Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Oedipus Complex, Ketika Cinta Tidak Lagi Buta (Warna)

3 Juni 2024   13:53 Diperbarui: 3 Juni 2024   14:40 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdua | IG @rizalthok_ / bangnalar.com

"Katakan, pada mama! 

Cinta bukan hanya harta dan tahta 

Pastikan, pada semua! 

Hanya cinta yang sej...

"Itu lagu terbaru Dewa 19 ya?" Ce Netty yang entah sejak kapan duduk di sebelahku, tiba-tiba mengagetkanku dengan aroma harum sepiring pisang goreng dan teh melati panas yang terlihat masih mengepulkan asap ke udara.

"Eh Cece! Ngagetin aja!" Jawabku sekenanya.

"Menghayati banget sama lagunya, sampai merem-merem gitu mata!?" Sambil senyum-senyum menggoda, sepertinya sudah dari tadi Ce Netty memperhatikan caraku menghayati bait-bait lirik berikut ngebeatnya kocokan gitarku saat memainkan refrain part-nya lagu hits terbaru Dewa 19 yang baru saja rilis, Cukup Siti Nurbaya.

"Ah, biasa aja ce! Lagi suka sama beat-nya,  fresh!" Aku mencoba ngeles dari jebakan obrolan Ce Netty biar fokusnya nggak kemana-mana. Maklum Cece dan teman-teman di kelompokku KKN yang biasa aku panggil "kakak-kakak", karena memang pada lebih tua dariku, orangnya pada suka jail kepadaku.

Mungkin hanya di kelompokku, kordesnya di jahilin terus sama anak buah kelampoknya sendiri. Adaaa aja pokoknya! Nasib-nasib jadi yang paling muda dalam kelompok!

Aku hanya ingin, Minggu pagi pertamaku di Kabuaran kali ini bisa meluruhkan lelahnya fisik, psikis dan mentalku yang seminggu sebelumnya benar-benar lelah terforsir. Maklum masih di awal-awal pengabdian, jadi aku harus mobile kesana-kemari!

Sebelum bareng-bareng masak Soto Betawi ala Bang Ihsan si anak Jaksel, Minggu pagi ini, aku hanya ingin rileks, duduk-duduk santai di teras posko sambil ngopi nashitel alias ngopi panas, pahit dan kentel kopi Arabika panenan Bang Zul, bungsu Haji Hasan pemilik rumah yang kami jadikan posko.

Kopi tubruk seduhan air mendidih dengan sedikit gula, jadilah kopi pahit dan kentel kesukaanku. Ditemani tingwe si-Tambeng, rajanya tembakau Kabuaran, tentu komposisi pagi yang sempurna untuk menikmati hijau segarnya alam desa Kabuaran dengan latar puncak gunung piramid di kejauhan.

Apalagi sambil mendendangkan lagu-lagu kesukaan dengan gitar bolong kesayangan, ditemani Cece pula..."Duh, Nikmatnyaaaaaaa...!

Diantara "kakak-kakak" di kelompok KKN-ku, Ce Netty memang sosok yang paling mudah connect kalau ngobrol denganku. Karena ini juga sepertinya, Ce Netty jadi terlihat lebih sering didekatku daripada dengan teman-teman yang lain.

Memang sih, Ce Netty juga yang paling perhatian kepadaku. Darinya, aku merasakan perhatian seorang kakak perempuan kepada adik laki-lakinya, bukan kepada ketua kelompok alias kordes, seperti seharusnya!

"Sejak kecil, aku nggak punya teman! Kakak-kakakku terlalu tua untuk bermain denganku. Makanya aku pengen banget punya adik laki-laki, tapi sayangnya nggak pernah kesampaian". Dalam sebuah obrolan, memang sih Ce Netty pernah menyebut-nyebut terobsesi punya adik laki-laki.

"Lho kok mirip aku Ce!? Sebagai anak sulung, sejak kecil aku sering iri sama teman-temanku yang punya kakak, terutama kakak perempuan yang bisa dijadikan tempat bermanja-manja, berkeluh kesah, berdiskusi dan juga minta duit ...he...he...he...!"  Mungkin kesamaan psikis  sama-sama perlu "teman  idaman" sejak dari masa lalu itulah, akupun juga merasa nyaman di dekat Ce Netty.

