CATATAN TENTANG BUKU "KETIKA JURNALISME DIBUNGKAM SASTRA HARUS BICARA"
***
"Hidup ini bisa kita buat agak lebih menyenangkan, jika kita memang 'menghendakinya'" (kutipan dari cerpen Salazar, karya Seno Gumira Ajidarma.)
***
Kalau Emha Ainun Nadjib identik dengan Markesot, maka Seno Gumira Ajidarma melekat erat dengan tokoh bernama Sukab. Tapi kali ini bukan Sukab maupun Markesot. Seno Gumira Ajidarma mendadak bicara tentang sastra dan jurnalistik.
Jurnalisme pada masa muda Seno tentu tidak seperti sekarang. Yang demikian bebas. Dulu orang setahu saya agak takut-takut untuk sembarangan menulis berita. Katanya bahkan kadang baru berani melangkah jika media lain sudah ada yang inisiatif melakukan sesuatu. Dan tidak terdengar ada teguran.
Dan hingga hari ini, wartawan akan jadi bulan-bulanan netizen jika terpeleset menulis sesuatu yang menyinggung. Makanya, kerja jadi wartawan itu kadang menjengkelkan. Harus menurut sama omongan netizen yang selalu benar.Â
Makanya wartawan harus punya kepekaan khusus, terutama dalam masalah SARA. Celakanya, frasa SARA kadang adalah kalimat yang super multitafsir. Menurut saya sesuatu ini nggak, tapi menurut dia iya. Semoga kita gak lagi menjadi bangsa yang menyukai kekerasan, dan teori konspirasi.
Di masa kebebasan berekspresi seperti sekarang, jangan sampai ruang yang longgar justru menciptakan celah untuk tindakan anarkis. Bertameng kebebasan berpendapat, bukan berarti semua orang boleh dihujat. Ingatlah tabiat kita adalah bangsa yang beradab.
Doktrin akan kebudayaan, jangan sampai menciptakan paham antikebudayaan. Yang justru menjadi hujan bagi jamur rapuh yang sedang berusaha mengembang. Alih-alih menyuburkan, hujan itu adalah pembunuhan.
Tapi sudahlah... Saya gak peduli.
Entahlah kenapa tiba-tiba saya membaca buku Seno Gumira Ajidarma yang ini. Tema-tema tentang jurnalistik agak menarik bagi saya akhir-akhir ini. Apa sih yang menarik? Entahlah... Mungkin saya sebatas nostalgia dengan kegiatan lama saya itu. Jadi wartawan di pondok. Mungkin terlihat gagah saat saya menyandang kamera DSLR jenis Canon D60 berharga puluhan juta itu.
Membaca buku sastra itu selalu menyenangkan. Bukan menyenangkan saat membaca inti kisahnya. Tapi menikmati bagaimana penulisnya bertutur cerita.
Seperti lagu, yang saya nikmati bukan liriknya. Tapi nada indah naik turun itu. Liriknya sih, kadang gak begitu penting. Bahkan dalam lagu-lagu Avril Lavigne yang demikian kasar itu sekalipun. Yang tak segan mencantumkan sumpah serapah.
Untung orang-orang di sekitar saya gak paham. Andaikan lagu itu berbahasa Indonesia, mungkin orang di sekitar saya akan bilang, "iku nyanyi ta misuh-misuh?"
***
Buku ini mengajak kita menelusuri kesejatian jurnalisme. Jurnalisme bukan hanya koran dan majalah. Seno Gumira Ajidarma membuktikan ini. Ternyata jurnalis juga bisa seorang sastrawan, cerpenis, atau apalah.
Saya terkekeh saat Seno menyebut bahwa Mpu Prapanca penulis buku Negarakertagama itu sebagai jurnalis. Mpu Prapanca adalah serupa "wartawan" bagi para sejarahwan. Yang menyelaraskan kebenaran dan kenyataan melalui bingkisan sastra.
Kitab Negarakertagama. Kenapa ya, saya gak terpikirkan tentang Negarakertagama? Itu sebenarnya bukan kitab sejarah. Tapi buku sastra. Makanya gak begitu bisa diandalkan untuk melacak kebenaran sejarah. Bukannya saya pernah membaca Negarakertagama. Jangankan membaca. Lihat isinya juga belum pernah.
