Wajahnya kemudian memerah. Lebih merah dari lampu merah. Dia marah atas sebuah keterhentian yang menghambat. Andai dia mampu menghentikan waktu, niscaya akan dia lakukan untuk menyeimbangkan keadaan.
Kemarahannya kian berkobar sebab dia tahu betul keterhentiannya terjadi pada sebuah stopan terlama di Bandung. Berdasarkan pengalamannya, tak kurang dari 15 menit dia harusstagnandi tempat itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Artinya keterlambatannya kian bertambah. Hilang sudah semangatnya untuk kuliah.
Namun tetiba bibirnya mampu membentuk segaris senyum, ketika dihadapannya terhampar pertunjukan yang mengeksploitasi seekor primata. Dengan kekang di leher, mahluk berbulu itu tampak malas ketika beratraksi mempertontonkan kelihaiannya. Bersepeda, naik engrang, berguling-guling, bergaya seperti hendak pergi ke pasar, sampai meniru gerakan orang solat. Persis sekali dengan dirinya. Dia ektase sesaat.
Tak lama berselang, senyum itu pupus dari bibirnya yang kehitaman. Lantas dia membandingkan dirinya dengan monyet itu. Ternyata mereka berdua sama saja. Sama-sama dikekang, sama-sama terkekang. Si monyet terkekang oleh majikan manusia nya, sedangkan dirinya terkekang oleh waktu yang membelenggu dan asa yang memerangkap. Bara kemarahan pun kembali menyapa. Melalap petak demi petak bangunan jiwanya. Terasa panas membakar dada.
Ting tung ting tung. Sebuah suara khas dari aplikasi pesan instan terpopuler mengagetkannya. Reflex dia mencabut kembali sebongkah BB yang telah diselipkannya ke dalam saku.
“Buruan woy dosennya dah masuk nih” demikian isi pesan dari seseorang dengandisplay nameUd1n Ker3n itu.
“Beuh ciyuss dah ada dosennya bro?“
“Beneran lah. Ngapain bohong.”
“Diabsen gak?”
“Belum sih. Makanya buruan. Ente posisi dimana emang?
“Kejebak di stopan Pasteur. Ente tau sendiri kan gimana leletnya stopan ini?”