Atau jangan-jangan, ada benarnya guyonan Mas Agus, calon "tukang insinyur" penggila lele yang asli Jogja itu, saat dulu kita saling kenalan di awal pertemuan!? Aku dan Ce Netty disebutnya, tumbu oleh tutup!?

"Di kelompok kita ini ada yang berpotensi menjadi pasangan pemimpin hebat! Bintang anak sulung, Netty anak bungsu. Dalam budaya Jawa, komposisi seperti ini disebut sebagai 'tumbu oleh tutup' yang bisa dimaknai berjodoh karena saling melengkapi". Katanya saat itu, ketika kita akan memilih ketua dan pengurus kelompok, walaupun sebenarnya aku tahu itu "akal bulus" dia, agar nggak dipilih jadi  ketua.

"Bintang kordes, Netty wakordes atau nanti bisa juga diteruskan, Bintang kepala rumah tangga, Netty ibu rumah tangga! Tapi itu nanti setelah KKN selesai ya...he...he...he..." Kelakar Mas Agus yang saat itu disambut cuitan-cuitan genit teman-teman yang lain.

Jujur, meskipun hanya sekilas sebenarnya aku juga sempat kepikiran atau jangan-jangan malah terobsesi ya dengan candaan Mas Agus itu. "Masa iya aku nggak ada rasa ke Ce Netty!? Udah orangnya baik, supel, pinter, calon dokter gigi, cantik jelita bak bidadari pula! Memang sih, dia lebih tua setahun dariku!?"

Seperti pagi ini, tanpa kuminta Ce Netty membuatkanku secangkir teh panas melati dengan sedikit gula kesukaanya, untukku juga dan ini sudah jamak dilakukannya sejak awal kita mengabdi di Kabuaran, khususnya setiap kita ngobrol!

Biasanya, kalau sudah begitu kita akan keterusan untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja! Terutama musik, buku dan dunia nulis yang ternyata sama-sama kita  gandrungi.

Bedanya, kalau aku lebih suka menulis artikel tentang tematik sosial dan budaya yang biasanya kukirim ke media cetak, maka Ce Netty paling jago nulis fiksi, seperti cerpen, puisi, juga naskah skenario. Kerennya, novel karyanya sudah ada beberapa yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Cakeeeeep kan!?

Nah, khusus untuk musik, Ce Netty sama sepertiku, suka ngeband dan menguasai beberapa alat musik sekaligus, tapi Ce Netty memulainya dari jalur formal dengan sekolah musik atau kita biasa menyebutnya sebagai "musisi sekolahan", beda banget denganku yang bermusik karena naluri, bakat dan bonek alias bondo nekat saja!

Tidak heran jika dengan kepiawaian bermusiknya Ce Netty juga sering  menjadi pemenang beberapa kali titel individu di ajang festival musik lokal, termasuk sebagai frontwoman alias vokalis utama di band bentukannya di tepian Sungai Musi, Palembang sana.

Baca Juga Yuk! Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran

Sinar pagi sang surya masih belum begitu sempurna menyapa aktifitas pagi masyarakat Kabuaran yang sebagian sepertinya masih terbuai mimpi oleh selimut kabut yang lumayan pekat, hingga menjadikan langit temaram dengan udara gunung yang begitu dingin.

Tapi sepagi itu, aku, Ce Netty, Bang Taufik dan Kak Rina, sudah harus bergegas menuju Kota Bondowoso untuk presentasi proposal program kerja kelompok KKN kami di hadapan beberapa pengusaha swasta yang tertarik untuk mendukung aktifitas pengabdian kita di Kabuaran.

Dengan 2 sepeda motor sewaan milik tukang ojek, kami berempat berangkat menuju pusat kota Bondowoso, si-Kota Tape yang selalu adem ayem.

Kami sengaja berangkat pagi, selain karena ingin menikmati cantiknya landscape Kota Bondowoso di pagi hari yang katanya romantis...tis...tis, sepeda motor yang kami pakai juga hanya bisa disewa sampai tengah hari saja. Kasihaaaaaaan!

Sebelum menuju ke tempat acara pertemuan, kami berempat sudah janjian untuk singgah dulu di warung soto legendarisnya Kota Bondowoso, yaitu Soto Blindungan di pojok jalan Agus Salim yang sudah ada sejak tahun 50-an!

