Dari buku ini, Seno Gumira Ajidarma membuktikan, bahwa hipotesis saya keliru. Ternyata sastra sebagai media ekspresi yang ambigu, bisa juga digunakan sebagai alternatif untuk menyampaikan pendapat dan kebenaran.
Saya terkesan dengan cara Seno Gumira Ajidarma bertutur dalam setiap cerpennya. Gayanya saya suka. Saya paling suka membaca cerpen "Keroncong Pembunuhan". Seingat saya judulnya itu. Cerpen satu itu terus terngiang-ngiang di kepala saya. Bertahun-tahun lamanya. Sampai sekarang. Dan sedikit banyak mempengaruhi warna tulisan saya selama ini.
Kita gak bisa mendefinisikan "bagus" dengan artian yang tepat. Sebab bagus itu sendiri adalah persepsi. Dan kembali kepada selera masing-masing.
Bisakah anda menjelaskan rasa durian, kepada orang yang belum pernah memakannya? Sehingga seolah-olah orang tersebut tahu apa yang kita rasakan? Seperti mampu merasakan rasa yang sampai di lidah kita?
***
Saya ingin mencatat kalimat penting ini,
"Lepas dari semua ini, sebenarnya sebelum kita mencapai urusan fiksionalisasi maupun faktualisasi, rasanya tegur menegur itu salah alamat jika ditujukan kepada teks, kecuali jika merupakan kritik tekstual - seberapa jauh tekstualisasi, sebagai fakta maupun fiksi, berdialog dengan sejarah, dengan realitas, dengan kebenaran.
Tepatnya: Yang "benar alamat" adalah membuat realitas Timor Timur lebih baik, bukan menindas teks, sebagai fiksi maupun nonfiksi. Dari situasi ini kita tahu: teks kebenaran diburu oleh suatu kekuasaan di belantara fakta, dan masih juga diburu meski sudah menghindar ke lautan fiksi.
Jangan sampai teks kebenaran itu terus diburu ketika masih berada di dalam kepala, karena logikanya kepala-kepala yang menyimpan teks kebenaran ini harus dipenggal. Memang, ada masalah besar dengan akal sehat.
Dari sini, sebuah perbincangan bisa dimulai." (Halaman 119-120)
Kalimat ini juga ingin saya simpan.