Karena biasanya setiap kerajaan itu punya sastrawan, atau mungkin bahasanya penulis kisah suruhan raja. Maka mungkin dalam hal penulisan karya, mereka tidak bisa objektif. Kalau kata mereka yang memang berkecimpung dan mendalami dunia filologi, isi dari kitab-kitab sastra jaman dulu itu kadang berlebihan.
Mengisahkan kesaktian yang sundul langit. Hingga kekuatannya hanya mampu ditandingi oleh Thanos, Iron Man, dan Hulk.
Makanya, dalam merumuskan kenyataan, para sejarahwan lebih memilih membandingkan catatan masa lalu nusantara dengan tulisan "wartawan" luar negeri yang netral. Gak bekerja untuk siapapun. Seperti Tome Pires misalnya.
Sastra sudah ada sejak zaman baheula. Tapi terpaksa karena minim referensi, akhirnya kitab sastra dijadikan sedikit gambaran. Selain sumber lain yang jelas akuratnya seperti prasasti. Kalau prasasti, bukan lagi ranah filologi. Tapi epigrafi. Ilmunya sudah beda.
Kisah Seno Gumira Ajidarma tentang Negarakertagama karya Mpu Prapanca membuat saya mabuk kata-kata. Penuh angka tahun dan istilah asing yang gak begitu saya mengerti. Cepatlah selesai mbahas ini, sebelum saya kebosanan dan buku ini akhirnya saya tutup juga.
Negarakertagama memberikan cara lain yang lebih manusiawi bagi sejarahwan untuk meluruskan kisah masa lalu. Tidak harus belepotan tanah lagi, menggali prasasti dan mengais dengan hati-hati bongkah demi bongkah tanah. Demi menghindari pemalsuan sejarah.
Disitulah saat sastrawan, akhirnya bisa juga jadi seorang wartawan. Ketika kesusastraan akhirnya bisa membawa secercah kebenaran.
***
Apalagi yang menarik dari buku ini? Cerpen. Iya. Setelah membahas sastra kuno sekarang membahas cerpen. Cerpen sebagai media jurnalisme? Bagaimana ceritanya? Jika sastra bisa berupa kisah fakta, maka biasanya cerpen akan erat kaitannya dengan dunia fiksi.
Jawabannya adalah kekecewaan Seno saat dia kerja jadi wartawan. Yang dapat saya tangkap, dia menyindir kenyataan pada sebuah peristiwa sensitif dengan cerpen-cerpennya. Dia menyelubungkan maksud tersembunyi dibalik diksi dan kata-kata cerpen yang seolah menghibur. Karena mungkin waktu itu kebebasan menulis masih sangat terbatas.
***
Saya tertegun membaca review antalogi cerpen Budi Darma. Ini cerpen atau apa? Kok "melanggar pakem". Aneh saat ada cerpen kok sepanjang itu. Buku "Orang-orang Bloomington" itu loh... Saya sendiri akhirnya belum pernah baca bukunya.
Oh tidak... Saya ingat cerpen itu! "Aku Pembunuh Munir." Â Cerpen tulisan Seno Gumira Ajidarma sendiri. Saya sudah lupa isinya. Tapi sahabat saya Hisyam Syafiq Hisyam Abbas pernah me"remake" cerpen itu. Entah dia mau mengakui atau tidak. Saya tak peduli. Yang jelas, dia seperti menjiplak ide Seno Gumira Ajidarma. Maaf Sam, aku tidak bermaksud menuduh kamu mempraktekkan kejahatan plagiarisme. Hehehe...
***
Kemudian saya terkesiap membaca kalimat Putu Wijaya. Sialnya saya sudah keduluan sama beliau. Mengapa gak dari dulu saya memilih diksi ini? Padahal ide ini sudah tertanam dalam kepala saya sejak lama. Saya kecolongan.
"Cerpen yang ditulis dalam lima belas menit bisa jadi masterpiece." Ditambah oleh Seno, "dan tentunya karya yang ditulis berbulan-bulan bisa menjadi sampah."
Saya ingin menggunakan kalimat itu. Tapi sudah keduluan sama beliau berdua. Betapa sebuah karya kadang gak ditentukan oleh bagus atau tidak isinya. Seberapa keras dan seberapa banyak tetes peluh penulisnya. Tapi juga hal paling penting adalah keberuntungan. Ide yang besar, harus diimbangi juga dengan keberuntungan yang jauh lebih besar.
