Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah tentang Sajak Terpendek Satu Baris dan Bagaimana Cara Saya Menikmati Karya Seni

10 Mei 2020   05:10 Diperbarui: 11 Mei 2020   17:18 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pinterest.com/retne_

Ada kisah unik dibalik sajak super singkat yang hanya satu baris. Salah satu sajak Sitor Situmorang. Sastrawan senior Indonesia. Saya belum pernah membaca sajak sesingkat ini sebelumnya.

***

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

***

Iya, serius. Sajaknya begitu. Judulnya Malam Lebaran. Dan isi sajaknya hanyalah kalimat "Bulan di atas kuburan." Katanya masuk buku antologi puisi berjudul "Dalam Sajak" yang terbit sekitar tahun 1955 M.

Tapi berhubung yang nulis adalah Sitor Situmorang, dan juga konon pernah dimuat di majalah Zenith pula, maka karya tersebut tetap tak lekang oleh waktu. 

Karya singkat itu mungkin menjadi sangat menginspirasi, dan melahirkan banyak penafsiran. Menciptakan banyak interpretasi. Dan komentar yang beragam. Pembahasan tentang sajak itu jauh lebih panjang daripada sajak itu sendiri. Atau bahkan mungkin proses kreatifnya.

Saya menemukan tulisan dibawah ini di buku Proses Kreatif yang disusun oleh Pamusuk Eneste. Kisah bagaimana Sitor Situmorang bisa membuat sajak "misterius" seperti itu.

Menurut pengakuan Sitor, pada suatu sore di tahun 1954, beberapa hari setelah Lebaran, ia ingin berlebaran ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Tetapi alangkah kecewanya Sitor karena rumah Pram kosong. Saat itu, hari pun sudah malam.

Selanjutnya, Sitor bertutur:

"Pulang dari daerah perkampungan tempat tinggalnya, yang berselokan-selokan mampet yang bau busuk, saya kesasar ke suatu tempat yang penuh pohon-pohon tua dan rimbun, serta dikelilingi tembok. Ada bulan. Karena kepingin tahu ada apa di balik tembok yang seperti tembok loji di Jawa itu, saya mendekatinya. Berdiri berjingkat, di atas seonggok batu di kaki tembok, saya berhasil melongok mencari tahu ada apa di balik tembok itu: ternyata pekuburan berisi berbagai ragam bentuk kuburan berwarna putih, tertimpa sinar bulan di sela-sela bayangan dedaunan pepohonan!"

"Pekuburan orang Eropa penuh
tanda salib! Saya terpesona, sejenak saja, mungkin hanya beberapa detik, mengamati tamasya itu! Bahkan terpukau seperti tersihir.
Saya lalu berpaling, turun dari anggokan batu. Rasa kecewa kini diharu biru oleh kesan bulan di atas kuburan."

"Kesan yang terumus dalam kata-kata secara spontan itu, terucap dalam hati berulang-ulang, terus-menerus memburu
ingatan.."

Demikian kisahnya, konon proses kreatif sajak itu yang sebenarnya. Sitor Situmorang yang "tersesat" ke sebuah kuburan. Dalam suasana redup dibawah temaram sinar bulan. 

Kemudian ada kalimat "bulan di atas kuburan" yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Lalu Sitor Situmorang menginterpretasikan itu dalam sebuah sajak.

Sederhana sekali bukan sebenarnya?

Tapi lihat bagaimana orang menafsirkan karya tersebut. Menjadikan karya itu memiliki seribu arti di lisan dan pemahaman pembacanya. Makna tafsiran pembaca kalau boleh saya bilang, kadang jauh lebih luas dari yang dikehendaki penulisnya sendiri.

JU. Nasution misalnya. Katanya menafsirkan sajak itu dengan bulan di malam tahun baru. Bukan malam lebaran. Sebab tidak logis sebuah bulan utuh muncul di malam lebaran. Yang artinya adalah awal bulan. Bulan purnama mestinya ada di tengah tanggal. Bukan di awal tanggal seperti malam satu Syawal.

