“Ya saya tau. Dari mana dulu kamu?” pria setengah baya berkumis tipis yang tengah duduk manis menjawab dengan sinis. Matanya yang agak sipit tak lepas dari layar laptop berukuran 14 inchi di hadapannya.
Teman-teman sekelasnya yang hadir di situ sejak tadi, tampak tersenyum nyinyir. Dari baris paling belakang Udin terlihat cekikikan sembari mengucapkan sesuatu. Dari gerakan bibirnya difahami bahwa dia mengatakan“Kasian deh lho!”
“Eu eu eu anu pak. Tadi saya kejebak di stopan Pasteur. Bapa tau sendiri kan gimana lamanya lampu merah di sana. Kalau pernah lewat pasti bapak jug…”
“Stop! cukup, silahkan duduk saja tak perlu bertele-tele.” Pak dosen mentekel gocekan argumennya dengan keras.
“Iiiiya pak, makasih” jawabnya terbata.
Tak ingin terjebak dalam situasi tak mengenaakkan itu, dia langsung mengambil tempat duduk paling belakang. Persis di samping Udin sahabatnya.
“Dari mana aja ente? Masa cuma dari Pasteur lama amit?
“Udah ah jangan dibahas. Bête nih.” tukasnya dengan wajah menekuk.
“Hey kalian. Sedang apa?” pak dosen menegur.
“Engga apa-apa koq pak” jawab mereka berdua, kompak.
Dia lalu mengeluarkanbinderdari tasbackpackkumal kesayangannya. Dibolak-balikannya lembaran-lembaranloose leafdi dalamnya dan terhenti pada sebuah pembatas. SIM LANJUTAN, rangkain alphabet tertulis besar-besar pada pembatas itu. Tak lupa sebuah pulpen pilot hitam dikeluarkannya pula dari tengah-tengahbinder. Cekrek! Suara binder yang terbuka membuat seluruh ruangan menoleh ke arahnya.