Lihatlah kisah pak Bondan Winarno ini, "Tak heran bila cerpen-cerpen saya justru 'meletus' pada saat kesibukan memuncak. Adakalanya ketika saya menghadapi deadline, justru saya
sisihkan semua pekerjaan dan menyelesaikan sebuah cerpen. Lalu saya merasa lega. Dan kelegaan itu membuat saya menyelesaikan tulisan deadline seperti kesetanan.
Jangan heran. Saya memang penulis cepat.
Ada yang bilang bahwa saya ini sebenarnya bukan penulis, tetapi perajin, atau tukang tulis. Sebuah cerpen dapat saya selesaikan dalam waktu dua jam. Sering kali kurang dari itu. Ada yang saya tulis di dalam mobil - di sebelah istri saya yang mengemudi - ketika berpesiar ke gunung. Kebanyakan -- dan memang yang terbanyak - saya tulis di bandar udara atau dalam penerbangan." (Sebuah Antidote dalam Caf Opera, hlm. 2).
Wow, itu kisah dibalik dapur kreatif seorang penulis senior yang luar biasa. Pak Bondan Winarno tetap bisa cari-cari waktu untuk menulis. Ketika mengendarai mobil, bahkan ketika kepala sumpek akibat dikejar deadline. Bukannya merampungkan tugas, malah bikin cerpen sebagai hiburan. Kehidupan seniman memang biasanya selalu nyentrik.
***
Lewat buku ini akhirnya saya tahu ada puisi yang jauh lebih pendek dari karya Sitor Situmorang yang "bulan diatas kuburan" itu. Tulisan Sutardji Calzoum Bachri. Judulnya "Luka". Isinya? Cuma kalimat "ha ha."
______
Luka
Ha ha
1976
(Sutardji Calzoum Bachri)
_______
Saya benar-benar gak mengerti sastrawan kok menulis puisi semacam itu maksudnya apa. Luka, Ha ha... Apa maksudnya? Jalan pikiran dan imajinasi macam apa yang dimiliki para sastrawan? Akankah itu menjadi misteri dunia...
***
Saya tertawa geli. Kata Seno, cerpen sesekali bukan lagi jadi bahan hiburan. Orang membaca cerpen malah jadi sakit hati. Karena sebuah cerpen akan "membangkitkan lara." Kadang mengisahkan kepedihan. Menceritakan kemiskinan. Menyorot ketidakadilan. Sungguh bikin pilu, bukannya menghibur diri.
***
Sedangkan dalam teori, sebenarnya saya malas bahas teori. Teori selalu membatasi kreatifitas. Membatasi ruang bereksperimen yang seharusnya bisa memperkaya dan menciptakan banyak aliran-aliran baru dalam khazanah kesusastraan. Terlalu menurut teori, gak akan jadi orang yang berkembang kalau kata saya. Akhirnya ya itu-itu saja. Gak berani mendobrak dengan ide gila. Takut dikira melanggar prinsip.
Dalam teori, cerpen adakalanya fiktif. Tapi adakalanya juga faktual. Dan saya gak peduli definisinya. Masa bodoh. Baca cerpen saja malas-malasan, kok disuruh hafalan definisi pula.
Bahaya sebuah cerpen dari sudut pandang sastrawan adalah tidak laku. Cerpen yang mengandalkan cara bertutur itu kadang sepi peminat. Justru roman picisan dan kisah yang pokok bagaimana happy ending adalah yang diminati.
 Pembaca lebih peduli pada cerita. Dan gak peduli lagi pada sastra dan seni bertutur yang mampu mengabadikan kisah itu. Dunia sastra sekarat, diganti dunia komersialisasi. Pokoknya orang lebih suka akan bacaan instan.
Maka, seperti kata Seno, ramuan kata-kata adalah mantra terbaik untuk mengikat pembaca. Kisah absurd bisa jadi luar biasa saat dibumbui dengan kalimat manis. Namun kisah fantastis akan berakhir hambar bila penuturnya bercerita dengan gaya monoton.
***
Dan seperti saya pernah bilang, tak perlu mengaitkan pengalaman pribadi penulis dengan hasil akhir karyanya. Kita pembaca tinggal menikmati kok ndadak ribut. Lukisan Van Gogh itu gak ada hubungannya dengan riwayat hidup pelukisnya. Tinggal nikmati saja goresan itu, sebagai bentuk atas saksi perkembangan seni lukis di Eropa.