Tapi kenapa Bang Taufik sama Kak Rina jalannya lelet banget ya! Atau... jangan-jangan motornya mogok, maklum motor tua!? Sudah ditunggu-tunggu dari tadi, belum juga kelihatan batang hidungnya!?

Karena nggak tahan lagi dengan godaan aroma kuah soto yang menguar dari kuali tanah di atas tungku yang terlihat mengepulkan asap tipis, kami langsung memesan dua porsi dulu plus dua gelas teh panas sekaligus dan langsung saja menyantapnya ketika hidangan sampai di meja kami tanpa menunggu Bang Taufik dan Kak Rina lagi.

Sambil menyeruput kuah Soto berbahan santan dengan isi jeroan sapi itu, aku dan Ce Netty kembali ngobrol ngalor-ngidul sambil terus celingukan ke arah jalanan, kalau-kalau Bang Taufik dan Kak Rina bablas terlewat jalan.

"Bintang, apa sih motivasi terbesarmu main musik!?" Sambil terus menikmati soto yang sedapnya ngangeni itu, tiba-tiba Ce Netty memberiku pertanyaan menyelidiknya!

"Awalnya sih hobi, tapi selanjutnya lebih ke pelampiasan sih ce! Biar nggak stres!" Datar saja aku memulai cerita, sambil menyeruput kuah soto yang gurih-gurih sedapnya mengingatkanku pada soto Betawi yang dimasak Bang Ihsan di hari Minggu pertama yang lalu.

"Sebenarnya, di awal kuliah dulu, aku nggak di ekonomi Ce, tapi di Kedokteran, sama seperti Mbak Nina". Aku melanjutkan ceritaku.

"Haaaah serius Tang!?" Tiba-tiba dari arah belakang kami terdengar suara Kak Rina dan Bang Taufik ikutan nimbrung.

"Eh, ini ngagetin aja! Dari tadi ditungguin nggak nongol-nongol!?" Kata Ce Netty ke Kak Rina sama Bang Taufik, sambil menarik tangan keduanya untuk duduk di sebelah kami.

"Nggak ngganggu orang pacaran kan?" Sela Bang Taufik, sambil nyengir kuda.

"Lanjutin Tang! Jangan dengerin gosip. Eh Kok bisa gitu, dari FKU bisa nyasar ke FE!?" Tanya Ce Netty serius dan penasaran.

"Sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi dokter Ce dan Alhamdulillahnya kesampaian! Aku tembus Kedokteran lewat  PMDK". 

"Sayang, mimpi indahku menjadi dokter harus kukubur dalam-dalam. Aku buta warna ce! 

"Konsekuensinya, pihak universitas memberi dua pilihan sulit yang sebenarnya sama sekali bukan pilihan!" 

"Otomatis mundur atau tetap melanjutkan kuliah, tapi wajib pindah ke jalur non eksakta alias  ilmu sosial, bebas memilih jurusan dari fakultas apa saja yang diminati, tanpa tes lagi!" Kuuraikan kenangan pahitku beberapa tahun silam.

"Ooooo gitu! Baru tahu aku kalau ada aturan seperti itu". Kata Kak Rina sambil manggut-manggut.

"Ini pukulan mematikan, bahkan teramat mematikan buatku, mendadak pula! Hingga sempat membuatku hampir gila, hilang akal! Bahkan linglung untuk beberapa waktu".   

"Tapi karena takdir ini tidak bisa dirubah dengan cara apapun dan aku wajib terus melangkah, meskipun dengan berat hati, akhirnya aku memilih opsi terakhir". 

"Masalahnya, jangankan minat pada jurusan ilmu sosial, sedikitpun aku tidak mengenal sama sekali jurusan kuliah di fakultas ilmu sosial. Bisa kan membayangkan kebingunganku saat itu?" 

"Tapi setelah memilih dan memilah, termasuk minta masukan sana-sini dan juga shalat Istikharah untuk meminta petunjukNya, akhirnya aku memilih manajemen di Ekonomi, hingga sekarang aku KKN mewakilinya".

"Terus apa dong hubungannya sama musik?" Tanya Ce Netty lagi mempertegas.

"Iya, apa dong!?" Kak Rina ikut memaksaku.

"Aku melampiaskan semua kekesalanku, kekecewaanku, frustasiku dan juga kesedihanku lewat musik. Alhamdulillah, dengan berjuang setengah mati akhirnya aku berhasil juga melewati masa kritisku saat itu". 

