1976
(Sutardji Calzoum Bachri)
_______
Saya benar-benar gak mengerti sastrawan kok menulis puisi semacam itu maksudnya apa. Luka, Ha ha... Apa maksudnya? Jalan pikiran dan imajinasi macam apa yang dimiliki para sastrawan? Akankah itu menjadi misteri dunia...
***
Saya tertawa geli. Kata Seno, cerpen sesekali bukan lagi jadi bahan hiburan. Orang membaca cerpen malah jadi sakit hati. Karena sebuah cerpen akan "membangkitkan lara." Kadang mengisahkan kepedihan. Menceritakan kemiskinan. Menyorot ketidakadilan. Sungguh bikin pilu, bukannya menghibur diri.
***
Sedangkan dalam teori, sebenarnya saya malas bahas teori. Teori selalu membatasi kreatifitas. Membatasi ruang bereksperimen yang seharusnya bisa memperkaya dan menciptakan banyak aliran-aliran baru dalam khazanah kesusastraan. Terlalu menurut teori, gak akan jadi orang yang berkembang kalau kata saya. Akhirnya ya itu-itu saja. Gak berani mendobrak dengan ide gila. Takut dikira melanggar prinsip.
Dalam teori, cerpen adakalanya fiktif. Tapi adakalanya juga faktual. Dan saya gak peduli definisinya. Masa bodoh. Baca cerpen saja malas-malasan, kok disuruh hafalan definisi pula.
Bahaya sebuah cerpen dari sudut pandang sastrawan adalah tidak laku. Cerpen yang mengandalkan cara bertutur itu kadang sepi peminat. Justru roman picisan dan kisah yang pokok bagaimana happy ending adalah yang diminati.
 Pembaca lebih peduli pada cerita. Dan gak peduli lagi pada sastra dan seni bertutur yang mampu mengabadikan kisah itu. Dunia sastra sekarat, diganti dunia komersialisasi. Pokoknya orang lebih suka akan bacaan instan.