Setiap sajak memiliki sejarah. Memiliki kisah kenapa penggubah memakai kosa kata demikian. Memiliki riwayat yang mungkin terkait dengan kehidupan penulisnya. Mengapa dia memilih diksi itu. Kenapa judulnya kok harus itu.
Dari sebuah ide, bercampur pengalaman, dipadukan suasana, dan berakhir pada sebuah karya. Kadang hanya dengan ide saja akhirnya akan menguap dan hilang. Karena penulis gagal menangkapnya dalam bentuk sebuah tulisan.
Tapi pembaca saya kira gak butuh itu. Yang mereka butuhkan adalah membaca dan menikmatinya. Seperti lagu. Gak perlu tahu sejarahnya. Gak perlu tahu mengapa penggubah lagu itu memilih nada demikian. Cukup kita dengarkan dan nikmati. Dan pilihlah lagu atau sajak manapun yang sesuai dengan suasana hati dan suasana lingkunganmu.
Ngomongin sajak singkat, sebenarnya menurut saya ada sajak yang jauh lebih singkat lagi. Namanya "kebisuan". Karena tak setiap makna butuh bahasa. Bahasa bisu mungkin kesejatian lain dari komunikasi jiwa kita dan alam sadar. Bagaimana kita berusaha membaca jutaan sajak dalam hati. Entahlah...
Ada yang ingat lagu ini?
"I see a little silhouetto of a man...
Scaramouche, Scaramouche, will you do the Fandango? Thunderbolt and lightning, very, very fright'ning me. (Galileo!) Galileo. (Galileo!) Galileo, Galileo figaro.... Magnifico...
I'm just a poor boy, nobody loves me...
(He's just a poor boy from a poor family)
Spare him his life from this monstrosity...
(Easy come, easy go, will you let me go.)"
Iya, itu lagunya Queen yang berjudul Bohemian Rhapsody. Lagu itu begitu terkenal pada masanya. Sampai film Wayne's World (1992) memuat lagu ini dalam salah satu scenenya.Â
Salah satu lagu paling terkenal di Inggris pada akhir tahun 1975. Atau bahkan mungkin di dunia. Meskipun awalnya katanya sempat hampir ditolak dapur rekaman karena durasi lagu yang terlalu panjang.
Film biografi Freddie Mercury dan grup band Queen bahkan menggunakan judul lagu itu. Kita tahu lagu itu begitu kontroversi. Banyak teori konspirasi. Banyak yang mencoba menafsirkan lagu itu, alih-alih menikmatinya.
Oh iya. Anda ingat lagu ini?
"Cendol dawet, cendol dawet seger, lima ratusan gak pake ketan. Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, tak kintang-kintang."
Sebuah lagu tentang ditinggal patah hati, tiba-tiba menyinggung makanan? Menyinggung cendol dan dawet berharga lima ratusan yang gak pakai ketan? Lucu sekali. Apa sih hubungannya?
Yang tahu persis hubungannya lagu itu dengan "jumlah mu'taridhoh" tadi ya penulis lagunya. Kita pendengar mana tahu. Kalau gak dikasih tahu sama penulisnya.