"Menariknya, karena di musik ternyata ada duitnya, akhirnya keterusan!"

"Mungkin karena musik kami otentik dan aktual saat main di berbagai jambore dan festival, bandku "no color no cry" jadi banyak mendapat tawaran manggung reguler di kafe & resto, juga di acara-acara radio, pesta sekolahan atau kampus dan sejak itu, Alhamdulillah aku dan teman-teman band bisa menghidupi diri sendiri".

"Jadi si-KK, gitaris dan vokalisnya no color no cry itu kamu?" Sambil memelototkan mata orientalnya yang semakin membuatnya tampak cantik, Ce Netty kali ini mulai berani mencubitku, bahkan beberapa kali.

"Asyeeeeeeek" Gumam dalam hatiku.

"...dan ini  yang paling keren ce! Kak! Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba 2 bos  radio di Jember memberiku job sebagai music director, sekaligus pengasuh beberapa acara musik reguler yang menurutnya cocok banget kalau aku yang pegang, salah satunya ya 'alternatif nation' yang sedang nge-hits itu!" Kali ini aku yang nyengir kuda dan siap-siap kabur kalau dicubit lagi.

"Keren...keren...keren, ternyata ini pemilik suara yang tiap malam kudengar di radio!" Sambil bertepuk tangan, Bang Taufik yang juga rocker dari Banjarmasin itu langsung menyalami tanganku dan menggoyangkan dengan penuh semangat.

Oh...memang dunia 

Buramkan satu logika 

Dengarkan manusia yang terasah falsafah 

Sesaat katanya itu bukan dogma

Sejak dari Soto Blindungan itulah, komunikasiku dengan "kakak-kakak" di posko semakin cair dan chemistry-nya menjadi lebih baik dan lebih asyik. Ternyata mereka tidak seseram dan sesadis yang aku bayangkan sebelumnya. Bahkan diantara mereka ada juga lho yang lebih childish dariku, si bungsu ini!

Tapi meski begitu, bukan berarti mereka berhenti memploncoku! Meskipun lama-kelamaan aku justeru menikmati beragam ploncoan mereka.

Sekarang, aku justeru menemukan power yang lebih berenergi untuk menjalankan peranku sebagai kordes, hingga aku bisa mengendalikan manajemen "rumah tangga" kelompok KKN-ku yang berisi para senior dengan cara yang lebih baik dari yang kuperkirakan sebelumnya. Kok bisa?

Clue-nya, siapa yang nggak tahu "kekuatan dan kekuasaan" anak bungsu di rumah? Itulah senjatanya!

Senengnya lagi, aku merasa Ce Netty sekarang juga jauh lebih perhatian lagi dari sebelumnya dan aku suka itu! Ada satu hal yang paling membuatku bahagia, sekarang Ce Netty sering mengingatkanku jangan telat atau lupa makan, bahkan belakangan juga mengingatkan jangan lupa shalat. Lhah kok bisa...!? Rahasia...aaah! He...he...he...

"Poooos...poooos...poooos!"

Kami baru saja selesai makan siang spesial dengan menu nusantara yang kita jadwalkan setidaknya sekali sepekan, yaitu Sop Kaledo alias Sop Kaki Lembu Donggala olahan Bang Denny dan kakak-kakak cantik kelompok KKN-ku, ketika tiba-tiba ada petugas pos yang berteriak dari luar.

"Telegram untuk Netty Elyana Irawati, sama wesel untuk  Bintang Satu Bersinar!" Teriaknya dari kejauhan.

Bang Ihsan yang sudah bersiap ngaso sambil memancing di sungai sebelah posko, langsung menghampiri pak pos untuk mengambil keduanya dan langsung berlari ke arah kami.

"Horeeee Bintang sama Netty mau dinikahkan di Palembang!" Teriak Bang Ihsan sambil cengar-cengir menyerahkan wesel kepadaku, sama telegram ke Ce Netty. Terang saja kami berdua senyum-senyum saja mendapati tingkah tengil Bang Ihsan dan teman-teman di posko. Walaupun sebenarnya juga berharap jadi doa...he...he...he! Aminkan saja ya...

"Alhamdulillah, ternyata honor nulis di media nasional yang kukirim seminggu sebelum KKN. Bisa sampai juga ya weselnya, padahal alamatnya masih di lokasi desa KKN yang dibatalkan loh!?"