Menjadi penting saat anda juga sama-sama pelaku kreatif. Anda juga menciptakan seni. Maka gali-gali rahasia sesama seniman, atau sekedar tukar pengalaman itu penting. Agar seniman lain bisa belajar untuk membuat karya yang minimal punya kualitas sama. Atau bahkan bisa lebih indah lagi.
Bagi sesama penulis, belajar teknik dapur menulis itu penting. Meskipun sebenarnya itu adalah rahasia dan misteri yang berusaha disembunyikan setiap pelaku kreatif.
Di dunia ini apa sih yang orisinil? Tak ada yang baru dibawah matahari. Apa yang seorang penulis hasilkan, kadang adalah sekumpulan ide turunan. Inspirasi. Atau plagiarisme yang tak akan pernah mau untuk diakui.
Ada yang menulis sesuatu tentang A, maka bisa jadi akan ada orang lain yang mengekor dengan karya lanjutan yang mirip-mirip. Berangkat dari sebuah kekaguman. Dan karya lanjutan itu justru beberapa lebih bagus dari karya orisinilnya. Tak ada yang salah dalam hal ini.
Pertama, ada orang yang membuat roda kayu. Selanjutnya ada yang menyempurnakan itu. Menjadi roda ban karet. Terus disempurnakan menjadi roda lain yang jauh lebih canggih. Seperti itu juga kadang sebuah karya tulis lahir.
Tapi tanpa tabayun dan bertanya kepada pengarang, kita gak akan tahu proses kreatif mereka. Yang kita tahu akhirnya hanya dugaan. Kira-kira. Bahasa Seno, "kita hanya bisa menduga garis besarnya."
Tapi Seno Gumira Ajidarma berbaik hati pada kita. Dia membocorkan kisahnya menulis cerpen "sepotong senja untuk pacarku."
Cerpen itu diangkat jadi judul buku. Salah satu kesukaan sahabat saya, bernama pena Fasrori Firdaus Asrori Ma'shum. Dia dulu mengoleksi cerpen-cerpen Seno. Dan saya kebagian durian runtuh karena jadi bisa dapat bahan bacaan gratis tanpa harus keluar uang untuk beli buku. Makasih mas. Sekarang anda sudah punya buku antalogi segala. Super sekali anda... Hehehe.
Itu adalah kisah tentang Seno yang berencana "memindahkan" keindahan senja ke dalam sebuah puisi. Namun gagal, dan justru jadinya malah sebuah cerpen.
Benar kata Seno. "Karena bagi saya pun, segala tetek bengek dibalik lahirnya cerpen-cerpen itu, sebenarnya merupakan masalah yang paling pribadi. Ketika catatan ini dibaca orang banyak, dan go public, maka semua itu menjadi pernyataan. Apa boleh buat. Bisa dihubungkan, bisa pula tidak usah dihubungkan, dengan cerpen-cerpen tersebut."
Saya juga menggarisbawahi kalimat Seno dibawah ini.
"Rasanya saya sudah bicara terlalu panjang, apa lagi jika itu menyangkut tentang cerpen-cerpen saya sendiri. Sekali lagi harus saya nyatakan, kisah-kisah di balik lahirnya sebuah cerpen barangkali bisa seru, tapi adalah cerpen itu sendiri yang dipertaruhkan untuk bicara.
Barangkali catatan semacam 'obsesi dan prosesi di balik penulisan cerpen' hanya bagus sebagai artikel lepas saja, sebagai bacaan di kala senggang, tidak harus dihubungkan langsung dengan - dan tidak menyumbang - kepada --- itu sendiri.
Meski begitu, dari semacam perenungan
kembali ini, saya mencatat satu hal: imajinasi tidak mampu melepaskan fakta dari kebenaran, barangkali ia menjadi fiksi, tapi tetap kebenaran. Mudah-mudahan."
***
Dan Seno membagi seni dalam dua hal. Ada yang sebaiknya dijelaskan maksudnya. Dan ada yang sebaiknya tidak. Tapi saya kurang bisa menangkap kejelasan poin pertama.
***
Kerja jurnalistik sebenarnya bukan terkait estetika. Bukan memperhatikan keindahan bahasa. Tapi terkait fakta. Bagaimana sebuah informasi bisa disampaikan. Wartawan patut diapresiasi saat mereka berani membeberkan fakta dengan akurat, terutama dalam hal yang sensitif. Dan jika mereka mampu memberikan pemberitaan yang super ekslusif. Mungkin itulah nilai kepuasan tersendiri seorang wartawan.
