Matahari bersinar terik di Maluku, Aku berjalan cepat menyusuri jembatan kayu yang sudah nampak reot sambil menentang dua tas berisi beberapa buku dan ole-ole. Di ujung jembatan nenek sudah menungguku sembari melambai-lambaikan tangannya, aku tersenyum lebar dan melambaikan tanganku.
Aku akan menghabiskan libur kuliahku di kampung nenek, di Kepulauan Kei, Maluku.
Sudah lima tahun sejak aku terakhir kali datang ke tempat ini.
"O laai keratat li" (kau sudah tumbuh besar dan tinggi yah) Sambut nenek sembari memelukku gembira.
Nenek tidak datang sendirian, beliau menjemputku di dermaga bersama sepupuku. Namanya Ari, usianya sekitar sepuluh tahunan.
Setelah puas melepas rindu padaku, nenek pun mengantarku ke rumah. Sesampainya di rumah, aku memberikan ole-ole pada nenek dan sebuah buku cerita rakyat kepada Ari sebagai hadiah karena ikut menjemputku.
Ia mengucapkan terima kasih dan menerima buku itu malu-malu. Ia menatap buku itu lama, tak ada ekspresi apapun yang tergambar dari raut wajahnya.
"Beta belom tau baca Kaka" (Aku belum bisa membaca Kak) Ari berkata lirih sambil menunduk memegang buku itu.
Aku mematung sejenak, Ari masih menunduk tak berani menatapku.
"Kalo bagitu nanti Kaka ajar Se baca, sabantar malam datang lai ke sini ee" (Kalau begitu nanti kakak ajarin kamu baca, nanti malam datang lagi ke sini yah) Ia mengangguk dan berlalu pergi.
Sekitar pukul tujuh malam, Aku yang sedang makan malam terkejut tatkala mendengar suara ketukan pintu. Sontak aku pun meninggalkan makan malamku dan membukakan pintu.
"Eh Ari, mari maso. Abis makang baru Kaka ajar Se ee" (Kelar makan dulu, baru Kakak ajarin kamu yah) ujarku sambil mempersilahkannya masuk.Â
Setelah menghabiskan sisa makananku, aku mengajaknya ke kamar dan mulai mengajarinya membaca. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, aku pun mengantarkannya pulang dan berpesan kepadanya agar datang lagi besok selepas makan siang.Â
Keesokan paginya selepas sarapan, aku memutuskan untuk jalan-jalan di tepian pantai. Aku menemui nenek yang sedang memasak untuk pamit.
"Nen, Beta bajalang sadiki ke pante ee" (Nek, aku jalan-jalan sebentar ke pantai yah)Â
"Jalang bae-bae, jang bajalang jao-jao ee"
(Hati-hati, jalannya jangan jauh-jauh yah)
Aku pun meninggalkan rumah dan berjalan menuju ke pantai. Sesampainya di sana, aku pun bersandar pada bangku kayu di bawah pohon cemara tua. Dari kejauhan nampak beberapa anak lelaki sedang bermain sepak bola di pantai. Aku menatap mereka lama sembari merenung.
"Apa mereka juga sama dengan Ari ?" Batinku penasaran. Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah untu menyiapkan sesuatu.
Sekitar pukul satu siang, Ari kembali menemuiku di rumah. kali ini dia tak datang sendirian, dia bersama dua anak lelaki yang nampak masih malu-malu.Â
"Kaka, dong dua ini mau belajar baca lai!" (Kak, mereka berdua mau belajar membaca juga!) Ujar Ari menjelaskan.
"Kalo bagitu kam tiga bantu Kaka bawah buku-buku ke pante ee, Kaka mau biking pondok par katong belajar di sana"
(Kalau begitu kalian bertiga bantu kakak bawah buku-buku ke pantai yah, kakak pengen bikin pondok untuk kita belajar di sana)Â
Aku pun mengumpulkan semua buku pada dua kantong plastik dan memberikannya pada mereka, sementara aku menyiapkan perkakas untuk membuat pondok.
"Kamong tiga bawah buku-buku kamuka ke pohon cemara tua di pante, Kaka nanti Iko dar blakang" (Kalian bertiga duluan bawah buku-buku ke pohon cemara tua di pantai, nanti kakak susul dari belakang)Â
Sesampai di sana, kami berempat bahu membahu membuat pondok kayu sederhana.
Setelah kurang lebih tiga jam, pondok sederhana itu akhirnya rampung. kami pun beristirahat sejenak di bawah teduhnya pohon cemara. Angin sore bertiup pelan, ranting-ranting cemara bergerak melambai seakan ikut gembira bersama kami. Ku lihat sekilas mereka bertiga nampak kelelahan, aku menatap pondok sederhana itu dengan puas.
"Jadi, pondok ini Katong kasih nama akang
PERPUSTAKAAN CEMARA! Karena akang di bawah pohon cemara"
(Jadi, pondok ini kita beri nama PERPUSTAKAAN CEMARA! Karena letaknya di bawah pohon cemara)
Mereka pun mengangguk setuju.
"Beso baru katong mulai belajar ee, kamong masih libur to?" (Besok baru kita mulai belajar yah, kalian masih libur kan?)