Lain JU. Nasution, lain Subagio Sastrowardoyo. Beliau menafsirkan bulan itu tetap di malam lebaran. Tapi sebagai wujud perlambangan. Mungkin sebuah simbolisme akan suatu hal. Bukankah sajak adalah bahasa yang sarat makna?

Banyak lagi yang mencoba mengartikan sajak itu. Seperti Umar Junus.

Mungkin masih banyak lagi. Saya gak tahu. Orang mencoba menguraikan misteri dibalik sajak itu. Apa sih maksud sajak itu? Demikian mungkin orang bertanya. Lalu dengan bebas mereka mengartikan. Atau lebih tepatnya mungkin, menikmati sajak itu dengan cara mereka masing-masing.

Sajak singkat itu menelurkan sejuta pemahaman, dalam benak sejuta pembaca. Saya mungkin memahami sajak itu demikian. Dan anda memiliki pemahaman lain. Bebas tafsiran. Karena gak ada pedoman baku atau undang-undang.

Tapi begitulah sebuah sajak bekerja. Penulis melahirkan karya, dan pembaca menikmatinya. Lalu mereka menafsirkan itu sesuai pemahaman masing-masing.

Tidak hanya sajak. Seni semuanya menurut saya demikian. Seni itu banyak. Puisi, lukisan, lagu, dan bahkan prosa.

Setiap sajak memiliki sejarah. Memiliki kisah kenapa penggubah memakai kosa kata demikian. Memiliki riwayat yang mungkin terkait dengan kehidupan penulisnya. Mengapa dia memilih diksi itu. Kenapa judulnya kok harus itu.

Dari sebuah ide, bercampur pengalaman, dipadukan suasana, dan berakhir pada sebuah karya. Kadang hanya dengan ide saja akhirnya akan menguap dan hilang. Karena penulis gagal menangkapnya dalam bentuk sebuah tulisan.

Tapi pembaca saya kira gak butuh itu. Yang mereka butuhkan adalah membaca dan menikmatinya. Seperti lagu. Gak perlu tahu sejarahnya. Gak perlu tahu mengapa penggubah lagu itu memilih nada demikian. Cukup kita dengarkan dan nikmati. Dan pilihlah lagu atau sajak manapun yang sesuai dengan suasana hati dan suasana lingkunganmu.

Ngomongin sajak singkat, sebenarnya menurut saya ada sajak yang jauh lebih singkat lagi. Namanya "kebisuan". Karena tak setiap makna butuh bahasa. Bahasa bisu mungkin kesejatian lain dari komunikasi jiwa kita dan alam sadar. Bagaimana kita berusaha membaca jutaan sajak dalam hati. Entahlah...

Ada yang ingat lagu ini?

"I see a little silhouetto of a man...

Scaramouche, Scaramouche, will you do the Fandango? Thunderbolt and lightning, very, very fright'ning me. (Galileo!) Galileo. (Galileo!) Galileo, Galileo figaro.... Magnifico...

I'm just a poor boy, nobody loves me...
(He's just a poor boy from a poor family)
Spare him his life from this monstrosity...
(Easy come, easy go, will you let me go.)"

Iya, itu lagunya Queen yang berjudul Bohemian Rhapsody. Lagu itu begitu terkenal pada masanya. Sampai film Wayne's World (1992) memuat lagu ini dalam salah satu scenenya. 

Salah satu lagu paling terkenal di Inggris pada akhir tahun 1975. Atau bahkan mungkin di dunia. Meskipun awalnya katanya sempat hampir ditolak dapur rekaman karena durasi lagu yang terlalu panjang.

Film biografi Freddie Mercury dan grup band Queen bahkan menggunakan judul lagu itu. Kita tahu lagu itu begitu kontroversi. Banyak teori konspirasi. Banyak yang mencoba menafsirkan lagu itu, alih-alih menikmatinya.

Oh iya. Anda ingat lagu ini?

"Cendol dawet, cendol dawet seger, lima ratusan gak pake ketan. Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, tak kintang-kintang."