Tapi tak semata-mata nulis karena nekat. Tentunya harus memperhatikan maslahat dan kepentingan publik juga. Jangan sampai media massa kok menghancurkan negara sendiri dengan tulisannya.
Dari buku ini, Seno Gumira Ajidarma membuktikan, bahwa hipotesis saya keliru. Ternyata sastra sebagai media ekspresi yang ambigu, bisa juga digunakan sebagai alternatif untuk menyampaikan pendapat dan kebenaran.
Saya terkesan dengan cara Seno Gumira Ajidarma bertutur dalam setiap cerpennya. Gayanya saya suka. Saya paling suka membaca cerpen "Keroncong Pembunuhan". Seingat saya judulnya itu. Cerpen satu itu terus terngiang-ngiang di kepala saya. Bertahun-tahun lamanya. Sampai sekarang. Dan sedikit banyak mempengaruhi warna tulisan saya selama ini.
Kita gak bisa mendefinisikan "bagus" dengan artian yang tepat. Sebab bagus itu sendiri adalah persepsi. Dan kembali kepada selera masing-masing.
Bisakah anda menjelaskan rasa durian, kepada orang yang belum pernah memakannya? Sehingga seolah-olah orang tersebut tahu apa yang kita rasakan? Seperti mampu merasakan rasa yang sampai di lidah kita?
***
Saya ingin mencatat kalimat penting ini,
"Lepas dari semua ini, sebenarnya sebelum kita mencapai urusan fiksionalisasi maupun faktualisasi, rasanya tegur menegur itu salah alamat jika ditujukan kepada teks, kecuali jika merupakan kritik tekstual - seberapa jauh tekstualisasi, sebagai fakta maupun fiksi, berdialog dengan sejarah, dengan realitas, dengan kebenaran.
Tepatnya: Yang "benar alamat" adalah membuat realitas Timor Timur lebih baik, bukan menindas teks, sebagai fiksi maupun nonfiksi. Dari situasi ini kita tahu: teks kebenaran diburu oleh suatu kekuasaan di belantara fakta, dan masih juga diburu meski sudah menghindar ke lautan fiksi.
Jangan sampai teks kebenaran itu terus diburu ketika masih berada di dalam kepala, karena logikanya kepala-kepala yang menyimpan teks kebenaran ini harus dipenggal. Memang, ada masalah besar dengan akal sehat.
Dari sini, sebuah perbincangan bisa dimulai." (Halaman 119-120)
Kalimat ini juga ingin saya simpan.
"Perkenankanlah saya mengajukan pendapat
bahwa fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi makna kepada dunia dan kehidupannya.
Di dalam makna itulah terkandung tanggapan dan tafsiran manusia. Fakta bisa merentang dari sekadar sebuah laporan jurnalistik sampai kepada hasil penelitian yang paling ilmiah. Fiksi dalam peradaban manusia telah memperkenalkan seribu satu macam bentuk.
Fakta diterima berdasarkan suatu konsensus yang telah disetujui bersama, itulah konsensus tentang bagaimana caranya segala hal yang masuk akal diterima sebagai kenyataan.
Fiksi tidak mempunyai konsensus, karena tidak ada kategori dan kriteria apa pun yang bisa berlaku bagi imajinasi, namun tetap ada suatu konsensus bahwa dengan suatu cara tafsir-menafsir dalam persetujuan tertentu, maka fiksi dianggap mencerminkan kembali kenyataan." (Halaman 153)
Meskipun kita tahu, sastra tetap saja sastra. Yang merupakan media remang-remang dan rawan salah tafsir untuk menjelaskan keadaan yang sejati.
"Tetapi fakta maupun fiksi tetaplah konstruksi manusia, bukan kenyataan itu sendiri.
Menarik untuk diikuti bahwa ternyata fakta maupun fiksi tidak bisa mengklaim kenyataan secara mutlak. Kenyataan itu menghadirkan dirinya, mengada ke dalam sejarah, lewat suatu proses komunikasi yang tidak pernah terputus. Fakta apa pun, fiksi mana pun, hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu.
Menjadi jelas di sini, bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung-dalam arti menjadi sangat relatif.
Dengan begitu, jika konstruksi kenyataan hanyalah boleh dipercayai sebagai salah satu simbol dalam hiruk pikuk proses penanggapan dan penafsiran, apakah yang masih bisa dipegang dalam sebuah teks?