Siap Kaka, masih Kaka!" (Siap kak, masih Kak!)
Jawab mereka bertiga serempak.
"Kamong dua nama sapa?"(Kalian berdua namanya siapa?)Â
"Beta Wempy, kalo yang rambu kariting nih Vito!" (Aku Wempy, kalau yang berambut keriting ini namanya Vito!) Jawab Wempy ngakak sembari menunjuk Vito yang sontak memukul lengannya.
Aku hanya senyam senyum melihat anak-anak itu, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing sebelum matahari terbenam.
Keesokan siang, mereka sudah tiba terlebih dahulu di pondok. Aku pun segera mengajari mereka membaca, nampaknya mereka sudah mengenal huruf hanya saja belum pandai untuk mengejanya. Aku pun fokus untuk membantu mengajari mereka mengeja kata hingga kalimat, perlahan mereka mulai fasih mengeja kata demi kata.
"Kaka, kalo huruf N & G di blakang ini katong baca 'Nnggggg' to?" (Kak, kalau huruf N & G di belakang nih kita bacanya 'Nnggggg' kan?"
Tanya Vito seraya menunjuk kata "Kacang".
"Iyo, jadi kalo lia huruf 'N & G' di blakang kata tuh bacanya 'Nggggg'!! Ingatang, gabung akang Jang pisah ee
Akang pung contoh nih 'K A C A N G', baca akang 'KACANG', bukang 'KACAN'! Jadinya huruf 'G' akang ilang."
(Iya, jadi kalau lihat huruf 'N & G' di belakang kata, maka bacanya itu 'Nnggggg'!! Ingat, hurufnya digabung jangan dipisah yah.
Contohnya 'K A C A N G'Â
bacanya 'KACANG', bukan 'KACAN'! Huruf G-nya jadi hilang.)
"Vito su mangarti?" (Vito sudah paham?)
"Mangarti Kaka!!" (Paham Kaka!!) Jawab Vito bersemangat.
Hari terus berlalu, tak terasa sudah seminggu aku mengajari mereka membaca. Yang awalnya hanya bertiga, bertambah menjadi enam anak.
Setiap harinya mereka tekun belajar membaca, perlahan aku sadar langkahku ini bisa merubah anak-anak di kampung ini. Aku pun semakin semangat untuk mengajari mereka hingga fasih membaca.
"Inga ee, belajar eja kalimat tarus par capat lancar baca!! Lia tulisan atau buku apa saja tuh baca akang!" (Ingat, belajar eja kalimat terus untuk cepat lancar membaca!! Lihat tulisan atau buku apapun cobalah membaca!)
Kalimat-kalimat itu selalu ku gaungkan pada mereka agar lekas fasih membaca sebelum memasuki tahun ajaran baru sekolah.
Aku selalu memberikan pujian setiap kali mereka berhasil menyambung kata atau kalimat, mereka pun semakin terdorong untuk terus belajar dengan tekun.
Lambat laun satu persatu mereka mulai bisa membaca hingga beberapa paragraf, walaupun masih terbata-bata.
Singkat cerita, dua bulan sudah berlalu. Aku harus segera balik ke kota karena liburanku sudah berakhir. Hari itu, aku datang lebih awal sebelum anak-anak datang. Aku merenung sejenak, ku tatap dalam pondok itu.
Bangunan sederhana yang jadi jejak langkahku di tempat ini.
Sore itu aku berpamitan dengan mereka, aku akan meninggalkan kampung ini keesokan pagi.
"Nanti Kaka bale lai, Inga jaga pondok, inga belajar baca tarus. Samua semangat ee!!"
(Nanti kakak balik lagi, ingat jaga pondok, ingat belajar baca terus. Semuanya semangat yah!!) Ujarku sambil berkaca-kaca.
Vito menghampiriku dan langsung memelukku, sontak mereka semua pun ikut memeluk dengan haru. Aku mengelus-elus kepala mereka sembari memberikan nasihat.Â
Rasanya berat meninggalkan mereka, karena aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, merasakan ketulusan dan kehangatan dari anak-anak ini. Aku tak menyesal menghabiskan waktu liburanku selama dua bulan ini bersama mereka, aku merasa bersyukur bisa memberikan apa yang ku punya untuk membantu mereka.
***
Tak terasa sudah setahun sejak aku meninggalkan Maluku, perpustakaan cemara dan anak-anak itu.Â
Pagi itu aku terbangun dengan bunyi dering telepon yang mendengung, dengan mata sayu aku melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan pagi, aku pun segera mengangkat telepon dengan wajah kantuk.
"Ari juara!! Ari juara!! Kaka Beta juara baca pidato" Nenek dan Ari berteriak gembira dari sebarang.
Terdengar suara-suara histeris dan riuh tepuk tangan dari seberang, aku mematung sejenak mencernah apa yang baru ku dengar. Bulir air mataku menetes turun perlahan membasahi pipiku, aku masih tak percaya akan hal itu.Â
Jejak yang ku tinggalkan benar-benar membekas, langka kecilku bisa mendorong anak-anak itu pada hal-halÂ
yang lebih besar.
Langkahku mungkin samar, namun jejakku abadi dalam ingatan dan sangat berarti bagi mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H