Sebuah lagu tentang ditinggal patah hati, tiba-tiba menyinggung makanan? Menyinggung cendol dan dawet berharga lima ratusan yang gak pakai ketan? Lucu sekali. Apa sih hubungannya?

Yang tahu persis hubungannya lagu itu dengan "jumlah mu'taridhoh" tadi ya penulis lagunya. Kita pendengar mana tahu. Kalau gak dikasih tahu sama penulisnya.

Tapi kita boleh saja menafsirkan itu. Memiliki persepsi mungkin maksudnya begitu atau begini. Tapi sekali lagi, itu hanya mungkin. Sebab yang tahu pasti maknanya ya penulisnya.

Dan sekali lagi, imajinasi penikmat seni kadang melampaui ekspektasi dan maksud sesungguhnya pencipta seni tersebut. Gak masalah saya kira.

Ada lagu yang easy listening. Ada lagu yang mendayu-dayu. Dan kebetulan pas dengan suasana hati. Sehingga kita bisa menafsirkan dengan pandangan kita.

Bila terkait seni, saya sebagai penikmat seni gak berani untuk memvonis pencipta seni tersebut dengan dugaan macam-macam. Kecuali sudah gak bisa ditakwil lagi. Itu baru namanya salah. Sebab dunia seni memiliki aturan yang sangat longgar dan membebaskan pikiran dan ekspresi.

Sekalipun pencipta seni bilang A, bukan berarti dia maksudkan A. Sebab untuk mewakili pendapat pribadi gak bisa dengan seni. Harus dengan kalimat tegas. Seni itu bagi saya adalah hal yang sangat ambigu untuk mengekspresikan pendapat.

Yang paham begini mungkin cuma sastrawan dan dunianya. Dunia sastra memiliki bahasa dan rambu-rambu sendiri yang hanya dipahami sastrawan. Tapi saya bukan sastrawan loh ya...

Makanya pada karya-karya seperti tulisan Djenar Maesa Ayu yang sangat vulgar sekalipun, saya gak berani berkomentar. Karena gak paham. Kalau gak nyaman, gak harus saya baca. Gak perlu saya ikut campur sesuatu yang bukan keahlian saya.

Dua contoh lagu diatas juga seni. Dan bagaimana cara kita menikmati lagu itu? Kurang lebih kalau menurut saya hampir sama dengan cara kita menafsirkan puisi Sitor Situmorang yang hanya sebaris itu.

Menurut saya, pengarang sekalipun sebaiknya jangan membatasi pemahaman atas sebuah karya. Agar semakin luas karya itu dengan seribu tafsiran. Meluncurkan karya jangan dibumbui klarifikasi kalau maksud karyanya begini atau begitu. Nanti jadi sempit pemahamannya. Itu kalau saya.

Biarkan orang menikmati dan menafsirkan karya itu sesuka hati. Kadang ada yang pas dengan suasana hati. Kadang ada yang tidak. Jika kita membatasi karya, nanti karya itu hanya pas untuk orang-orang tertentu saja. Gak bisa dinikmati semua orang.

Ada yang ingat lukisan Jackson Pollock? Paul Jackson Pollock adalah seorang pelukis Amerika pelopor aliran abstrak ekspresionis. Dia adalah salah satu pelopor. 

Penggagas aliran tersebut. Ini jauh beda dengan aliran Picasso. Setahu saya Pablo Picasso itu adalah seorang seniman yang terkenal dalam aliran kubisme.

Jadi, kubisme kalau dilihat sekilas lebih nampak memiliki bentuk daripada abstrak ekspresionis. Lukisan Pollock itu kalau boleh saya katakan mirip cat tumpah. Pertama kali melihat lukisan Pollock di film The Accountan, saya itu mikir kok lukisan begitu mahalnya minta ampun.

Saya mungkin bisa membuat semacam itu satu. Meskipun saya gak bisa melukis sebenarnya.

Bagaimana kita menikmati lukisan itu? Sama saja dengan seni lain. Karena saya bukan penikmat aliran abstrak ekspresionis, saya gak menganggap lukisan itu luar biasa. Tapi yang paham aliran seni tersebut, mungkin akan menganggap Jackson Pollock adalah jenius luar biasa.

Setiap seni memiliki pasaran dan penikmat masing-masing yang hanya bisa dipahami dan benar-benar dinikmati oleh mereka yang mengerti alirannya.

Demikian juga dalam memahami lukisan Banksy. Buat apa coba lukisannya yang Gadis Balon itu dihancurkan setelah terjual? Lucu kisahnya.

Tapi justru setelah hancur itulah katanya lukisan itu makin mahal. Benar-benar jalan pikiran yang gak saya pahami. Karena saya bukan orang seni. Cukup saya nikmati sajalah.

Kalau kita penikmat aliran seni yang berkaitan tadi, boleh mungkin kita menafsirkan. Apa sih yang bisa kita artikan? Dari sebuah seni. Atau puisi. Ya, sesuai pemahaman kita saja. Interpretasi kita. Sejauh dan sedalam apa kita bisa menikmati karya tersebut. Dan setiap orang berbeda.

Ya terserah kita mau memaknai seperti apa puisi A atau B. Tapi arti sebenarnya dan paling benar ya tentu saja tetap menjadi rahasia sang pencipta karya seni tersebut.

Baik puisi, lukisan, patung, atau apalah. Seni itu banyak.

***

Lain seni lain doktrin agama.

Agama bukanlah bahan tafsiran yang boleh diartikan secara sembarangan. Setiap orang punya keyakinan akan agama, tapi bukan berarti bebas menafsirkannya. Yang paling tahu agama ya ulama. Kita sebagai awam dalam memahami agama, ikut tafsiran ulama. 

Jangan samakan agama dengan seni yang bebas ditafsirkan. Yang paling tahu hakikat Islam adalah nabi Muhammad Saw. Dan sahabat. Kemudian pemahaman itu diteruskan turun temurun melewati ulama. Sampai kepada kita.

Kita gak boleh mengenal nabi dengan pemahaman kita sendiri. Kita bukanlah orang yang paling tahu dan paling kenal tentang beliau. Harus hati-hati.

Kenapa sih, beberapa dari kita ada yang begitu ketakutan menafsirkan puisi dengan keluasan maknanya, yang bisa lebih luas dari yang dikehendaki penulis itu sendiri?

Tapi mengapa ada yang dengan berani menafsirkan agama, yang jelas-jelas gak boleh sembarangan. Dan harus sesuai dengan apa yang dimaksud oleh nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan manhaj dan pemahaman ulama salaf yang lebih memahami akan itu?

Bolehlah menjadi perwakilan penulis untuk menafsirkan puisi mereka sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Sesuka hati. Dunia puisi atau dunia seni makin ditafsirkan luas makin menarik kalau menurut saya. Bahkan kadang penafsiran penikmat lebih menarik untuk disimak daripada puisi itu sendiri.

Tapi jangan terbalik menjadi boleh menafsirkan agama sesuka hati. Seolah menjadi orang yang merupakan perwakilan dari agama itu sendiri.

Sayang sekali banyak orang ketakutan menafsirkan puisi karena gak ingin mengartikan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan penulisnya. Tapi dengan lancang menafsirkan agama dengan mudah seolah paling tahu akan hal itu.

Wallahu a'lam.

04 Mei 2020, 08 Mei 2020, 09 Mei 2020.

*Number 17A merupakan lukisan Jackson Pollock tahun 1946 yang katanya masuk dalam salah satu daftar lukisan termahal. Harganya konon sekitar 200 juta US Dollar pada tahun 2015. Saat ini lukisan itu katanya dimiliki oleh seorang kolektor seni sekaligus miliarder Kenneth C Griffin. Griffin menempatkan lukisan Number 17A tersebut pada rumah pribadinya setelah sebelumnya lukisan ini terpajang di Art Institue of Chicago.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun