan bukan lagi sebagai ajang mencari ilmu. Namun lebih ke sebuah aktivitas formalitas untuk mendapat secarik kertas sakti bernama ijazah.
Jadi wajar jika mereka abai dengan perlakuan manusia bertitel DE, O, ES, EN yang masih berasyik masyuk dengan laptop nya. Toh orientasi mereka bukan lagi mencari ilmu. Masing-masing punya misi yang berbeda. Akan halnya dengan dia yang rela melakukan semua kegiatan perkuliahan yang menjemukan dan melelahkan itu. Semata-mata untuk menyenangkan kedua orang tuanya, sebagai penebus dosa atas kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.