Tepatnya, apakah moralitas dari pembuatan suatu teks? Jawabannya ternyata masih klise: kebebasan dan kejujuran. Apakah saya bebas, barangkali masih bisa dilacak. Apakah saya jujur, hanya saya sendiri yang tahu telah mencoba mengaku. - namun saya mencoba untuk mengaku." (Halaman 155-156)
"Kesimpulan: Ketika jurnalisme dibungkam,
sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran.
Dalam cerpen-cerpen saya, saya tidak pernah menyebut Timor Timur atau Insiden Dili secara eksplisit, tapi toh kebenaran itu bisa sampai apa pun bentuknya. Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang." (Halaman 111)
Banyak kutipan bagus yang belum sempat saya tulis. Karena saya belum benar-benar selesai baca buku ini.
***
Hmm, saya ingin bernostalgia. Siapa lagi kawan saya di dunia "jurnalistik" dulu yang belum saya sebutkan namanya dalam tulisan ini?
Senior sekaligus munawwib saya kiai Said Albirroe semoga selalu Padang lan jembar disana. Ustadz Saiful Asyhad atau Saiful Asyhad yang saya kagumi. Mas kiai Ahmad Fauzan  senior saya. Mang Muhammad Al Faris selaku mentor saya, ustadz Khalil Stark guru (anda adalah munawwib saya) dan senior saya yang membuat saya sadar dunia fotografi itu indah, pak Nu'man Abdul Ghoni yang selalu saya repoti untuk membimbing seksi kami. Juga cak Zulfa yang gak berani saya tag. Kiai Lana Wiraraja apa kabar? Mas Arif Rahman Hakim Syadzali  pimred saya dengan sejuta inovasinya, mas Anwarul Masalik yang menjadi inspirasi saya dalam otak-atik Corel Draw dan Adobe Photoshop. Kang Abdul Basit NA yang biasa saya suruh-suruh jadi sopir kemana-mana, mas Josayik yang udah bahagia sama "yang disana". Bung Maimun Niqo yang belum pernah ngopi dengan saya, yik Tubagus Godhonfar dan puisi-puisinya yang eksentrik. Mas Hasanudin  yang selalu tersenyum bersahaja. Kiai IIp Syifa  apa kabar? Kiai Muhai Ahmad yang sungguh saya kagumi tulisan-tulisannya. Terutama cerpen berjudul Ayam itu. Lucu sekali. Saya masih ingat selalu cerpen itu.
Kawan-kawan di Misykat TDP2L dan PULP kiai Shomad Ar-rumi kiai Muhammad Syifa, kiai Sholahuddin Al Ayyubi pak Muhammad Zakaria, mas Fikar Syifa Kousterma masih ingatkah kalian dengan saya?
Kawan seperjuangan di karya ilmiah, banyak sekali... Bagaimana kabar bukunya M Syarif Subhan? Sekjen Hanif Abdul Muid kerjanya beres gak nih, mas Enzi Usman yang gak main Facebook mungkin. Mas Aang Lirboyo dengan sejuta inspirasi. Mas Abul A'la Nwyang bersemangat dan berpotensi. Mas Muhammad Aqil Fajri yang malu-malu. Mas Ilham Frq yang menjadikan motto diam itu emas. Mas mustahiq P3TQ Abdul Halim Shinichie Kudho, sayang sekali kok bakatnya gak diasah.
Colek mas Agung Wicaksono Wasyem, buku saya seharusnya selesai lebih dulu dari buku sampean.
Terakhir, sahabat yang sudah menyadarkan bahwa waktu yang masih saya miliki saat ini sungguh sangat berharga. Setiap detiknya. Setiap menitnya. Mas Syah Muhammad Mahmud Nasih fi Amnillah Muhammad Al Madad. Encep Muzani. Nova Awaluddin dan lain-lain. Beruntunglah kalian bisa sowan Gusti Allah SWT kelak dalam keadaan syahid. Alfatihah buat kalian...
Kita hidup dengan kenangan. Saat kita merasa sendirian, kita bisa mengingat kenangan-kenangan indah itu. Dan bisa tersenyum karena seolah-olah dikelilingi banyak orang.
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca, walaupun satu paragraf. Setidaknya satu paragraf itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Wallahu a'lam...
16 Mei 2020
Bacaan lanjutan:
Ini bukan cerpen. Tapi bedah cerpen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI