"Ce!" Sapaku kepada Ce Netty yang membelakangiku dan tampak lagi asyik mencuci ikan Tenggiri yang sepertinya akan diolahnya menjadi makanan-makanan enak khas Palembang. Kalau jadwalnya sih, hari ini waktunya bikin model.
Pantas saja dari tadi sapaanku tidak dihiraukannya, ternyata ada seperangkat headset bando dari walkman yang ujungnya bertengger di kedua telinganya. Barulah setelah kusentuh bahunya, dengan sedikit terkejut Ce Netty baru membalikkan badannya.
"Eh, Bintang! Sudah lama!?" Tanyanya kepadaku sambil melepaskan perangkat headset walkman-nya dari telinga dan  mengalungkannya ke leher.Â
Setelah membereskan ikan tenggirinya yang sudah bersih ke dalam panci, Ce Netty langsung menarik tanganku, membawaku ke gundukan batu terbesar tempat kita dulu pernah berucap janji, berkomitmen untuk bersama-sama membangun hubungan sebagai sepasang kekasih.
"Bintang, maafkan aku ya!" Dengan menitikkan air mata yang aku tahu memang sedari tadi sudah ditahannya, Ce Netty menyerahkan kepadaku dua lembar kertas bertuliskan tangan yang sangat rapi selayaknya hasil "tulisan halus" semasa SD dulu.
"Apa ini!?" Tanyaku sambil membolak-balik kertas itu.
"Itu surat papa yang tulis, katanya hasil musyawarah keluarga beberapa hari yang lalu. Baru aja nyampe. Bacalah!" Dengan masih menahan tetesan air mata yang kini berubah menjadi isak tangis yang tertahan, Ce Netty memintaku untuk membaca sendiri surat dari papanya.
"Ha... Rapat keluarga?" Batinku penasaran, sambil berusaha membaca tulisan klasik khas orang tua itu pelan-pelan.
...setelah kami mendengar sendiri dari ceritamu, kalau Bintang, pujaan hatimu ternyata menyandang kelainan buta warna, maka atas inisiatif kakak-kakakmu kita sekeluarga langsung berkumpul untuk bermusyawarah.
Hasilnya, demi kebaikan masa depan anak cucumu, anak keturunanmu yang berarti keturunan papa juga, alangkah bijaksananya jika hubunganmu dengan Bintang, lebih baik disudahi sampai disini saja, selagi masih baru dan belum terlalu jauh.
Papa tidak perlu menjelaskan lagi alasannya! Sebagai calon dokter yang di besarkan dalam pendidikan berbasis eksakta, tentu kamu sudah tahu "rumus resiko" yang akan ditanggung anak cucumu kelak, jika seorang perempuan menikah dengan lelaki penyandang buta warna.