"Ini memang rejekinya tujuh belasan! Lumayanlah, duitnya bisa buat nambah kuota daging untuk masak Rawon tetelan, sama buat beli hadiah lomba-lomba untuk anak-anak sekitar posko nanti!" Gumamku dalam hati.

Sementara Ce Netty, ternyata mendapat pesan sangat singkat dalam telegramnya, "Telp pa2 Kngen!"

Nggak berlama-lama, khawatir di Palembang terjadi ada apa-apa, Ce Netty langsung memintaku untuk menemaninya ke wartel di kota kecamatan yang jaraknya 20-an kilo dengan motor Cak Muni.

Inilah momentum kedekatanku dengan Ce Netty, bahkan juga dengan keluarganya di Palembang yang ternyata semuanya dokter. Kerennya, kecuali Bang Dio yang lagi mengambil spesialisasi mata, papa, mama dan dua kakaknya yang lain sudah lebih dulu menyandang spesialis di bidangnya masing-masing.

Hingga akhirnya, di pagi hari Minggu ke-4  yang berkabut tebal dan berudara dingin, ditemani gemericik air sungai yang bening, diatas batu raksasa tempat kami berdua duduk bersama, aku dan Ce Netty berkomitmen untuk bersama-sama meluruhkan perbedaan, menyatukan persamaan dan terus berusaha merubah kemustahilan menjadi ruang optimisme yang akan terus berproses dan bertumbuh. Kami jadian!

Meskipun agar terlambat, akhirnya teman-teman mencium juga gelagat kami jadian, hingga akhirnya mereka "menodong" untuk menjadikan perayaan tujuh belasan di posko nanti, sebagai pesta jadian kami. 

Tidak hanya itu, mereka juga mewajibkan kami berdua memasak rawon spesial tetelan dengan tangan kami sendiri untuk menjamu mereka berdelapan. Nggak boleh ada yang bantu!

"Yaaaaaah anggap saja sedang belajaran jadi orang tua yang baik, menyiapkan makan siang untuk 8 anak-anaknya, bosku!" Kata Bang Deni sambil ngacir menuju sungai sebelah posko untuk memancing ikan.

"Harus otentik seperti Rawon Nguling yang legendaris yak!" Kata Kak Hani.

"Jangan pedas kaya rawon setan ya Mas Kordes Ganteng!" Bang Ihsan si-anti cabe  mewanti-wanti.

"Seperti rawon Madura yang merah menyala tanpa kluwek boleh juga tuh!" Canda Mbak Nina.

Sejak saat itu, hari-hari pengabdian kami di Kabuaran serasa lebih bergairah. Lebih bersemangat! Usut punya usut, ternyata aku dan Ce Netty yang kurang tanggap dan kurang update! Ternyata, pasca kami jadian, ada 3 lagi pasangan cinlok. Ayooo ketangkap hansip ya!?


Senin pagi juga menjadi hari yang sibuk bagi kami di posko. Selain harus menyiapkan menu sarapan lebih pagi dari pada biasanya, setiap Senin kami  juga wajib ikut upacara bendera di dua SD yang ada.

Senin kali ini, aku, Kak Hani, Bang Denny, Bang Ihsan dan Mbak Wahyu giliran ikut upacara sekaligus mengajar di SD Kabuaran 2 yang lokasinya diatas, di lereng gunung. 

Diperlukan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan dengan jalan kaki untuk sampai kesana. Sedangkan sisanya kebagian mengajar di SD Kabuaran 1 yang lokasinya hanya beberapa puluh meter saja dari posko.

Biasanya, kami mengajar full time sampai anak-anak pulang di tengah hari atau sekitar jam 12-an siang, Setelahnya kita pulang ke posko dengan jalan kaki lagi. Nah, untuk perjalanan pulang, mungkin karena turunan, biasanya jauh lebih cepat dari pada waktu tempuh saat berangkat yang serasa mendaki.

Sesampainya di posko, kami bisa langsung makan siang tanpa harus ikut masak bareng-bareng, karena khusus hari Senin, tugas memasak menjadi tanggung jawab tim yang mengajar di SD Kabuaran Bawah yang beberapa jam sebelumnya lebih dulu pulang.

"Tapi kenapa view di posko siang ini tampak ganjil ya!? Nggak biasanya Ce Netty nggak nampak!?" Batinku dalam hati.

"Tang, Netty tadi pamit ke sungai nyuci ikan. Tapi sepertinya ada sesuatu deh!" Kata Kak Rina, begitu melihatku muncul di dapur.

"Cepet, ndang disusul! Sepertinya lagi galau dia, khawatir ada apa-apa! Tadi, sepertinya baru dapat surat dari Palembang!"  Giliran Mbak Nina memberi info aktual.

"Nggak biasanya, Cece jadi sentimentil begini. Setahuku mental Cece ni tahan banting dan paling anti memperlihatkan suasana hatinya ke orang lain! Ada apa ya!?" Batinku lagi.

"Ok! Terima kasih banyak infonya kakak-kakakku cantik!" Sambil kuacungkan dua jempolku ke mereka, aku langsung berlari menuju ke sungai berbatu tempat favorit keduaku untuk meluangkan waktu bersama Ce Netty, selain teras posko.

"Ce!" Sapaku kepada Ce Netty yang membelakangiku dan tampak lagi asyik mencuci ikan Tenggiri yang sepertinya akan diolahnya menjadi makanan-makanan enak khas Palembang. Kalau jadwalnya sih, hari ini waktunya bikin model.

Pantas saja dari tadi sapaanku tidak dihiraukannya, ternyata ada seperangkat headset bando dari walkman yang ujungnya bertengger di kedua telinganya. Barulah setelah kusentuh bahunya, dengan sedikit terkejut Ce Netty baru membalikkan badannya.

"Eh, Bintang! Sudah lama!?" Tanyanya kepadaku sambil melepaskan perangkat headset walkman-nya dari telinga dan  mengalungkannya ke leher. 

Setelah membereskan ikan tenggirinya yang sudah bersih ke dalam panci, Ce Netty langsung menarik tanganku, membawaku ke gundukan batu terbesar tempat kita dulu pernah berucap janji, berkomitmen untuk bersama-sama membangun hubungan sebagai sepasang kekasih.

"Bintang, maafkan aku ya!" Dengan menitikkan air mata yang aku tahu memang sedari tadi sudah ditahannya, Ce Netty menyerahkan kepadaku dua lembar kertas bertuliskan tangan yang sangat rapi selayaknya hasil "tulisan halus" semasa SD dulu.

"Apa ini!?" Tanyaku sambil membolak-balik kertas itu.

"Itu surat papa yang tulis, katanya hasil musyawarah keluarga beberapa hari yang lalu. Baru aja nyampe. Bacalah!" Dengan masih menahan tetesan air mata yang kini berubah menjadi isak tangis yang tertahan, Ce Netty memintaku untuk membaca sendiri surat dari papanya.

"Ha... Rapat keluarga?" Batinku penasaran, sambil berusaha membaca tulisan klasik khas orang tua itu pelan-pelan.

...setelah kami mendengar sendiri dari ceritamu, kalau Bintang, pujaan hatimu ternyata menyandang kelainan buta warna, maka atas inisiatif kakak-kakakmu kita sekeluarga langsung berkumpul untuk bermusyawarah.

Hasilnya, demi kebaikan masa depan anak cucumu, anak keturunanmu yang berarti keturunan papa juga, alangkah bijaksananya jika hubunganmu dengan Bintang, lebih baik disudahi sampai disini saja, selagi masih baru dan belum terlalu jauh.

Papa tidak perlu menjelaskan lagi alasannya! Sebagai calon dokter yang di besarkan dalam pendidikan berbasis eksakta, tentu kamu sudah tahu "rumus resiko" yang akan ditanggung anak cucumu kelak, jika seorang perempuan menikah dengan lelaki penyandang buta warna.

Tapi keputusan tetap papa serahkan kepadamu, putri papa tersayang! Karena kamulah yang menjalani. Salam buat Bintang...

"Oh... ini lagi, terus maunya Cece gimana!?" Tanyaku dengan berbisik ke telinga kanannya yang hampir tertutup lengan bajuku, karena kepalanya yang nyandar di bahu kiriku, masih dengan terisak.

"Oh, cukup Siti Nurbaya yang mengalami, pahitnya dunia

Hidupku, kamu, dan mereka semua

Takkan ada yang bisa memaksakan jalan

Hidup yang 'kan tertempuh

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun