Demikian kisahnya, konon proses kreatif sajak itu yang sebenarnya. Sitor Situmorang yang "tersesat" ke sebuah kuburan. Dalam suasana redup dibawah temaram sinar bulan.Â
Kemudian ada kalimat "bulan di atas kuburan" yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Lalu Sitor Situmorang menginterpretasikan itu dalam sebuah sajak.
Sederhana sekali bukan sebenarnya?
Tapi lihat bagaimana orang menafsirkan karya tersebut. Menjadikan karya itu memiliki seribu arti di lisan dan pemahaman pembacanya. Makna tafsiran pembaca kalau boleh saya bilang, kadang jauh lebih luas dari yang dikehendaki penulisnya sendiri.
JU. Nasution misalnya. Katanya menafsirkan sajak itu dengan bulan di malam tahun baru. Bukan malam lebaran. Sebab tidak logis sebuah bulan utuh muncul di malam lebaran. Yang artinya adalah awal bulan. Bulan purnama mestinya ada di tengah tanggal. Bukan di awal tanggal seperti malam satu Syawal.
Lain JU. Nasution, lain Subagio Sastrowardoyo. Beliau menafsirkan bulan itu tetap di malam lebaran. Tapi sebagai wujud perlambangan. Mungkin sebuah simbolisme akan suatu hal. Bukankah sajak adalah bahasa yang sarat makna?
Banyak lagi yang mencoba mengartikan sajak itu. Seperti Umar Junus.
Mungkin masih banyak lagi. Saya gak tahu. Orang mencoba menguraikan misteri dibalik sajak itu. Apa sih maksud sajak itu? Demikian mungkin orang bertanya. Lalu dengan bebas mereka mengartikan. Atau lebih tepatnya mungkin, menikmati sajak itu dengan cara mereka masing-masing.
Sajak singkat itu menelurkan sejuta pemahaman, dalam benak sejuta pembaca. Saya mungkin memahami sajak itu demikian. Dan anda memiliki pemahaman lain. Bebas tafsiran. Karena gak ada pedoman baku atau undang-undang.
Tapi begitulah sebuah sajak bekerja. Penulis melahirkan karya, dan pembaca menikmatinya. Lalu mereka menafsirkan itu sesuai pemahaman masing-masing.
Tidak hanya sajak. Seni semuanya menurut saya demikian. Seni itu banyak. Puisi, lukisan, lagu, dan bahkan prosa.